Senjata rakitan di Istiqlal, ancaman terhadap Presiden?

27 October 2012 | 4:31 pm | Dilihat : 481

Kemarin malam penulis diundang oleh TV  One untuk membahas ditangkapnya Sudirman yang membawa semacam senjata rakitan pada saat dilaksanakannya sholat Idul Adha di Masjid Istiqlal, Jakarta. Penulis diundang bersama Reza Indragiri Amriel, Master Psikologi Forensik, yang alumnus University Melbourne, kini sebagai salah satu juga dosen di PTIK.

Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Rikwanto, Sudirman (40) ditangkap pasukan pengamanan presiden pada Jumat pagi (26/10) sekitar  pukul 04.30 WIB karena terdeteksi oleh metal detektor yang digelar Paspampers yang melakukan sterilisasi kawasan yang akan didatangi oleh presiden. Dia memasuki salah satu pintu masuk masjid di dekat pintu VIP yang ditujukan bagi pejabat negara dan perwakilan negara sahabat. Sudirman diketahui menyelipkan senjata rakitan di saku celananya. Dia mengenakan baju koko berlengan panjang dan celana putih. Dia diketahui berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Selanjutnya dia diserahkan polisi untuk diproses.

Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya, masih dilakukan pemeriksaan lebih lanjut keberadaan Sudirman, sehingga masih diamankan polisi. Dia tinggal di Tegal bersama ibunya Curiaj, 60 tahun, diketahui bapaknya yang merupakan seorang veteran pejuang, sudah meninggal. Sudirman  sudah berada di Istiqlal sejak Kamis kemarin. "Yang bersangkutan sudah berada di Mesjid Istiqlal sejak pukul 20.00 WIB. Pria ini sebelumnya dari Tangerang untuk mengunjungi saudaranya. Kemudian menggunakan taksi, dia ke Jakarta untuk melaksanakan shalat Ied di Istiqlal," kata Rikwanto.

Dari hasil pemeriksaan sementara Rikwanto menyatakan hingga saat ini pihaknya juga belum bisa memastikan adanya indikasi rencana aksi teror yang akan dilakukan Sudirman. Sebab, pelaku ditangkap sesaat sebelum salat Idul Adha digelar di Istiqlal. Polisi masih mendalami motif dari kasus Sudirman.

Upaya membawa senjata yang patut diduga dapat membahayakan manusia, dalam sebuah wilayah steril dimana terdapat VVIP dapat dinilai merupakan sebuah ancaman terhadap subyek pengamanan. Oleh karena itu penemuan sebuah senjata rakitan di Istiqlal oleh Paspampers  merupakan langkah sukses, terlepas motif si pembawa belum jelas.

Pandangan penulis saat di TV One mengatakan, memang kemungkinan beberapa motif telah disebutkan, diantaranya untuk menjaga diri, karena sedang stress misalnya. Penulis berpendapat dari sisi intelijen pengamanan, bukan tidak mungkin ini adalah upaya test the water, menguji sistem pengamanan apakah berfungsi atau dapat ditembus? Memang senjata tersebut sangat sederhana, tetapi melihat anak panah dan sistimnya, bisa saja membahayakan dan yang jelas mengacaukan situasi hikmat sholat Idul Adha apabila dia lolos kedalam masjid dan kemudian mengacungkan senjata tersebut.

Sebuah sistem keamanan yang dibangun untuk mengamankan presiden pada prinsipnya tidak boleh memberikan toleransi sekecil apapun, karena beberapa kasus terbunuhnya pimpinan dan tokoh nasional misalnya Presiden Amerika Serikat John F Keneddy (22/11/1963) dan Presiden Mesir Anwar Sadat (6/10/1981), dan mantan PM Pakistan Benazir Bhutto (27/12/2007) dapat menjadi sebuah pelajaran tersendiri. Pada intinya para penanggung jawab keamanan ketiga tokoh tersebut memberikan toleransi terhadap SOP.

Kasus terbaru gagalnya sistem pengamanan melindungi subyek adalah terbunuhnya Duta Besar AS Christopher Stevens di Libya (11/9/2012). Dubes Chris hanya dilindungi oleh dua orang pengawal pribadinya yang mantan anggota Navy Seal serta konsulat hanya dijaga oleh beberapa orang anggota militer Libya. Begitu terjadi serangan, sistem tidak mampu melindungi Dubes Chris dan yang bersangkutan tewas. Sistem keamanan Deplu dan analis intelijen CIA dipertanyakan karena terlalu percaya kondisi aman dan tidak adanya indikasi ancaman terhadap warga AS di  Libya yang belum stabil. Sistem terlalu percaya kepada Chris yang sangat dekat dengan para pejuang pemberontak sejak timbulnya gelombang anti Khadafi dan hubungannya yang sangat luas dengan para Sheik. Nah, setelah kejadian serangan, yang jelas AS kehilangan seorang diplomat handal yang sangat faseh berbahasa Arab dan mempunyai jaringan luas dan dipercaya.

Melihat beberapa gambaran diatas, maka keberadaan Sudirman sebagai pembawa senjata rakitan tidak boleh disepelekan. Dari sisi hukum memang harus dilakukan asas praduga tak bersalah, tetapi dari sisi intelijen pengamanan, kasus ini menurut penulis harus menjadi awal penyelidikan kemungkinan ancaman terhadap orang nomor satu Indonesia itu. Intelijen serta sistem pengamanan VVIP sebaiknya melihat dan mengukur dengan dasar worst condition. Kemungkinan terburuk, maksudnya apabila ancaman nyata muncul, sistem tidak terkena unsur pendadakan. Kini saatnya sistem pengamanan presiden melakukan ulang "pemeriksaan security" terhadap sistemnya.

Hal lain yang serbaiknya diperhatikan, bahwa sistem keamanan harus difahami dan diakui serta dituruti oleh para pejabat negara dan mereka yang memegang kekuasaan sebagai sebuah kebutuhan. Kini penulis agak khawatir dengan langkah Gubernur Jokowi yang "blusukan" dalam menjalankan tugasnya. Langkahnya patut diapresiasi, tetapi walau bagaimanapun, dia harus tetap dilindungi sistem pengamanan pribadi. Belum tentu  semua orang suka dengan langkahnya, yang memihak rakyat, bersih dan bebas korupsi.

Ancaman bersenjata nyata telah terjadi beberapa kali di negara ini, beberapa anggota polisi telah ditembak mati saat bertugas. Lantas apakah para pejabat polisi bisa menyepelekan ancaman nyata tersebut? Bukan tidak mungkin ancaman bisa bergeser naik keperingkat yang lebih tinggi, bukan hanya anggota bawahan saja targetnya.

Ancaman terhadap simbol negara (presiden) juga pernah ditemukan dari beberapa dokumen kelompok teroris saat penyergapan di Medan, Cikampek dan Sukoharjo, juga pernah ada upaya pemasangan bom di rute lintasan presiden (Cawang). Paspampers dan aparat keamanan lain yang terlibat dalam Pam VVIP harus terus jeli dalam membuat perkiraan intelijen. Kelebihan penyerang dari para petugas pengamanan VVIP adalah inisiatif ditangan mereka.

Oleh karena itu, sekecil apapun indikasi sebuah ancaman, maka kasus harus diusut hingga benar-benar tuntas. Kesimpulannya, jangan sepelekan dan jangan beri toleransi dalam melakukan pengamanan VVIP apabila ingin subyek pengamanan selamat. Semoga bermanfaat.

Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net

 

 

This entry was posted in Hankam. Bookmark the permalink.