Pilkada DKI dan Hidayat si Kuda Hitam
10 July 2012 | 10:06 pm | Dilihat : 494
Ramalan Pilkada DKI, 10 Juli 2012.
Pilkada DKI tersisa semalam lagi, besok pagi tanggal 11 Juli masyarakat Jakarta dipersilahkan mengunjungi bilik suara yang tersebar di seantero pelosok DKI. Tanggal 11 Juli dinyatakan sebagai hari libur di DKI Jakarta. Ketua KPU DKI Jakarta Dahliah Umar, Jumat 22 Juni 2012 mengatakan, "KPU menetapkan, Rabu (11/7) sebagai hari libur untuk memudahkan masyarakat memberikan hak suaranya pada hari itu." Penetapan hari libur ini sesuai dengan keputusan Mendagri nomor 270-104 tahun 2012 tentang Penetapan Hari Pemungutan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta sebagai hari yang diliburkan.
Berdasarkan keputusan tersebut, warga Jakarta yang terdaftar sebagai pemilih diimbau untuk menggunakan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara. Bagi instansi pemerintah maupun swasta yang berdomisili di DKI Jakarta diminta untuk meliburkan para pegawainya guna memberikan kesempatan menggunakan hak pilih. Sedangkan instansi pemerintah maupun swasta yang berada di luar Jakarta untuk memberikan izin karyawannya yang berdomisili dan menjadi pemilih di Jakarta untuk menggunakan hak pilihnya.
Dengan sistem tersebut, KPUD DKI mengharapkan konstituen dalam Pilkada dapat memenuhi harapan dan mau dengan sadar mendatangi bilik suara. Lantas, siapakah kira-kira yang akan datang ke bilik itu? Penulis yang sejak bayi hidup ditengah keunikan Jakarta, sangat faham bagaimana kondisi penduduk Jakarta menyikapi kegiatan yang harus dilaksanakan dengan kesadaran pribadi. Pilkada ini adalah yang kedua kalinya dilakukan di Ibukota, dimana yang pertama dilakukan pada tanggal 8 Agustus 2007. Kita lihat pada Pilkada DKI tahun 2007 tersebut. Hasil Pilkada yang dilaksanakan pada 8 Agustus 2007 terdiri dari pasangan Fauzi Bowo-Prijanto dengan dukungan 21 Partai (PPP, PD, PDIP, Partai Golkar, PDS, PBR, PBB, PPNUI, PPDK, PKPB, PPDI, PBSD, PPIB, Partai Merdeka, PKB, PAN, PPD, Partai Patriot Pancasila, PKPI, dan Partai Pelopor), mendapat dukungan 2.109.511 suara (57,87%). Sementara pesaingnya, Cagub Adang Daradjatun-Dani Anwar mendapat dukungan 1.535.555 suara (42,13%).
Pada pilkada 2007, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta menetapkan sebanyak 5.725.767 pemilih, dimana jumlah pemilih tersebut disahkan dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) tanggal 30 Juni 2007. Dari jumlah tersebut, 2.893.255 diantaranya pemilih laki-laki dan 2.832.512 pemilih perempuan. Dengan demikian maka sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan DKI mengharuskan kemenangan 50 persen plus satu bagi calon pasangan kepala daerah, pasangan Fauzi Bowo-Prijanto menang dalam satu putaran.
Bagaimana dengan pilkada 2012? Pasangan Cagub-Cawagub DKI yang maju sebanyak enam pasang, empat calon Parpol dan dua dari jalur independen. Dari keenam pasangan tadi, maka yang menurut penulis akan sangat diperhitungkan adalah pasangan Fauzi Bowo-Prijanto dan Hidayat Nur Wahid - Didik J. Rachbini. Mengapa? Fauzi kini adalah incumbent yang pada 2007 menang dalam pilkada dengan dukungan 21 parpol. Sementara Hidayat-Didik perlu diperhitungkan, karena sejarah mencatat pada pilkada 2007, pasangan dari PKS yang diwakili Komjen Pol Adang Darajatun-Dani Anwar mampu menyedot 42,13% suara. Dalam sebuah dinamika pemilihan serupa, hanya ada dua jenis pemilih. Pertama, pemilih mendatangi bilik karena mengidolakan seseorang atau dia setia kepada arahan parpolnya, dan kedua karena si konstituen mendapat sebuah imbalan sesuatu. Ini adalah tetap panggung politik yang kadang ada upaya menghalalkan cara, yang penting menang.
Fauzi Bowo (Foke), jelas selangkah lebih maju. Dia sangat dikenal, hampir 95 persen responden yang di survei mengatakan mengenal (mengetahui Foke). Dalam beberapa survei yang dilakukan baik oleh LSI ataupun Indo Barometer mengunggulkan Foke, bahkan angkanya mencapai 43 persen, angka yang sangat kuat tetapi tidaklah aman bagi seorang incumbent. Perpecahan Foke-Prijanto menjadi luka yang terekam warga Jakarta. Bagaimana bisa Jakarta yang demikian banyak komplikasinya mempunyai pemimpin yang pecah kongsi? Nah itulah titik rawan Foke. Terlebih kini banyak borok-boroknya yang diungkap oleh kelima Cagub lainnya. Foke secara pasti telah dijadikan musuh bersama mereka.
Apabila kita berpegang kepada hasil survei, nampaknya pasangan Jokowi-Ahok menempati posisi kedua bekisar antara 16-20 persen. Sementara Hidayat-Didik berkisar antara 4,5-7,6 persen. Bagaimana dengan calon independen? Pasangan Faisal-Biem dari jalur independen, dalam survei berkisar antara 2,5-4 persen. Memang sayang, pasangan independen yang semula demikian kuat pengaruhnya, ternyata kemudian dapat tertindas, karena diantaranya kurang kuatnya dukungan dana. Yang berakibat kepada upaya sosialisasi dan kampanye yang agak terbatas, sementara calon parpol lebih jor-joran. Dengan demikian maka beberapa pengamat memperkirakan pilkada akan berlangsung dalam dua putaran.
Nah, kalau dua putaran, siapakah yang bisa diperkirakan akan masuk? Kalau menganut hasil survei secara penuh apa adanya, maka pasangan Foke-Nachrowi dan Jokowi-Ahok yang akan melaju. Benarkah demikian? Dari pengalaman membahas pilpres 2004 dan pilpres 2009, penulis yang sangat yakin dengan beberapa lembaga survei akhirnya berhasil membuat ramalan bahwa pasangan SBY-JK (2004) dan SBY-Boediono (2009) mampu memenangkan pilpres. Tetapi akhir-akhir ini, khusus pada pilkada DKI Jakarta, ada sebuah titik jenuh penulis terhadap lembaga survei. Dalam ilmu intelijen, sebuah ramalan (the future) sangat ditentukan dengan informasi masa lalu (the past) dan informasi masa kini (the present).
Pilkada DKI 2007, sebagai acuan the past menyebutkan hasil PKS yang berdiri sendiri melawan Foke dengan 21 parpol tetap mampu menyedot 42,13% konstituen, yang diperkirakan terdiri dari para anggota, kader dan simpatisan PKS. Militansi para kader PKS inilah yang sangat perlu diperhitungkan oleh Cagub lainnya. Soliditas atau persatuan dan keinginan menang warga PKS sangat besar, dibandingkan Cagub lainnya. Perolehan suara PKS di DKI Jakarta pada pemilu nasional di tahun 2009 adalah 696.706 atau sekitar 18% dari total pemilih, kedua terbesar dibawah Partai Demokrat yang sekarang mendukung Fauzi Bowo. Dengan demikian ada sekitar 800.000 pemilih lain diluar PKS yang mendukung calon PKS pada Pilkada 2007 tersebut. Jelas, mereka adalah hasil gerilya kader PKS di DKI dan luar DKI, pendukung Adang Darajatun, atau kelompok yang anti Foke dan anggota parpol lain yang bosan dan menginginkan sebuah perubahan.
Nah, dengan demikian, seberapa besarkah peluang Hidayat-Didik? Apabila soliditas kader dan simpatisan PKS dapat mereka jaga dan tingkatkan, paling tidak mereka sudah mengantongi sekitar 700.000 suara, dengan tambahan sekitar 200-300.000 lainnya (simpatisan Didik dari PAN? dan pendukung eks Pilkada 2007), maka penulis perkirakan Hidayat-Didik akan mampu melewati barrier pertama dan bisa bersanding dengan Foke di putaran kedua. Peluang Hidayat akan hilang apabila kemampuan PKS sebagai partai pendukung utamanya tidak sesolid seperti saat pilkada 2007 lalu. Dalam hal nama besar, memang nama Jokowi cukup berkibar yang menurut kalangan penyurvei berada dikalangan menengah keatas. Dalam sosialisasi dan kampanye, pasangan Jokowi-Ahok yang didukung Prabowo mampu membangkitkan minat dan merubah pandangan penduduk Jakarta dalam membandingkan dengan Fauzi Bowo. Sementara pasangan Hidayat-Didik lebih populer dikalangan menengah kebawah, karena disitulah kadernya populer dan banyak bermain.
Disinilah menurut penulis harapan baru muncul bagi Hidayat, sementara kalangan atas pada umumnya banyak yang malas datang ke TPS untuk berpartisipasi dalam pilkada 2012, mereka lebih suka berlibur keluar kota atau melihat Pilkada DKI secara sinis. Kelompok Golput akan berada dikalangan menengah keatas. Apabila informasi komposisi pemilih dari surveyor betul, maka pasangan Hidayat-Didik akan sangat diuntungkan oleh para pemilih bawah tersebut.
Ketua KPU Provinsi DKI Jakarta, Dahliah Umar menjelang penutupan Rapat Pleno Penyusunan dan Penetapan Rekapitulasi Jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta di Hotel Lumire, Sabtu (2/6) menyatakan jumlah DPT akhir. Setelah mendapat masukan dari tim kampanye masing-masing calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta serta Panitia Pengawas Pemilu Kepala Daerah (Panwaslukada) DKI Jakarta adalah 6.983.692 pemilih dengan jumlah TPS sebanyak 15.059.
Dalam rapat pleno yang melibatkan KPU DKI Jakarta, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), dan enam tim sukses pasangan cagubcawagub kemarin malam disepakati sebanyak 21.344 dari 6.983.692 nama pemilih yang telah ditetapkan pada daftar pemilih tetap (DPT) pada 2 Juni silam dihapus karena bermasalah. Penulis perkirakan dari jumlah tersebut, kemungkinan pemilih hanya akan berkisar antara 3,5-4,5 juta. Dimana Foke-Nachrowi penulis perkirakan akan mampu merebut sekitar 1,4 juta (28-30%), sementara Hidayat-Didik bisa merebut antara 900.000-1 juta pemilih (23-25%). Sementara konstituen yang berjumlah sekitar 1,6-2 juta akan dibagi oleh empat calon lainnya. Dengan demikian maka pertarungan pemimpin Ibukota nampaknya akan berlangsung dua putaran, dan masih akan diperpanjang hingga bulan September 2012.
Demikian ulasan dibuat, tidak jauh dari fakta yang ada pada pilkada 2007, penulis perkirakan pasangan Hidayat-Didik bisa menjadi kuda hitam yang akan mengejutkan calon lainnya pada tanggal 11 Juli. Dengan permintaan maaf, ulasan disusun hanya berdasarkan fakta-fakta yang ada, sebuah ramalan yang disusun tanpa ada maksud mengecilkan calon lainnya. Sebagai mantan cagub independen yang "wurung" maju, sebenarnya sayang dua pasangan calon independen nampaknya tidak berhasil memunculkan greget dalam menggebrak kondisi kejenuhan masyarakat terhadap partai politik. Semoga ada manfaatnya bagi pembaca budiman.
Prayitno Ramelan (www.ramalanintelijen.net)