Menarik, NasDem di Posisi Empat Besar
12 March 2012 | 7:37 am | Dilihat : 288
Hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilaksanakan pada 25 Pebruari-5 Maret 2012 menunjukkan perkembangan politik yang menarik menuju pemilu 2014. Persepsi publik tetap mendudukan Partai Golkar pada posisi teratas dengan 17,7% suara. PDIP seperti survei beberapa bulan lalu pada posisi kedua, 13,6%, dan Partai Demokrat berada di posisi ketiga,13,4%.
Yang menarik, Partai NasDem, besutan Surya Paloh sebagai partai baru mampu bertengger di urutan keempat dengan 5,9% suara. Sementara partai-partai menengah seperti PKB mampu meraih simpati publik, 5,3% dan PPP 5,3%. Partai PKS yang pada pemilu 2009 begitu menonjol, kini hanya mendapat simpati publik, 4,2%. Partai Gerindra 3,7%, PAN 2,7%, Partai Hanura 0,9%, dan Partai Nasional Republik (Nasrep) 0,5%.
Survei yang melibatkan 2.418 responden di 33 provinsi tersebut menarik untuk dicermati lebih lanjut, mengingat kemungkinan parliamentary threshold akan berada pada angka 4%. Direktur Eksekutif LSI Dodi Ambardi saat merilis hasil survei Minggu (11 Meret 2012) menyampaikan yang menarik, Partai NasDem sebagai parpol baru dinilainya mampu mencapai prestasi mengejutkan. ”Yang mengejutkan adalah dukungan terhadap Partai NasDem yang mencapai 5,9%. Kalau dihitung secara pesimistis atau minus margin of error 2%, NasDem sudah mendapat 3,9%. Tapi kalau dihitung optimistis, NasDem sekarang sudah mendapat dukungan 7,9%,” kata Dodi.
Direktur Komunikasi Publik LSI Burhanuddin Muhtadi menyampaikan, dilihat dari peta pemilih menurut sosio-demografi, NasDem dilihat positif oleh pemilih dengan kategori gender laki-laki, kalangan pemilih berpendidikan tinggi, dan pemilih dewasa muda berusia 21–25 tahun. NasDem mampu menduduki posisi keempat. Dalam kategori ini, Golkar mendapatkan dukungan 16,8% suara, disusul PDIP 15,5%, Demokrat 12,8%, NasDem 7,7%.
Pada kategori pemilih berpendidikan tinggi, suara Partai NasDem hampir menyamai perolehan Partai Demokrat. ”Kategori pemilih dewasa muda juga menempatkan Partai NasDem di posisi empat besar.Pada kategori ini Partai Demokrat menempati posisi pertama dengan 18,1% suara, disusul PDIP 15,5%, Partai Golkar 14,8%, dan Partai NasDem 13,5%,” katanya. Selanjutnya Burhanudin menjelaskan, pemilih yang tidak terikat parpol mana pun jumlahnya mencapai 80%.
Karena itu, kendati ada silent revolution dan iklan, pemilih tetap galau dan mudah sekali berpindah. ”Jadi yang bisa kita tarik dari kenaikan suara Golkar dan NasDem, ini karena berkurangnya undecided voters." NasDem mampu meraih suara parpol gurem yang tidak lolos PT dan pemilih yang tidak menyalurkan suaranya pada pemilu 2009, demikian menurut Burhanudin.
Dari hasil survei diatas, penulis melihat bahwa pemilih nasionalis masih dominan dan tersebar di empat besar parpol, sementara tiga partai berbasis Islam berada pada posisi parpol menengah. Masih sulit parpol tersebut menembus posisi atas. PKS partai yang militan nampaknya makin turun posisinya, justru PKB dengan gaya kepemimpinan muda mampu merangkul kiyai dan nahdliyin, walaupun Ketua PKB, Cak Imin pernah diberitakan negatif dalam kasus korupsi, posisi PKB masih berada di posisi lima besar.
Walau NasDem, partai dengan tagline "Arus Besar Perubahan," dengan misi "restorasi Indonesia," dalam pengertian ormas pernah ditinggalkan oleh beberapa tokoh, nampaknya Surya Paloh mampu menggerakkan mesin ormas dan NasDem sebagai sebuah parpol untuk meraih simpati rakyat. Dengan kepemilikan stasiun TV (Metro TV) dan surat kabar, upaya sosialisasi NasDem nampaknya cukup berhasil.
Terlebih kini Hary Tanoe, pemilik MNC grup juga telah bergabung bersama Surya Paloh. Dengan demikian maka makin kuatlah gerbong pemberitaan NasDem. Hal serupa juga terjadi pada Golkar, dimana Aburizal Bakrie mampu memanfaatkan stasiun beritanya untuk terus memberitakan diri dan Golkar ke publik. Dengan demikian berlakulah pepatah "Tak kenal maka tak sayang."
Pertarungan dan persaingan politik akan sangat dipengaruhi oleh peran media, dimana media yang disebut 'silent revolution' akan terbukti memang mampu menaklukkan jejaring partai. Masalahnya, bermain di media resikonya cukup tinggi dan membutuhkan dana yang sangat besar. Karena itu mendatang, media dan politik adalah kesatuan yang saling mengisi dan memperkuat. Parpol tanpa kepemilikan media ya harus siap-siap ditaklukkan, terlebih apabila di parpol tersebut tidak ada tokoh utamanya yang memang mampu menarik minat, atau mungkin berani agak "geger." Prayitno Ramelan ( www.ramalanintelijen.net )