Komandan RPKAD Sarwo Edhie yang Penulis Kenal
26 November 2012 | 7:22 am | Dilihat : 16034
Ran Ramelan dan Pak Sarwo dalam Ops di Kertosuro
Kemarin malam penulis saat berjalan-jalan di Gramedia tertarik menemukan sebuah buku berjudul “Sarwo Edhie dan Misteri 1965.” Buku yang merupakan seri buku hasil tulisan team Tempo tersebut menuturkan tentang Almarhum Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo yang fenomenal pada saat terjadinya peristiwa G30S/PKI. Setelah membaca sekilas daftar isinya, penulis membeli buku tersebut karena ada sebuah kenangan antara penulis dengan Pak Sarwo Almarhum sekitar tahun 1966. Inilah sedikit kisahnya.
Pertemuan antara penulis dengan Pak Sarwo (begitu kami sekeluarga memanggil beliau) terjadi pada awal tahun 1966, dirumah orang tua penulis Ran Ramelan (Alm) di Jl Bendungan Jago K-197 Kemayoran Jakarta. Penulis sejak terjadinya peristiwa G30S/PKI terus mengikuti berita operasi militer RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) dari surat kabar Berita Buana, dimana ayah tercinta menjadi salah satu wartawan senior. Ayah juga penulis, menulis buku Lagoa Jago Tanjung, Singa Betina dari Marunda, Macan Kemayoran, dan Duku Condet, itu yang penulis ingat. Saat bertemu Pak Sarwo, penulis masih duduk dikelas tiga SMA-4 jalan Batu Gambir, Jakarta.
Penulis demikian senang dan bangga bertemu orang hebat yang berhasil melawan dan melumpuhkan upaya pemberontakan G30S/PKI pada tanggal 30 September 1965. Ayah mengenalkan “Pak Sarwo, ini anak saya Ayit (nama kecil penulis) katanya kalau lulus SMA mau jadi tentara.” Pak Sarwo bertanya, “Mau jadi tentara Angkatan apa?” Penulis mengatakan mau masuk AURI Pak, pengin jadi penerbang. (Ini cita-cita penulis, karena rumah dekat dengan lapangan terbang Kemayoran dimana sering melihat pesawat MIG terbang dengan suara gemuruhnya).
Setelah duduk, Pak Sarwo yang datang dengan beberapa pengawal, pakai Jeep dan berpakaian loreng khas RPKAD tersebut berbincang dengan ayah dan beberapa keluarga kami. Penulis demikian kagum karena memang tentara yang satu ini gagah dan pantas menjadi seorang komandan pasukan khusus. Mendadak beliau mengatakan, “Ayit, kamu jangan masuk Angkatan Udara, masuk saja Angkatan Darat, supaya bisa jadi jenderal,” kata beliau. Beliau tidak menjelaskan mengapa mengatakan hal tersebut. Tetapi penulis yang sudah bertekad menjadi penerbang tempur, tetap bersikukuh mengatakan, “Ingin masuk AURI Pak, sudah lama memimpikan jadi pilot MIG.”
Beliau berpesan, “Ya sudah, kalau tetap bertekad masuk Angkatan Udara, nanti, jadilah prajurit yang baik, jujur, dan setia kepada negara. Semua tergantung kepada kamu sendiri, sukses dan tidaknya sebagai prajurit, bisa jadi Jenderal ataupun tidaknya. Semoga sukses ya Yit,” demikian pesan Pak Sarwo. Pesan beliau tetap terekam di benak penulis baik saat menjalani penugasan, hingga kini setelah pensiun. Penulis selalu bertekad, dan berusaha menjadi yang terbaik, tidak terkena masalah selama penugasan, jujur, selalu setia kepada bangsa dan negara. Prinsip penulis “Old Soldier Never Die” adalah keyakinan, bahwa tentara yang baik hingga kapanpun tidak pernah mati, bahkan setelah dia dipanggil oleh Allah Swt, ada yang dia tinggalkan untuk bangsanya, misalnya segurat tulisan.
Memang pesan keramat itu sangat bermanfaat hingga kini, disamping pesan ayahanda tercinta, semua tergantung kepada kita sendiri, kepada niat dan tujuan. Alhamdulillah, penulis bisa mencapai tataran yang merupakan anugerah Allah, purnawirawan dengan pangkat Marsekal Muda, walaupun dalam berkarier tidak jadi penerbang MIG, berkiprah di bidang intelijen pengamanan. Terima kasih Pak Sarwo, terima kasih Ayahku tercinta Ran Ramelan, anda berdualah yang membekaliku dalam menapak karier di TNI, hingga kini. Hanya doa yang bisa kupanjatkan kehadirat Allah Swt, semoga Allah memberikan ampunan kepada bapak berdua tercinta, semoga diluaskan dan diterangi kuburnya, dilepaskan dari siksa kubur dan Allah memberikan tempat terbaiknya, memasukkan ke dalam surga, Aamiin, Ya Robbal Alamin.
Kunjungan demi kunjungan, Pak Sarwo menjadi sering berkunjung kerumah, bertemu Ayah penulis yang saat itu sudah berusia 65 tahun (seumur penulis saat ini). Penulis selanjutnya hanya menyapa setiap beliau kerumah dan entah apa yang dibicarakan dengan Ayah, demikian serius. Penulis berani mengatakan bahwa ayah penulis lebih menjadi penasihat (orang tua) Pak Sarwo, dan hubungannya terus baik hingga akhir hayatnya. Di buku Tempo disebutkan adanya konflik antara Pak Sarwo dan Pak Harto saat itu, tapi entahlah kebenarannya. Memang keduanya saat di rumah Ayah sering membahas situasi politik saat itu.
Hingga suatu hari penulis dipanggil Ayah untuk mengantarkan sepucuk surat ayah ditujukan kepada Ibu Sri Wulan (Ibu Katamso) Alm, dikawasan Menteng. Penulis langsung ketemu beliau dan menyerahkan surat tersebut. Beliau mengatakan, “Ya sudah dik, dari Pak Ramelan ya, terima kasih.” Sang Ayah tidak pernah menceritakan apa isi surat tersebut hingga wafatnya. Saat penulis bertanya, beliau hanya mengatakan “Yang perlu kamu tahu Yit, bahwa bangsa ini harus bangga mempunyai Pak Sarwo yang demikian besar jasanya.” Beliau demikian bangga dan menyayangi Pak Sarwo, menjaga rahasianya dan selalu memberikan masukan, lebih sebagai nasehat sebagai orang tua, Pak Sarwo saat itu berusia sekitar 39 tahun.
Mengenai awal hubungan Ayah penulis dengan Pak Sarwo terjalin saat Pak Sarwo yang memimpin RPKAD saat melakukan operasi penumpasan pemberontakan PKI di daerah Jawa Tengah. Ayah penulis adalah wartawan senior, wartawan perang, dan sering meliput operasi militer. Pernah ke Vietnam, meliput perang antara Vietnam Utara dengan Amerika.
Saat Ayah meliput di daerah Kartosuro, beliau ditangkap RPKAD, dan dihadapkan ke Pak Sarwo, katanya ada apa kok wartawan “blusukan” ke daerah operasi militer. Ayah menjelaskan bahwa operasi yang dilakukan Pak Sarwo nilainya psikologisnya akan jauh lebih besar apabila ditayangkan di media. Tanpa media, masyarakat Indonesia dan para pejabat di Jakarta tidak pernah tahu keberhasilan operasi RPKAD serta situasi kondisi di daerah. Pak Sarwo akhirnya memahami dan mulai saat itu Ayah selalu mendampingi beliau dan Pak CI Santoso dalam gerak tempur RPKAD. Semua dituliskannya di surat kabar Berita Buana. (Foto adalah saat Ayah bersama Pak Sarwo di Kartosuro).
Karena selalu bersama, akhirnya tercipta hubungan batiniah antara keduanya, Ayah pernah mengatakan kalau Pak Sarwo sedang ada masalah, tetapi beliau tidak mau mengatakan apa masalahnya, rahasia kata ayah. Ayah begitu menyayangi Pak Sarwo, demikian juga penulis selalu bangga dengan tokoh hebat yang satu ini, karena itu, biarlah semua rahasia keduanya dibawanya sampai keliang lahat.
Dalam perjalanan waktu, penulis pada tahun 1966 suka bermain kerumah beliau di Jl Flamboyan 59, Cijantung dan mengenal baik keluarga beliau, baik Bu Sarwo, putra-putrinya (Wiwiek, Tuty, Ani, Titiek, Edhie dan Retno). Hubungan baik terjalin dan hingga penulis masuk Akabri Udara. Tiga putrinya Tuty, Ani dan Titiek menikah dengan tiga tentara AD , Kolonel (Pur) Hadi Utomo/Teman penulis satu Angkatan Akabri 1970, Jenderal (Pur) SBY/Presiden RI dan Letjen (Pur) Erwin Sudjono (mantan Kasum TNI). Sementara kita tahu kalau Edhie (Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo) kini menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Kadang penulis bertemu disuatu acara, dan Bu Ani Yudhoyono tidak pernah berubah, masih menyapa “Apa Kabar Mas Ayit, bagaimana kabarnya Ibu Ramelan?”. “Alhamdulillah, Kabar baik Mbak Ani, Ibu masih ada, sudah diatas 90 tahun” begitu penulis menjawab, soalnya kan isteri presiden Mbak Ani itu.
Setelah penulis membaca seluruh isi buku Sarwo Edhie dan Misteri 1965, ada rasa kurang suka penulis dengan salah satu judul pasal. Penulisan kalimat “Jejak Berdarah Sang Pembasmi,” terlalu keras menurut penulis. Kata-kata Pembasmi rasanya terlalu kejam. Apakah tidak bisa agak dihaluskan? Tetapi yah demikianlah di era demokrasi kini, nampaknya bebas saja menuliskan judul atau apapun, tidak mau melihat dan membandingkan dengan jasa seorang yang berhasil menyelamatkan bangsa ini. Bagaimana kalau saat itu pemberontak menang dan Indonesia menjadi negara komunis?
Ukuran yang dipakai lebih kepada Hak Asasi Manusia, bukan Hak Asasi Bangsa. Tidak bisa kita bayangkan apabila saat itu pemberontakan tidak diatasi dengan cepat, berapa banyak lagi korban akan jatuh, kekerasan demi kekerasan akan terus berjalan. Konflik diantara anak bangsa akan sulit diselesaikan dalam waktu pendek. Penulis tidak berani menyampaikan beberapa potret yang pernah ditunjukkan Ayah tentang kekejaman sebaliknya yang dilakukan terhadap mereka yang anti PKI. Tetapi ya sudahlah semuanya sudah berlalu, penulis tidak bertujuan membahas kasus kelam bangsa ini di masa lalu.
Dilain sisi penulis mengapresiasi isi buku, yang mengisahkan perjalanan karier Pak Sarwo, walau dapat dikatakan ada bagian yang tidak lengkap. Dikisahkan setelah penculikan beberapa pejabat teras AD, dan pengumuman Letkol Untung dari Cakrabirawa, Pak Sarwo bergabung dengan Pak Harto (Pangkostrad) dan Jenderal AH Nasution. Kemudian mulailah operasi pembersihan upaya kudeta G30S/PKI, dari perebutan RRI dan Kantor Telekomunikasi oleh pasukan RPKAD (dipimpin Letda Sintong Panjaitan/terakhir Letjen).
Pak Sarwo kemudian bergerak ke Halim Perdanakusuma, dan bertemu dengan Laksda (Pangkat sekarang menjadi Marsda) Sri Mulyono Herlambang dan Komodor Dewanto. Mereka kemudian terbang dengan Heli ke Istana Bogor, bertemu dengan Presiden Sukarno, dan keluar perintah dihentikannya baku tembak. Kemudian upaya pencarian beberapa Jenderal AD yang terbunuh ditemukan di Lubang Buaya, penulis sempat menyaksikan di daerah Gambir saat iring-iringan jenazah yang diletakkan diatas panser bergerak ke MBAD. Di monumen sakti Pancasila kita bisa menyaksikan gambaran kekejaman para penculik itu.
Pak Sarwo dan pasukannya kemudian bergerak cepat ke Jawa Tengah dan Bali, setelah situasi terkendali, rakyat berbalik melakukan perlawanan terhadap pengikut PKI. Salah seorang ilmuwan Australia (Harold Crouch) yang pernah tinggal dirumah ayah penulis, menuliskan G30S/PKI dalam bukunya “Militer dan Politik di Indonesia.”Dalam keterbatasan jumlah pasukan dibanding luas wilayah operasi, Pak Sarwo kemudian melatih dan mendorong warga sipil untuk membantu dan berani menumpas komunis.
Ayah mengisahkan, karena keterbatasan pasukan, saat RPKAD memasuki desa yang dikuasai pemberontak, beberapa anggota berlari kesana kemari, untuk memberikan kesan pasukan jumlahnya banyak, musuh menjadi takut dan rakyat berani melakukan perlawanan, itu salah satu taktis militer Pak Sarwo kata Ayah.
Pada akhir Desember 1965, Jawa Tengah mulai bersih, sebagian pasukannya digerakkan ke Jawa Timur dan kemudian ke Bali. Pada akhir Desember 1965 RPKAD mulai ditarik dari Jawa Tengah, mereka melakukan parade kemenangan, pada 31 Desember 1965 mereka berdefile di Jakarta. Penulis sempat melihat parade megah dan gagah tersebut.
Perkembangan politik selanjutnya, terjadinya demo ke Istana, dimana penulis yang duduk dikelas tiga SMA-4 Jl Batu Jakarta ikut menjadi bagian dalam demonstrasi KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Penulis ditugasi sebagai Ketua Pengerahan Massa, wah masa bahagia, selama tiga bulan hampir tidak sekolah, tidur di sekolah dan guru-guru juga mendukung gerakan tersebut. Puncaknya, pada tanggal 24 Februari 1966, penulis bersama teman-teman SMA-4 ikut berdemonstrasi, berhadapan dengan pasukan Cakrabirawa dimuka Istana, dimotori para senior, mahasiswa UI jaket kuning. Tidak ada rasa takut, dan nekat semua meneriakkan “Anjing Cakra.” Sementara dibelakang pendemo diparkir beberapa tank dan panser yang menghadap ke Istana, tentara itu pro kita kata pendemo senior Mahasiswa UI.
Mungkin karena sudah kesal, akhirnya para anggota Cakrabirawa tersebut melepaskan tembakan, dan jatuhlah korban meninggal Arief Rahman Hakim, mahasiswa UI. Para pendemo, termasuk penulis tunggang langgang dan bersembunyi dibelakang panser. Langsung kabur kembali ke posko disekolah. Suasana terasa menakutkan dan mencekam. Ada rasa takut dikejar dan ditembaki Cakrabirawa. Tetapi sejak itu terjadi titik balik, dimana jatuhnya martir dalam sebuah demo akan menyebabkan makin mengkristalnya massa.
Pada akhir 1966, Alhamdulillah penulis diterima, masuk menjadi taruna Akabri Udara. Sementara Demonstrasi terus berjalan, dimana akhirnya pada 12 Maret 1967, Presiden Soekarno dicopot dari sisa-sisa kekuasaannya oleh Parlemen sementara, dan Soeharto diangkat sebagai Presiden Sementara. Pada 21 Maret 1968, Majelis Permusyawaratan Rakyat secara resmi memilih Soeharto sebagai presiden. Itulah penggal sejarah kita.
Karier Pak Sarwo setelah lepas sebagai Komandan RPKAD , Pangdam Bukit Barisan (1967-1968), Pangdam Cenderawasih 1967-1970), Gubernur Akabri (1970-1973), Dubes RI untuk Republik Korea Selatan (1973-1978), dan Irjen Deplu (1978-1983). Kemudian Pak Sarwo diangkat sebagai Kepala BP-7 pada 1984. Pada tanggal 9 November 1989 Pak Sarwo Edhie meninggal dunia di RS Gatot Soebroto, karena disebabkan penyakit stroke yang dideritanya.
Kini, walaupun sudah meninggal, Pak Sarwo Edhie tetap dikenang dan merupakan bagian sejarah penting bagi negeri ini, hanya sayang beliau tidak sempat menyelesaikan bukunya tentang perjalanan sejarahnya. Menurut Ani Yudhoyono sebenarnya Pak Sarwo sedang mempersiapkan tiga bukunya, Buku Harian Kapten Sarwo Edhie Wibowo, Koonel Sarwo Edhie Wibowo, dan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo. Sayang ketiga buku tersebut hanya merupakan rencana, karena beliau terkena stroke.
Sebuah pesan penting bagi keluarga khususnya serta masyarakat pada umumnya, seperti yang ditulis oleh putrinya Mbak Ani dalam bukunya, “Kepak Sayap Putri Prajurit,” tentang cara pandang keluarga Sarwo Edhie. Pak Sarwo mengatakan kepada putrinya dalam bahasa Jawa, “Bungah, susah, loro, kepenak, sing nggowo lan sing nggawe ingsun dewe”, dengan arti lebih kurang “Gembira, sulit, sakit ataupun enaknya di dalam hidup kita, semua tergantung kepada upaya kita sendiri.”
Nah, itulah sepenggal kisah tentang Pak Sarwo Edhie yang penulis kenal, beliau beserta Bu Sarwo masih sempat menghadiri peringatan Pernikahan Emas (50 tahun) Ayah penulis, foto tertayang. Keduanya saat itu kalau bertemu terlihat sangat akrab. Kini putra putrinya beserta anak mantunya demikian sangat terkenal di negara kita. Ani menjadi isteri Pak SBY yang presiden, sementara Edhie menyandang bintang empat dan menjadi Kasad. Kalau boleh berpesan untuk Mbak Ani, tidak perlu tergoda dan tidak usah maju pada pilpres 2014 nanti, saat itu Mbak Ani sudah 62 tahun.
Perjalanan mendampingi Pak SBY dalam dua periode pemerintahan menurut penulis sudah demikian berat memakan energi, dan amal ibadahnya sudah cukup besar. Istirahat deh Mbak, jadi pemimpin di era kebebasan kini rasanya kok lebih banyak yang menyumpahi dibandingkan yang ikut mensyukuri. Kedepan panggung politik akan semakin kejam, karena bangsa ini belum faham tentang bagaimana berdemokrasi, belum lagi kalau menyentuh soal HAM, free trade dan lingkungan hidup. Istirahat, bersosial, beramal soleh, dan meningkatkan ibadah di usia senja merupakan pilihan terbaik menurut penulis. Itu saja saran penulis sebagai seorang teman. Salam hangat selalu.
Oleh : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net