Pesimisme terhadap Partai Demokrat
17 February 2013 | 7:34 am | Dilihat : 250
Hari ini Partai Demokrat akan mengadakan pertemuan (Rapimnas) sebagai ajang konsolidasi dalam menyikapi runtuhnya kepercayaan masyarakat, yang diukur dari survei SMRC. Kemelut internal kemudian menjadi isu besar khususnya media (pemberitaan) yang memang menyukainya serta melibatkan para pengamat politik. Dalam hal ini penulis mencoba mengulas dengan dasar pemikiran ilmu telik sandi yang sedikit dimiliki. Dalam ilmu intelijen sebuah informasi intelijen, yang paling sulit dalam rangkaian Siabidibame, adalah bagaimana dan mengapa. Nah inilah sedikit ulasannya.
Pada tanggal 13 Juni 2013 penulis membuat sebuah artikel dengan judul "Pak SBY Digiring ke Killing Ground,"(http://ramalanintelijen.net/?p=1864 ) yang pada intinya para lawan politiknya akan membawa secara halus dengan seni ilmu perang tinggi terus berusaha memasukkannya ke medan tembak untuk dilemahkan dan bahkan dihancurkan. Entah disadari atau tidak oleh para elit Partai Demokrat, sebagai parpol yang berkuasa, yang menurut ilmu intelijen upaya deligitimasi serta kompartmentasi terus menyerang partai berlambang mercy tersebut.
Melihat keributan internal yang didasarkan oleh survei SMRC pada Desember 2012 pada angka persepsi elektabilitas 8,3 persen sebenarnya sudah diawali sejak Juni 2011. Dari hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tentang persepsi masyarakat terhadap 'Kasus Nazaruddin dan Perubahan Dukungan Partai', menyebutkan dukungan masyarakat (responden) kepada Partai Demokrat menurun lima persen yaitu dari 20,5 persen (Januari 2011) menjadi 15,5 persen (Juni 2011).
Menurut pendiri LSI Denny JA, "Sejak survei LSI pada 2009 itu baru pertamakalinya suara Demokrat tidak lagi menjadi nomor satu pada Juni 2011. Sementara Golkar naik dari 13,5 persen (Januari 2011) menjadi 17,9 persen (Juni 2011), dukungan PDIP meningkat dari 12 persen menjadi 14,5 persen, partai lainnya menurun dari 27,2 persen menjadi 19,8 persen persen, sedangkan tidak menjawab meningkat dari 27,8 persen menjadi 32,3 persen.
Penyebab mulai rontoknya persepsi elektabilitas PD antara lain disebabkan kasus Nazaruddin memiliki daya penurun yang cukup kuat." Denny menegaskan, turunnya dukungan Demokrat sebanyak 5 persen dalam lima bulan terakhir itu, menyebabkan 40 persen suara akan beralih ke Partai Golkar, 9 persen suara ke PDIP, 12 persen suara ke partai lain dan 39 suara persen mengambang.
Bagaimana perkiraan kondisi setelah konsolidasi Februari 2013? Itulah pertanyaan pertama yang kita bahas. Sangat jelas bahwa sejak Pak SBY mengumumkan pengambil alihan kodal Demokrat dari Ketua Umum ke Majelis Tinggi, partai ini sudah pecah menjadi dua. Kubu Majelis Tinggi didukung para elit pusat yang menjabat sebagai anggota kabinet dan para pengurus yang hadir saat itu di Cikeas, sangat transparan SBY sebagai pemimpin. Kubu lainnya adalah Anas yang didukung oleh para pengurus DPW dan DPC (yang tidak transparan).
Beberapa pengurus nampaknya berwarna abu-abu, akan melihat kekuatan pada Rapimnas yang akan digelar Minggu (17/2/2013) di Hotel Sahid Jaya. Beberapa pengurus muda seperti Ulil Abshar Abdalla (tokoh Jaringan Islam Liberal yang kini menjadi pengurus PD), dengan tegas menyatakan agar ketua umum diganti. Selain itu Ketua Departemen Politik Hukum dan Keamanan DPP Partai Demokrat, Cornel Simbolon menegaskan salah satu agenda Rapimnas nanti hanya berkutat soal pergantian posisi. Rapimnas nanti menjadi langkah konkret dari delapan solusi penyelamatan partai yang sudah diambil oleh Majelis Tinggi Partai Demokrat. "Istilahnya pembersihan, penyegaran, biasanya kan dikenal dengan istilah dalam organisasi itu tour of duty," katanya.
Para pendukung Anas tetap berpegang kepada AD/ART yang tidak menyetujui apabila dilakukan pelengseran Anas, yang dengan cerdik menyampaikan kepada media, bahwa AD/ART adalah sebuah konstitusi seperti UUD negara, jadi tidak dapat dilanggar. Anas dengan sntun menempatkan dirinya sebagai yang teraniaya, ini kekuatan tersembunyi yang bisa menarik simpati pengurus bawah. Nah, kemana nanti arah rapimnas tersebut?
Pak SBY jelas terbelenggu dengan penerapan demokrasi yang selalu dijaga dalam partainya, termasuk sebagai pemimpin negara. SBY selalu berusaha menjaga untuk tidak melanggar dan dicap otoriter. Kata bertuah dalam perang psikologis kedua kubu adalah 'penyelamatan.' Hanya itu kekuatannya. Sementara Anas yang dikenal sudah lama membina hubungan mayoritas para pengurus DPC dan DPW sejak pemilihan ketua umum yang dimenangkannya, akan sulit ditumbangkan begitu saja. Dia bisa melakukan stressing kepada pengikutnya. Jelas akan ada gerakan perlawanan apabila ajang Rapimnas mengarah pelengseran.
Disinilah ada kerawanan terhadap SBY yang menurut penulis justru dimasukkan ke killing ground oleh elitnya sendiri. Sementara lawan politiknya hanya tertawa dan bertepuk tangan. Sangat nampak Anas mampu menempatkan diri jauh lebih cerdas karena terus meniupkan posisinya dilindungi oleh AD/ART. Apabila Rapimnas kemudian menjadi upaya pemaksaan kehendak dari kubu majelis tinggi, kemungkinan timbulnya kekacauan sangat bisa terjadi. Ajang bisa menurunkan kredibilitas SBY sebagai tokoh partai dan juga sebagai pimpinan nasional. Yang berbahaya bagi SBY serta Partai Demokrat, dua media elektronik besar terus menggempur perpecahan tersebut, karena keduanya dimiliki oleh parpol pesaing yang terus berusaha menarik/mengutip konstituen PD yang bingung dan bosan.
Kesimpulannya, kemungkinan besar kubu majelis tinggi akan memenangkan Rapimnas nanti, karena merekalah pemegang inisiatif dalam rapimnas. Dalam ilmu perang, kubu yang bertahan hanya bisa menang apabila mempunyai kekuatan tiga kali lebih besar dibandingkan kubu penyerang. Anas kekuatannya tidak tiga kali sebesar kubu majelis tinggi. SBY dan majelis tinggi bisa menang, dalam kondisi mengamputasi Anas, tetapi bahaya citranya sebagai seorang penjaga demokratisasi berpeluang cacat. Karena SBY adalah inti utama dari Partai Demokrat, penulis pesimis dengan masa depan partai ini, rapuh itulah barangkali istilah tepatnya. Sayang memang.
Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net
Ilustrasi gambar : nasional.kompas.com