Jokowi-Ahok Hanya Alat Perekat

20 March 2012 | 9:51 am | Dilihat : 415

Menjelang akhir pendaftaran pasangan Cagub di DKI Jakarta, dinamika politik bergerak cepat dan terus berubah setiap saat. Hingga hari terakhir pendaftaran Senin (19/3), parpol-parpol papan atas dan menengah baru menemukan kesamaan pandangan dan setuju dengan pasangan yang diusung. Kalau dipikir, entah apa saja yang dipikirkan petinggi-petinggi parpol itu selama ini. Tetapi dengan dasar pemikiran seperti itulah sistim demokrasi, akhirnya semua harus menerimanya. Kepentingan baik kelompok, faksi, individu dan parpol harus diwadahi dalam konteks penentuan calon yang diusung.

Kali ini penulis mencoba mengulas pasangan Jokowi dan Ahok sebagai Cagub dan Cawagub yang diusung oleh PDIP dan Partai Gerindra. Disatu sisi, diajukannya Jokowi sebagai kader PDIP adalah hal yang wajar, oleh elit PDIP, Jokowi dinilai menarik dan masih laku dijual. Tetapi masuknya Ahok (Ir Basuki T Purnama, MM) yang kader Golkar dan mantan Bupati Belitung diusulkan oleh Gerindra dalam berkoalisi dengan PDIP agak mengherankan.

PDIP yang memiliki 11 kursi di DKI Jakarta membutuhkan empat kursi lagi sebagai  syarat agar dapat mengajukan pasangan Cagu-Cawagub. Gerindra mempunyai enam kursi. Dengan 17 kursi maka kedua parpol ini sudah memenuhi syarat minimal. Persoalannya, mengapa Gerindra mengajukan Ahok sebagai calon? Ahok pada awalnya mencoba berkompetisi melalui jalur independen, namun langkahnya terhenti, karena memang sangat berat mengumpulkan pendukung sebanyak 407 ribu lebih. Ahok yang kader Golkar mereka ambil sebagai calon yang menarik karena sebagai politisi muda, sudah agak terkenal. Gerindra menilai tidak punya kader yang laku dijual, kira-kira begitulah.

Gerindra penulis nilai nampaknya tidak terlalu pusing dengan siapa calon yang akan mereka usung, terlihat mereka dengan ringan menyatakan, akan mengganti apabila Ahok ditolak PDIP. Ternyata PDI juga tidak mau mengambil resiko, takut Gerindra lari kembali. Gerindra pernah diajak bergabung dalam Panbers (Partai Bersama), yang merupakan gabungan dari empat partai, yaitu Partai Golongan Karya (Golkar), Gerindra, Hanura, dan Partai Damai Sejahtera (PDS), dengan tujuan mendukung Fauzi Bowo.

Mengapa kemudian Gerindra bergabung dengan PDIP dalam pilkada DKI? Nampaknya hitungan politik yang didasarkan survei menjelang pemiu 2014 mendatang sangat mewarnai koalisi di pilkada DKI kali ini. Dalam survei Puskaptis 22 Januari-2 Februari 2012, didapat hasil Megawati Soekarnoputri dikenal 85,95 persen responden, Prabowo Subianto dikenal 83,35 persen responden, Ani Yudhoyono dikenal 75,55 persen responden, Akbar Tandjung dikenal 73,65 persen responden, Aburizal Bakrie dikenal 72,55 persen responden.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan dalam hasil surveinya, Kamis (23/2/2012), "Jika pilpres diselenggarakan saat ini, 15,2 persen masyarakat memilih Megawati,” katanya. Selanjutnya, diurutan dua Prabowo Subianto dengan perolehan (10,6 persen), Jusuf Kalla (7 persen), Aburizal Bakrie (5,6 persen). Jika daftar nama capres dipersempit menjadi  10 nama calon, nama Megawati masih tertinggi dengan (22,2 persen), disusul oleh Prabowo (16,8 persen) dan Aburizal Bakrie (10,9 persen).

Dengan demikian terlihat bahwa Megawati dan Prabowo merupakan figur yang patut diperhitungkan dalam pilpres 2014 nanti. Dengan tidak majunya Pak SBY nanti, maka nama Mega kembali akan berkibar, terlebih apabila Mega digandengkan dengan Prabowo. Menurut pengalaman penulis dalam mengikuti survei sejak tahun 2004, pasangan ini akan sangat kuat berpeluang sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada 2014 nanti. Dalam hal ini seperti ulasan lalu, penulis masih meyakini Mega adalah kandidat terkuat untuk menggantikan SBY (http://ramalanintelijen.net/?p=4235 ).

Nah, kembali kepada Pilkada DKI Jakarta, ini adalah sebuah entry point dari Prabowo merapat ke Mega. Keduanya saling membutuhkan untuk saling melengkapi syarat kursi minimal di DKI. Strategi Prabowo boleh dikatakan cukup cerdas, karena Mega menurut pendapat penulis sebagai pribadi yang keras dan kukuh, sederhana, low profile dan tidak mudah didikte. Kasus koalisi PDIP-Demokrat yang diusung suaminya Taufik Kiemas yang menyalonkan Adang Ruchiatna saja langsung dimentahkannya. Batalah koalisi Foke Adang.

Nampaknya ganjalan hati Mega terhadap SBY masih tersisa, sehingga usulan Taufik yang mencoba membangun koalisi PD-PDIP ditolaknya mentah-mentah, dan justru Prabowo yang dia terima merapat. Nah, dengan demikian maka pasangan Jokowi dan Ahok nampaknya memang hanya sebuah alat yang merekatkan PDIP-Gerindra. Memang menurut penulis kedua parpol  terlalu berspekulasi mengusung Jokowi dan Ahok yang bukan warga Jakarta, disebut sebagai pendatang. Popularitas saja  tidak cukup untuk menang di Jakarta, harus ada sesuatu yang merangsang masyarakat agar bersimpati. Masyarakat menilai, orang luar Jakarta mana mengerti persoalan Jakarta?. Tetapi walau demikian Mas Joko Esemka, maksudnya Jokowi yang beken karena marketing mobil Esemka bukan berarti akan takluk begitu saja di DKI.

Dia sosok pejabat yg mau turun kebawah bersama rakyat, tidak hanya jadi pejabat yang hanya duduk di kursi gading. Itu dibuktikannya di Solo, dimana dia saat ini masih menjadi Walikota. Memegang dan memimpin di Jakarta jelas berat, karena masyarakatnya demikian heterogen. Banyak warganya yg pintar, tapi yang bodoh juga banyak, banyak pengangguran, banyak yang miskin, tapi banyak juga yang kayanya tak terkirakan, yang ngaji dan beribadah banyak, kelompok jahat dan murtad juga banyak, preman juga banyak, pemerkosa banyak, koruptor jangan ditanya...lengkaplah sudah masalah yang harus dihadapi Gubernur mendatang. Belum lagi masalah klasik seperti macet dan banjir.

Ahli tidak dibutuhkan di Jakarta, buktinya dalam kepemimpinan Gubernur lama dengan tagline "Serahkan kepada ahlinya" ya sama saja, tetap saja kita tertekan hidup di Jakarta, Jakarta tidak maju, jalan ditempat. Kita butuh pemimpin atau Umaro yang menurut penulis haruslah seorang yang Siddiq, Amanah, Tabligh dan Fatanah. Bukan pemimpin yang hanya berkalung simbol agama tetapi berkelakuan bak preman juga, hanya merangkul rakyatnya saat pilkada. Uuuugh Jakarta, selamat datang Mas Jokowi, tolong hati-hati masuk Jakarta. Anak Betawi bilang "Ini Jakarta Mas bukan Solo." Selamat berjuang Bro!. Prayitno Ramelan ( www.ramalanintelijen.net )

Ilustrasi Gambar :Detik.com

 

 

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.