Tahun 2011 Kita Didominasi Konflik, Bagaimana 2012?

31 December 2011 | 1:13 am | Dilihat : 5400

Pagi tadi Jumat (30/12), penulis (Pray) diundang oleh TV One sebagai narasumber untuk talk show Apa Kabar Indonesia Pagi bertempat di wisma Nusantara di dekat bundaran HI. Sehari sebelumnya Indy Rahmawati, produser merangkap presenter TV One yang simpatik menelpon penulis mendiskusikan tentang kondisi keamanan Indonesia Tahun 2011. Dari hasil pembicaraan tersebut, penulis diminta hadir untuk membahas fokus kasus konflik sosial yang terjadi bersama-sama beberapa pakarmasalah hukum dan sosial.

Mereka adalah, Dr.Ganjar L Bonda, Pakar Hukum Pidana Universitas Universitas Indonesia,  Prof.Dr. Bambang Widodo Umar Staf Pengajar KIK/Departemen Kriminologi UI, mantan pejabat Polri, Dr. Imam Prasojo, Dosen tetap FISIP UI/Ketua Yayasan Nutrani Dunia. Nah, masing-masing menyampaikan pendapatnya tentang masalah konflik sosial yang terjadi. Penulis tidak membahas pendapat pakar-pakar tersebut yang memang hebat, penulis mencoba mengajak pembaca ikut berfikir dengan apa yang penulis sampaikan secara garis besar. Oleh karena itu, alur pikiran yang agak detail penulis coba sampaikan pada artikel ini.

Pertama kali penulis menjelaskan bahwa pada tahun 2011 telah terjadi konflik dimana konflik yang terjadi merupakan sebuah bentuk konflik horizontal. Kita ketahui bahwa struktur masyarakat ada tiga yaitu, yang apabila digambarkan akn berbentuk segitiga sama sisi terdiri dari tiga tingkatan. Kelompok tertinggi, jumlahnya paling sedikit yaitu kelompok elit, kedua kelompok middle class yang berada dibawah elit, kelompok terbawah dan jumlahnya terbesar adalah kelompok masyarakat (kalangan bawah).

Nah, konflik kini terjadi di tiga strata tadi, terjadi diantara kalangan elit, terjadi juga diantara kelompok middle class dan yang terbanyak terjadi dikalangan rakyat bawah. Konflik yang terjadi semakin lama semakin berbahaya, dimana tindak anarkis makin kerap muncul dalam konflik tadi. Tindak kekerasan menggunakan senjata tajam adalah hal yang semakin biasa terjadi. Keinginan menyakiti dan bahkan membunuh semakin lama semakin besar. Demikian juga tindakan merusak dan  main bakar adalah merupakan ekspresi favorit dari sebuah sikap protes.

Sebelum kita lanjutkan, kita bahas sedikit teori konflik. Menurut kamus Wiki, konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Ditegaskan kembali, bahwa  konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).

Pada talk show tersebut penulis mengulas konflik dengan teori intelijen. Intelijen terdiri dari intelijen taktis dan intelijen strategis. Intelijen Taktis dipergunakan sebagai alat untuk memenangkan pertempuran, sementara intelijen strategis untuk memenangkan sebuah peperangan, keduanya dipergunakan oleh user sebagai ilmu untuk memenangkan pertempuran atau perang. Konflik horizontal yang kini terjadi adalah pertikaian baik antara individu ataupun kelompok, keributan antar kampung, keributan etnik, keributan agama, bahkan satu agama, keributan pilkada, keributan penertiban rumah, perebutan lahan dan banyak lagi lainnya. Rakyat dan lembaga pembela rakyat menyebutnya membela rasa keadilan dan HAM.

Batas-batas tindakan realistis dengan unrealistic sudah menjadi kabur. Keributan soal tanah yang berubah menjadi konflik sosial jelas sangat mengganggu. Menurut Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pers, bentrokan banyak  terjadi karena semangat penerapan UU Agraria tidak dilaksanakan dengan baik. Dikatakannya, persoalan sengketa tanah masih menjadi kasus terbanyak. Saat menjabat sebagai hakim ketika itu, kasus persengketaan tanah disebutkannya mencapai angka 60 persen. Soal tanah adalah soal yang rawan, bisa dibayangkan pada saat kelompok masyarakat kalangan bawah tidak menghormati aparat, dengan besarnya kasus tanah, konflik terus terjadi saling susul menyusul, tanpa rasa takut, menjurus ke nekat.

Belum lagi konflik yang disebabkan karena kepentingan dalam pemilihan kepala daerah. Rakyat pendukung pasangan dimanapun biasanya tidak siap kalah. Begitu kalah, mereka akan bertindak anarkis. Konflik banyak terjadi didaerah yang secara etnik karakternya memang  keras. Satu daerah akan menyontoh daerah lain karena merasa itulah sikap yang dibenarkan. Disinilah peran media yang menurut Bagir Manan karena semangatnya tidak hanya pemberi informasi, bahkan justru bisa menjadi instrumen konflik. Kasus keributan tanah yang sangat menonjol  akhir-akhir ini terlihat di Papua, Mesuji, Ternate dan Bima. Walaupun penyebaran kasus konflik juga terjadi di daerah lainnya. Korban yang jatuh cukup memprihatinkan. Makin rendah pengetahuan  kelompok masyarakat disuatu daerah, makin besar korban yang jatuh.

Sementara kasus pilkada yang menonjol yaitu pembakaran rumah pribadi Gubernur Papua Barat terpilih, Abraham Octavianus Ataruri pada Selasa (20/12). Sejak pagi massa yang diduga dari pendukung salah satu pasangan gubernur dalam pilkada Papua Barat menutup sejumlah ruas jalan. Massa menebang pohon-pohon besar dan meletakkannya di tengah jalan. Demikian juga tidak lama berselang hari, rumah dinas Bupati Kota Waringin Barat juga dibakar massa pada Kamis (29/12).

Massa menuntut pembatalan pelantikan bupati terpilih, Ujang Iskandar dan Bambang Purwanto yang rencananya dilangsungkan Jumat (30/12). Massa merasa bahwa Sugianto-Eko adalah pasangan bupati-wakil bupati terpilih dalam Pemilu Kada Kobar pada Juni 2010. Massa merasa keadilan mereka direnggut pemerintah pusat yang justru melantik bupati terpilih yang dimenangkan Mahkamah Konstitusi, yakni Ujang-Bambang.

Beberapa contoh kasus konflik diatas adalah bukti bahwa masyarakat sangat rentan dengan provokasi, sehingga mudah dirangsang dengan informasi pinggir jalan yang sengaja ditiupkan. Yang kemudian berkembang, dan membahayakan adalah sikap masyarakat kalangan bawah, mereka menerima penjelasan, skini adalah jaman kebebasan, kedaulatan ditangan mereka. Pemahaman dangkal tentang penerapan demokrasi dikalangan masyarakat bawah justru kini yang menjadi kerawanan. Kerawanan adalah sebuah kelemahan khusus, bila dieksploitir bisa menyebabkan kelumpuhan.

Bagaimana dengan posisi Polisi? Sudah tepat? Pertanyaan menggelitik terus digulirkan, beberapa kekuatan dengan upaya-upaya lainnya berniat untuk menggeser dan menurunkan derajat kekuasaan polisi. Polisi kini menjadi instansi yang disalahkan. Tumpuan kemarahan masyarakat. Polisi kini sebagai garda terdepan dan bertanggung jawab dalam penegakkan hukum, pelaksana kamtibmas, yang langsung berhadapan dengan rakyat yang sedang mengalami euforia kebebasan. Dalam keadaan terdesak maka senjata api yang mereka pegang kemudian ada yang dipergunakan, dengan alasan sudah sesuai dengan SOP.

Nah, disitulah muncul tuduhan dan tekanan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sebuah tugas penting Polri adalah kembali menilai SOP mereka dalam penegakkan hukum. Presiden sudah menegaskan agar dalam menangani demonstrasi tidak dilakukan dengan kekerasan. Disinilah dibutuhkan keputusan pimpinan Polri untuk lebih bijak dalam bertindak disaat menghadapi  massa yang makin beringas. Berat memang.

Menurut Intelijen strategis, kasus konflik di Indonesia harus ditakar dengan sembilan komponen intelstrat (Ipoleksosbudhankam, sejarah, biografi dan demografi). Nah, dengan materi yang sangat komprehensif, begitu diterapkan, akan terlihat di sisi mana catatan minus yang paling besar. Disinilah intelijen dapat memperkirakan konflik yang akan terjadi dapat di deteksi  jauh hari, dan petugas memberikan saran tindakan berupa laporan dan perkiraan intelijen.  Dengan kata lain, potensi konflik akan dapat dicegah, paling tidak diredam. Polisi tidak pada tempatnya terus disalahkan, karena penyelesaian akar masalah konflik bukan tanggung jawab polisi. Polisi adalah aparat pelaksana penegakan hukum, konflik adalah masalah sosial. Jadi berbeda wilayahnya.

Menurut teori, konflik yang terjadi disebuah tempat harus segera cepat diselesaikan, tidak dapat dibiarkan. Konflik yang berkepanjangan mendorong timbulnya kebencian dan keinginan balas dendam, membantu munculnya kelompok-kelompok yang tujuan utamanya adalah mengobarkan perang, dan memperkuat para pemimpin  yang bertindak semena-mena karena adanya suasana ketakutan. Kondisi-kondisi ini menyediakan tanah penyemaian yang ideal bagi jenis orang yang bersedia terlibat dalam teror massal (Stephen M. Walt).

Dalam talk show, penulis juga menyampaikan bahwa selain kasus konflik, ada masalah yang jauh lebih besar dan harus kita perhatikan.  Masalah tersebut adalah konflik antar negara, seperti yang terjadi di Mesir dan Libya. Dunia kini dengan penduduk sekitar lima milyar orang, pada tahun 2050 diperkirakan akan menjadi sekitar sembilan milyar. Kini negara-negara di dunia mulai saling berebut sumber energi dan makanan untuk persiapan kehidupan di masa mendatang. Satu sama lain bersaing untuk memperebutkan kebutuhan hidup bangsanya di masa mendatang. Bahasa terangnya berebut hidup.

Hal inilah yang harus kita sadari dan persiapkan bersama. Pengalaman masa lalu, Timor Timur lepas karena kita tidak memperebutkannya (mempertahankan), Sipadan Ligitan juga serupa, lepas karena kita tidak mampu mengatasi tekanan hukum dan HAM yang ada di luar negeri. Bukan tidak mungkin, Papua yang terlihat mulai ada yang mencoba memperebutkan dari luar, apabila kita tidak serius melakukan pengamanan, penulis khawatir Papua akan bisa direbut bangsa lain.

Itulah inti dari hasil talk show di TV One tadi pagi, penulis dalam closing statement mengatakan, yang perlu dijaga, jangan sampai DKI Jakarta tertular dengan konflik kiriman atau meniru dari daerah lain. Potensi konflik di Jakarta cukup besar yaitu adanya kesenjangan sosial di Ibukota, kota yang keras dalam bersaing untuk hidup. Jakarta adalah barometer Indonesia yang harus terus dijaga stabilitasnya. Jakarta adalah jantung Indonesia yang harus dijaga dan dirawat agar Indonesia tidak terkena heart attack yang mematikan. Stabilitas di era keterbukaan adalah tugas kita semua.

Tahun 2012 adalah tahun harapan, kita bersama harus sadar bahwa tanggung jawab mengatasi konflik bukan hanya di tangan polisi saja misalnya, banyak bidang-bidang lain yang perlu dilibatkan agar akar permasalahan dapat diselesaikan dan benang yang kusut dapat terurai. Tanpa niat dan upaya yang teguh kita semua, maka kita akan selalu melihat dilayar kaca konflik horizontal terus terjadi. Yang sangat berbahaya, apabila kaki kelabu itu melangkah sekali lagi, konflik horizontal akan dapat bergeser menjadi konflik vertikal. Tidak dapat dibayangkan akibatnya. Semoga tidak terjadi. Pray for Jakarta, http://ramalanintelijen.net .

Ilustrasi gambar : beningpost.com

 

This entry was posted in Sosbud. Bookmark the permalink.