Teroris Bom Buku Mulai Disidang

3 November 2011 | 12:48 am | Dilihat : 807

Suatu hari penulis mendapat pertanyaan dari seorang presenter televisi, mana yang lebih menakutkan sebuah bom asli yang meledak seperti di gereja di Solo dibandingkan dengan banyaknya bom palsu seperti bom buku? Penulis menjelaskan bahwa keduanya sama berbahaya dan menakutkan, karena  sama-sama serangan psikologis.  Bom yang diledakkan di Gereja GBIS Kepunton Solo walau kecil, termasuk luar biasa atau spektakuler, hasilnya seperti yang diinginkan penyerang, secara kumulatif berdampak besar, membuat masyarakat dan pemerintah menjadi gelisah.

Serangan bom buku juga menimbulkan rasa takut,  diawali jatuhnya korban anggota polisi yang terluka berat karena mencoba menjinakkan. Paket serupa bom buku kemudian menyebabkan paranoid dikalangan masyarakat apabila menerima paket. Kelompok penyerang memanfaatkan pemberitaan yang besar dengan mengirimkan beberapa bom palsu kesasaran terpilih yaitu tokoh masyarakat atau public figure.

Dalam hal ini, serangan teroris secara teori lazimnya tidak mengharapkan tujuan sebagai hasil langsung dari serangan mereka, tetapi yang mereka harapkan adalah lewat efek dan reaksi yang mereka lakukan dapat membangkitkan kepanikan baik masyarakat maupun pemerintah. Bom Solo menyebabkan baik aparat keamanan, menteri hingga presiden menjadi sibuk.

Secara teori sebuah pemerintahan yang buruk, lemah atau tidak layak dalam sebuah negara merupakan tempat yang bagus untuk berkembangnya embrio teroris. Atau sebaliknya kelompok teroris banyak yang lahir dari buruknya kondisi sebuah negara, atau saat sebuah negara mengalami krisis. Dalam sebuah negara dengan pemerintahan yang kuat, dapat diprediksikan perkembangan teroris tidak akan berlangsung lama.

Oleh karena itu pada umumnya teroris akan berusaha memperlemah sebuah pemerintahan dengan berbagai metode, melaksanakan aksi yang disengaja untuk menurunkan kredibilitas sebuah pemerintahan atau mendelegitimasinya.

Nah, berdasarkan teori tersebut, penulis akan mengulas sebenarnya kelompok bom buku siapa dan tujuannya apa dengan dasar hasil persidangan kelompok bom buku. Dalam pakem intelijen siabidibame, maka singkatan 'me' atau mengapa adalah bagian paling sulit dari lapsus dan analisa  intelijen yang harus disampaikan kepada user.

Sejak hari Senin (31/10/2011), Pengadilan Negeri Jakarta Barat menggelar sidang perdana terhadap tujuh tersangka bom buku. Ketujuh tersangka tersebut, yakni Muhammad Maulana Sani alias Maulana alias Alan alias Asaf, Watono alias Tono alias Anton alias Jafar, Ade Guntur alias Sagod, Mugianto alias Mugi, Febri Hermawan alias Awi alias Toge, Juhanda alias Jo, dan Darto.

Dalam sidang tersebut, yang dihadirkan tiga terdakwa yaitu Juhandan alias Jo, Maulana, dan Mugianto, dihadirkan ke muka sidang yang dipimpin hakim Saptono. Sementara tiga lainnya ditunda dan satu orang atas nama Darto tidak dapat hadir karena sakit.  Ketujuh tersangka tersebut oleh  kepolisian dinyatakan sebagai bagian dari 18 orang yang ditangkap Densus Aantiteror 88 Polri. Mereka sangat patut diduga  diduga terlibat dalam rangkaian bom buku yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya pada 15 dan 16 Maret 2011.

Kelompok delapan belas tersebut anggota dari  kelompok yang dipimpin Pepi Fernando alias M Romi alias Ahyar, seorang pria lulusan UIN Syarif Hidayatullah Ciputat dan mantan kameramen stasiun tv swasta itu, yang telah mengirimkan sejumlah bom buku kekantor KBR 68H Utan Kayu, Jakarta Timur, ke Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen (Pol) Gories Mere, kekediaman artis Ahmad Dhani dan ke kediaman Ketua Umum Partai Patriot Yapto S Soerjosumarno.

Selain itu mereka juga diduga terlibat dalam kasus temuan bom rakitan di Kota Wisata, Gunung Putri, Bogor (18/3/2011), rangkaian bom di Jalan Raya Puspitek pada (25/3/ 2011), ledakan bom di dekat Gereja Christ Cathedral, Serpong, pada (21/4/2011), rencana pengeboman di jalur keluar pintu tol Jagorawi, fly over Cawang UKI, dan temuan bom tabung di bawah jembatan Banjir Kanal Timur (BKT) Cakung, Jakarta Timur.

Nah, mendatang, masyarakat akan dapat mengikuti pemberitaan sebenarnya apa motif kelompok bom buku tersebut. Aparat keamanan sudah menyatakan bahwa kelompok ini  tidak terkait dengan kelompok teroris yang selama ini melakukan serangan teror, yaitu dikenali sebagai bagian dari Jamaah Islamiyah atau Jamaah Anshorut Tauhid. Jadi kelompok ini terbentuk dengan sendirinya. Rasanya tidak mungkin sebuah serangan teror yang ditujukan kepada masyarakat dan pemerintah hanya ulah Pepih Fernando yang hanya iseng belaka. Jelas perencanaan serta motif tersebut sangat perlu diungkap.

Dalam sidang dengan terdakwa Maulana, terungkap bahwa Pepi Fernando mengajarkan teknik membuat atau merakit bom di Gunung Sindur, Bogor, pada Maret 2010. Demikian surat dakwaan yang dibacakan bergantian oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ricky Tommy dan Izamzan untuk terdakwa Muhammad Maulana Sani alias Alan alias Hasab.

Maulana (34 th), dengan profesi pedagang sembako, sempat kuliah di UIN Jakarta, telah bergabung dengan organisasi DI atau NII wilayah Aceh yang dipimpin Abdul Rosyid pada bulan Februari 2007. Melalui Abdul Rosyid, Maulana dikenalkan dengan Muhamad Fadhil di Aceh. Di Aceh Maulana bertemu dengan teman kuliahnya di UIN Jakarta, yakni Pepi Fernando dan M Syarif alias Aib.

Pada akhir tahun 2007, Maulana kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) wilayah Bekasi, Jawa Barat yang dipimpin oleh Pepi Fernando, dengan anggotanya sejumlah teman kuliahnya di UIN Jakarta, yakni M Fadhil, Mustofa alias Topek, Suhartono alias Hendi alias Jakow, Mutaqim, Yemi, Madroni, Salamun, Joko, Jamal, dan Wisnu alias Nu.

Pepi kemudian keluar dari NII wilayah Bekasi karena berbeda pemahaman tentang jihad.  Dia kemudian membentuk kelompok sendiri, menghendaki agar Jihad dilakukan dengan jalan perang, terhadap orang yang dianggapnya kafir atau musuh Allah. Kelompok baru Pepi ini beranggotakan Maulana, Firman, Watono, Nano, Darto, Wari, Febri Hermawan alias Awi, Ahmad, Toib, Hendrik, dan Juni Kurniawan.

Pada bulan April 2010, Pepi kembali ke Aceh untuk mencari tempat yang tepat melakukan pelatihan dengan menggunakan senjata api. Tetapi, karena senjata api membutuhkan biaya yang besar dan mahal, akhirnya pada bulan Juni 2010, Pepi mengutarakan bahwa jihad kelompoknya hanya menggunakan bom. Selanjutnya, Pepi sebagai pimpinan teroris mengajarkan para jamaahnya, termasuk kepada Maulana, mengenai cara membuat atau merakit bom di kediaman Jakow, Parung, Bogor.

Sementara demikian informasi dari sidang terhadap Maulana yang dalam dakwaan primer kesatu dinyatakan oleh JPU  telah melanggar Pasal 15 juncto Pasal 7 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan terancam pidana penjara maksimal seumur hidup.

Masalah mengapa Pepi melakukan jihad sendiri dan darimana dia mendapat biaya, serta siapa mentornya yang telah meninggal dunia, semua masih menjadi tanda tanya. Informasi mulai lebih jelas,  Pepi Fernando mendapat inspirasi melakukan aksi terornya dari buku-buku bertema jihad. Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai, ada dua buku yang diidolakan tersangka otak bom paket buku dan bom Serpong itu. ”Buku itu adalah Tarbiyah Jihadiyah karangan Abdullah Azzam dan bukunya Usamah bin Ladin berjudul Masterplan Al-Qaeda,” kata Ansyaad dalam diskusi di Jakarta, Rabu (4/5/2011).

Kesimpulan sementara, kelompok bom buku hanya sebuah kelompok kecil dengan pimpinan Pepi Fernando yang terispirasi jihad. Dari sisi ilmu intelijen, kiranya masalah tersebut perlu diperdalam, karena teror adalah bagian ilmu dari intelijen, sehingga tindakan teror mampu bersembunyi atau menyembunyikan diri dari jebakan penyidik. Seorang intelijen terlatih akan mampu melakukan desepsi, karena beberapa argumentasi Pepi agak kurang dapat dihitung dengan nalar, bukan tidak mungkin dia pernah mendapatkan pendidikan untuk melakukan penyesatan.

Instink penulis, kelompok bom buku adalah bagian dari sebuah konspirasi yang sasaran akhirnya pemerintahan Pak SBY. Mari kita tunggu jalannya persidangan selanjutnya seberapa mampu pengadilan membongkar kasus ini. Mungkin penulis yang salah atau terlalu jauh dalam membuat persepsi, tapi inilah sebuah cara berfikir sistematis intelijen. Selama ada rasa yang mengganjal, sense of intelligence tidak akan menerima sebuah keputusan sebelum dirasanya tuntas, walaupun itu sebuah putusan pengadilan. Prayitno Ramelan ( http://ramalanintelijen.net )

 

This entry was posted in Hankam. Bookmark the permalink.