Ahok, Kartu As atau Kartu Mati Buat Jokowi?
19 August 2012 | 12:11 am | Dilihat : 590
Dalam pemilihan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta kali ini, suasana panas mulai digelitik oleh para tim sukses dengan caranya masing-masing. Serangan wajar tapi menggetarkan dimunculkan oleh Rhoma Irama, si Raja Dangdut yang menyampaikan khotbahnya di sebuah Masjid. Akhirnya Rhoma tidak jadi dituntut karena dianggap tidak melanggar. Dibelakang itu jelas ada perhitungan Panwaslu, yang harus menjaga stabilitas dengan caranya sendiri. Getaran yang keluar dari Masjid itu walau tidak meledak-ledak, tetapi secara perlahan merambat ke logika konstituen Jakarta. Pihak Foke diuntungkan dengan pemberitaan media dan berkembangnya khotbah tersebut di Youtube (gratis).
Nah, penulis mencoba membahas peluang dan strategi kedua pasangan, dengan pengamatan ilmu intelijen yang konon kabarnya tim intel juga dimiliki oleh kedua timses. Informasi tim intelijen penulis dapat setelah melakukan cross check dengan salah satu inner circle Jokowi. Upaya mempengaruhi alam pikir serta ketertarikan konstituen masuk dalam bagian ilmu intelijen penggalangan (conditioning). Konstituen dibuat berfikir, bertindak dan memutuskan seperti apa yang di kehendaki di penggalang (penyusun kondisi, yaitu tim sukses tadi). Teori secara mendasar disebut "Let them think, let them decide." Setiap insan telik sandi pasti memahaminya tahapannya.
Kekuatan pasangan Fauzi Bowo (Foke) -Nachrowi Ramli (Nara) terletak pada popularitasnya yang tingggi, sangat dikenal penduduk Jakarta. Foke mampu mempengaruhi partai politik besar (Golkar, PKS dan PPP) untuk bergabung dalam koalisi besar yang dinahkodai Partai Demokrat, dibantu PKB, PAN dan Hanura. Dalam hitungan politik posisinya sangat kuat, karena pilkada adalah pesta politik. Kelemahan pasangan ini justru terletak pada Foke sebagai incumbent, pada putaran pertama Foke menjadi musuh bersama dari lima pasangan, semua kebijakannya diserang.
Akhirnya elektabilitasnya yang menurut survei diatas 40 persen pada praktek pemilihan hanya 34 persen. Titik rawan Foke berada pada nada sumbang kebosanan rakyat Jakarta terhadapnya, dimana harapan terhadap prestasi Foke menjadi semakin tipis. Ini yang akan menjadi potensi utama dan bisa menyebabkan kelumpuhan permanen. Kesan dan pesan utama serangan conditioning yang diarahkan ke Foke adalah "Asal bukan Foke."
Kemerosotan citra jelas harus diperbaiki dan dibangun oleh timses Foke, caranya selain menaikkan citra, misalnya lebih ramah dan lebih rajin turun kebawah, menonjolkan prestasinya selama menjabat. Selain itu, mereka harus menurunkan citra dan elektabilitas pasangan Jokowi-Ahok. Penekanan dan penurunan citra lawan paling tidak akan menyeimbangkan posisi yang pada putaran kedua cukup jauh. Perolehan Jokowi-Ahok pada putaran pertama 42,50 persen, sementara Foke-Nara 34,05 persen. Kalau pemilih tidak bergeser maka Jokowi hanya membutuhkan tambahan sekitar 8.5 persen dari jumlah pemilih sah, sedang Foke jauh lebih berat, dan membutuhkan sekitar 17 persen untuk kepastian menang.
Selisih 8,4 persen, apabila dibulatkan menjadi 9 persen pada putaran kedua menjadi target sangat berat bagi Foke untuk menang. Sepertinya, apabila melihat beberapa sampel kondisi konstituen, Jokowi akan memenangkan putaran kedua nanti. Sebagai contoh gmbaran, dari tulisan penulis saat menilai PKS blunder karena mendukung Foke, sekitar 90 persen kompasianer mendukung Jokowi. Ini sebuah gambaran riil mengingat netters adalah juga konstituen yang jauh lebih cerdas dibandingkan konstituen di grass root.
Mari kita lihat dimana peluang Foke masih ada dan penulis nilai sedang diusahakan timsesnya. Apabila Foke menjadi titik rawan yang sudah di ekploitir lima pasangan pada putaran pertama dan akan menjadi titik kelumpuhan permanen, apakah Jokowi bisa menjadi titik serupa? Jawabannya tidak. Justru Jokowi pada putaran pertama mendapat momentum positif dari kejenuhan rakyat Jakarta terhadap Foke. Rakyat Jakarta melirik lima pasangan pada putaran pertama, dan pilihan jatuh pada Jokowi yang berhasil dimunculkan tim suksesnya dengan pemanfaatan media. Media adalah sebuah silent revolition di dunia politik, dan bahkan dinilai mampu mengalahkan peran jejaring partai.
Lantas, dimana titik lemah Jokowi? Pada awal serangan Rhoma, gempuran berbau SARA menurut penulis tidak efektif dalam teori conditioning. Tetapi ternyata langkah tersebut adalah sebuah detonator untuk memasuki alam bawah sadar konstituen Jakarta dengan menghidupkan sentimen SARA, khususnya Agama dan Ras. Langkah selanjutnya adalah mendudukkan alam pemikiran konstituen, bertiup isu bahwa Jokowi tidak mau membuat kontrak politik harus tetap menjabat selama lima tahun di Jakarta apabila menang. Ada penghembusan isu apabila sukses, pada tahun 2014 baik dilamar ataupun tidak, dan dia maju menjadi capres/cawapres, kemungkinan dia harus mundur dari kursi DKI-1 (kabar lainnya menyebutkan UU akan dirubah di Kemendagri). Maka jadilah sang wakil menggantikannya. Disinilah kartu Ahok akan berubah dari kartu As, akan menjadi kartu mati buat Jokowi dimata konstituen Jakarta. Rakyat Jakarta diingatkan untuk bersiap dipimpin Ahok yang berbeda secara umum baik dari sisi Agama maupun Ras (warga keturunan).
Propaganda ini terus bergulir tanpa dapat dicegah dan menyebabkan para tokoh senior warga keturunan yang sudah nyaman dan sangat mapan dengan kondisi masa kini di Jakarta menjadi khawatir. Black campaign seperti ini adalah sebuah hal biasa di politik yang tidak dapat dibuktikan siapa yang meniupkannya, bisa saja unsur yang akan menimbulkan kekacauan.
Nah, rangkaian kegiatan tersebut yang dinamakan "Let them think, let them decide." Rakyat Jakarta mereka biarkan berfikir dan biarkanlah mereka memutuskan sendiri. Pematangan kondisi semacam ini biasanya ampuh dan disinilah peluang Foke tersisa. Apabila dinamika lapangan seperti yang penulis katakan, bukan tidak mungkin Foke masih berpeluang menang. Apabila gagal, kemungkinan Foke akan gagal. Jokowi memang sangat terkenal, dan disukai karena memberi harapan akan perubahan kondisi Jakarta yang demikian sumpek. Tetapi tim suksesnya jangan terlalu optimis. Kata kuncinya, bosan kepada Foke jauh lebih ringan nilainya dibandingkan takut apabila Ahok menjadi Gubernur.
Prediksi dan ulasan penulis belum tentu benar juga, tetapi sebagai pengamat dan blogger yang independen, analisa seperti diatas harus disampaikan, agar kita tidak terlalu meng-underestimate Foke. Maaf kalau ada yang tidak sependapat, namanya juga era demokrasi kan, silahkan kalau akan memberikan pendapatnya.
Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net
Ilustrasi Gambar : Ahok.org