Antara Jokowi dan Kejujuran, Kunci di 2014
12 December 2013 | 9:42 am | Dilihat : 1097
Megawati dan Jokowi (tapsel.net)
Jakarta, 12 Desember 2013. Masyarakat Indonesia sangat mudah kecewa dan mudah terpengaruh apabila kita membahas dari sisi politik. Sejak perjalanan dari tahun 1945 hingga pemilu dan pilpres 2009, bangsa yang besar ini telah menentukan pilihan politik dan kebutuhan pemimpin nasionalnya melalui mekanisme pemilu dengan berbagai dinamika politiknya. Apakah semuanya dilakukan dengan jujur? Belum tentu juga. Politik itu penting, itu pasti. Ada yang berpendapat politik itu kotor, di Indonesia bahkan ada yang mengatakan politik itu kotor sekali. Ini berarti manipulasi serta akal-akalan untuk menang dan berkuasa besar artinya di politik.
Sejak reformasi, rakyat Indonesia telah memilih beberapa macam pemimpin yang kita ketahui sebagai impian dengan kata kuncinya perubahan. Rakyat dan bangsa ini butuh perubahan, kira-kira demikian kesimpulannya. Maka terpilihlah Pak SBY sebagai pemimpin nasional dalam pemilihan langsung. Rakyat memilih SBY sebagai seorang Jenderal pintar, dan diharapkan akan membawa bangsa ini menuju cita-cita mulianya. Sebelumnya rakyat melihat kepemimpinan Gus Dur dan Megawati, kemudian menginginkan perubahan, dan pada pilpres 2004 terpilihlah SBY. Intinya ya perubahan tadi. Rakyat mudah kecewa dan menempatkan rasa tidak puasnya diatas keberhasilan dan kesuksesan yang telah dibuat si pemimpin tadi.
Kini, menjelang pemilu dan pilpres 2014, bagaimana arah keinginan rakyat? Kuncinya adalah tetap kata perubahan. Dalam beberapa tahun kepemimpinan Pak SBY, ada saja rasa tidak puas rakyat ini, digulirkan dengan bukti-bukti di media, para elit Partai Demokrat yang dipimpin Pak SBY terlibat korupsi, dipakaikan baju tahanan KPK. Terbaca, ada saja rasa tidak puasnya rakyat dengan pemimpinnya. Sukses SBY dinilainya tidak sebanding dengan catatan negatif yang mereka simpulkan.
Sebenarnya semua sebagai akibat dari upaya perusakan citra, yang menurut bahasa intelijen "let them think, let them decide." Artinya, rakyat dijejali dengan berita-berita negatif di seputar Presiden SBY, yang terkait dengan berita korupsi, keraguan, kemarahan dan lain sebagainya. Kemudian rakyat dibiarkan berfikir dan menentukan sendiri keputusannya. Maka terbentuklah stigma negatif yang saling mengimbas antara Pak SBY dengan Partai Demokrat.
Partai Demokrat akan hancur apabila penyerang mampu merusak citra SBY. Dalam beberapa survei sebagai indikator terbaik di politik, elektabilitas Partai Demokrat terjun bebas dari sekitar 20 persen menjadi hanya dibawah 10 persen, hanya dalam waktu sekitar dua tahun terakhir. Pak SBY yang tidak bisa lagi maju sebagai capres 2014 hanyalah sebagai sasaran antara perusakan, target utamanya Partai Demokrat, ini sudah terbukti dan terjadi. Demokrat yang demikian superior sebagai the rulling party, kini bukan apa-apanya lagi, walau masih bisa berkiprah sebagai parpol papan tengah.
Rakyat kini nampaknya sudah menyimpulkan bahwa apabila kita kembali ke kata kunci perubahan tadi, adalah kebutuhan akan kejujuran. Maksudnya rakyat menginginkan pemimpin masa depan adalah pemimpin yang jujur. Kejujuran yang didambakan rakyat adalah sebagai akibat gencarnya pemberitaan keterlibatan tokoh dan pejabat tidak hanya di eksekutif dan legislatif saja, tetapi juga sudah menyentuh ke lembaga yudikatif. Kasus korupsi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Muhtar semakin melengkapi kebencian rakyat terhadap kasus korupsi. Lengkaplah sudah kesimpulan rakyat, mereka-mereka tidak ada yang jujur, umumnya melakukan korupsi.
Nah, di saat kebutuhan psikologis rakyat akan kata kunci "kejujuran" menjelang 2014, munculah tokoh Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Jokowi adalah tokoh sederhana, mampu menunjukkan sebagai pemimpin yang mau turun kebawah, sukses bergaul dengan rakyat kecil. Kehebatan Jokowi adalah berani menegaskan dialah pemimpin yang "jujur," tanpa menggunakan bahasa yang tinggi, birokrasi Jakarta yang selama ini berbau KKN, salam tempel, dibabatnya habis.
Beberapa kasus berat seperti penertiban tanah abang, memindahkan penduduk dalam penataan waduk pluit dan bahkan melarang pengemis serta "ledek ketek," di tanganinya dan sukses. Belum lagi upayanya membereskan angkutan monorail yang terhambat beberapa tahun. Banyak lagi keputusan berani lainnya dari Jokowi bersama Ahok yang oleh beberapa pihak dinilai urat takutnya sudah putus. Jokowi dan Ahok berani berbuat, memutuskan dan berbicara apa adanya karena dilandasi dengan kejujuran, itulah latar belakangnya.
Disadari ataupun tidak, kemudian rakyat mulai lebih memperhatikan dan menilai Jokowi sebagai simbol pemimpin jujur. Maka, tanpa mengiklankan dirinya, dapat dikatakan semua lembaga survei mengeluarkan hasil surveinya, Jokowi tidak tertandingi apabila maju sebagai capres pada 2014. Kecintaan kepada Jokowi terus semakin membesar, dan seperti masa lalu, rakyat yang memimpikan perubahan semakin percaya, inilah pemimpin kita.
Percaya ataupun tidak, menurut lembaga survei Indikator Politik Indonesia yang dipimpin oleh Burhanudin Muhtadi, Jokowi bisa mendongkrak suara PDIP, dan PDIP bisa menang Pemilu jika mencapreskan Jokowi. Survei dilakukan pada 10-20 Oktober 2013 di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Survei ini menggunakan 1200 responden dengan margin of error 2,9% dengan tingkat kepercayaan 95%.
Selanjutnya hasil survei sangat mencengangkan, Posisi PDIP akan meraih 37,8% jika mencapreskan Jokowi, dan bisa turun drastis menjadi sekitar 14,4% jika rakyat tahu Jokowi tak dicapreskan. "Jika jokowi tidak dicalonkan, Golkar langsung jadi pemenang Pemilu," kata Burhanudin di Kantor Indikator Politik Indonesia, Jl Cikini V Nomor 15 A, Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2013).
Pengaruh Jokowi akan mampu mengimbas perolehan parpol lainnya dalam pemilu 2014 mendatang. Hasil survei selengkapnya;
Jika Jokowi jadi capres PDIP: 1. PDIP: 37,8%2. Golkar: 14,6%3. Gerindra: 6,6%4. Partai Demokrat: 5,4%5. PPP: 3,6%6. Hanura: 3,5%7. PAN: 2,5%8. PKB: 2,5%9. NasDem: 1,4%10. PKS: 0,6%11. PBB: 0,3%12. PKPI: 0%Belum tahu: 21,1%.
Jika PDIP tak mencapreskan Jokowi: 1. Golkar: 21,8%2. PDIP: 14,4%3. Gerindra: 11,1%4. Partai Demokrat: 8,2%5. Hanura: 6%6. PKB: 5,8%7. NasDem: 3,9%8. PPP: 3,5%9. PKS: 2,7%10. PAN: 1,1%11. PKPI: 0,7%12. PBB: 0,3%Belum Tahu: 20,5%.
Memang survei hanya mampu memberikan sebuah gambaran posisi sebuah parpol atau capres, walaupun hanya persepsi masyarakat hasil survei yang jujur sangat penting. Tetapi elit politik sebaiknya jangan menyepelekan hasil sebuah survei, yang pasti harus dibandingkan dengan lembaga survei lainnya. Penulis dalam artikel-artikel terdahulu sejak pemilu 2004 selalu menggunakan hasil survei dalam menganalisa perkembangan politik di Indonesia, dan kemudian membuat ramalan intelijen, hasilnya cukup akurat.
Kesimpulannya, bagi para capres yang akan bertanding pada 2014 nanti, kata kunci untuk tercapainya impian perubahan dari konstituen adalah kejujuran. Siapa yang dinilai rakyat jujur dan memenuhi syarat, dia akan memenangkan persaingan. Ulasan ini hanya mengambil Jokowi sebagai contoh kejujuran, terlepas dari kebijakan internal Ketua Umum PDIP Megawati. Hal-hal lain nampaknya tidak akan berpengaruh banyak dalam pilihan rakyat, seperti kepintaran misalnya. Akhirul kata, kira-kira suara rakyat "Kita tidak butuh presiden pintar, kita butuh presiden yang jujur." Itulah kesimpulannya.
Oleh : Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net
Artikel Terkait :
-Numpang Populer atau Menyerang Jokowi, Strategi yang Salah, http://ramalanintelijen.net/?p=7668
-Awas, Jokowi dan Capres Lain Kemungkinan Sudah Disadap, http://ramalanintelijen.net/?p=7663
-Menurut LSI, Mungkin Demokrat Hanya bisa Usung Cawapres, http://ramalanintelijen.net/?p=7660
-Ramadhan Pohan Menyerang Jokowi soal Penyadapan, http://ramalanintelijen.net/?p=7652
-Jokowi Akan Dijadikan Musuh Bersama, http://ramalanintelijen.net/?p=7601
-Survei LSI; Capres Riil 2014, Megawati, Aburizal dan Dahlan Iskan, http://ramalanintelijen.net/?p=7597
-Capres 2014 Yang Mengapung, Sebuah Telaahan dari Old Soldier, http://ramalanintelijen.net/?p=7059
-Apakah Mega akan Menyerahkan Tongkat Estafet Calon Presiden?, http://ramalanintelijen.net/?p=6915