Kenapa Megawati Dilarang Nyapres?

26 October 2011 | 9:10 am | Dilihat : 1610

Pada tahun 2002 penulis diajak oleh seorang pejabat tinggi negara ke rumah orang tuanya di sebuah desa di Jawa Tengah. Pejabat tersebut mengatakan bahwa pemilih Indonesia mayoritas berada di daerah, sementara yang di kota besar menurut beliau  kalah jauh jumlahnya. Bedanya konstituen di pedesaan tidak pernah bersuara, sedangkan yang  di kota besar menang bersuara keras dan banyak yang sok tahu kata beliau.

Nah sesampainya di kampung halaman beliau, dipanggilah seorang wanita yang sudah sangat tua (sepuh), ternyata Ibu kandung beliau.  Beliau menanyakan, "Bu,... Pak Prayit bertanya, siapa sekarang presiden Indonesia?." Simbah itu dengan tegas mengatakan, "Soekarno." Loh...penulis heran? Mengapa Ibu itu mengatakan presidennya Soekarno?. Presidennya memang Megawati Soekarnoputri.  Mega  putri Soekarno, tapi bukan Soekarno, demikian pikir penulis. Sang pejabat menjelaskan, bahwa banyak orang Jawa di pedesaan itu berfikirnya sederhana dan pengetahuannya seperti itu. Dipikir Republik ini seperti kerajaan, ada HB-I sampai kini HB-X. Jadi presidennya ya Soekarno, entah saat itu Soekarno berapa menurut beliau.

Nah, walau pilpres masih sekitar tiga tahun lagi, kini getaran pemilu dan pilpres mulai terasa, walau masih berupa pengungkapan hasil survei. Dari beberapa hasil survei, parpol yang besar tetap tiga, Partai Demokrat, Golkar dan PDIP. Sementara capres yang menguat Megawati, Aburizal Bakrie dan Prabowo Subianto.

Bagaimana dengan Megawati? Apakah masih akan mampu bersaing di kancah dunia perpolitikan pada 2014 nanti? Mampukah dia membuktikan pendapat si Ibu tua (simbah) tadi bahwa presidennya Soekarno? Menurut penulis, peluang tersebut masih besar, mungkin saja Mega akan menjadi Soekarno-VIII pada 2014 nanti. Maksudnya orang ke delapan di Indonesia yang menjadi presiden.

Survei yang dilakukan Jaringan Suara Indonesia (JSI) menunjukkan Mega memperoleh suara 23,8 persen jika Pilpres diadakan hari ini. Survei ini dilakukan 10-15 Oktober dengan metode multistage random sampling, jumlah responden 1.200 orang. Survei dilakukan di 33 provinsi dengan metode pengumpulan data dengan cara wawancara tatap muka dengan kuesioner. Margin of error survei itu 2,9 persen.

Perolehan suara kedua terbanyak diperoleh Prabowo Subianto 17,6 persen, kemudian Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie 13,7 persen, Ketua Umum PAN Hatta Rajasa 4,9 persen dan Menko Polkam Djoko Suyanto 1,1 persen. "Sedangkan 38,8 persen responden mengaku belum memutuskan akan memilih siapa," kata Direktur eksekutif Jaringan Survei Indonesia Widdi Aswindi dalam jumpa pers di Hotel Sultan, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Minggu (23/10).

Sebuah berita yang menarik dan mengejutkan dikeluarkan oleh Taufik Kiemas, yang melarang isterinya Megawati untuk maju dalam bursa pencapresan pada 2014 nanti. Ia menyarankan Megawati tidak maju Pilpres 2014 dan memberikan kesempatan kepada kader muda PDIP. "Saya secara pribadi lebih baik kita kaderisasi. Mikir dulu lah sebab usianya (Mega) sudah 68 tahun 2014," ujarnya.  Selain kepada Megawati, Kiemas juga menyarankan kepada politikus senior untuk pensiun. "Paling berat di Republik Indonesia ini kaderisasi."

"Ngalah saja njaga negara kesatuan ini. Kalau 2014 nanti kaderisasinya jomplang aja. Kalau 2014 rata-rata sudah 70 tahun," tukas Kiemas kepada wartawan. Pernyataan tersebut bak dua mata sisi pisau tajam. Disatu sisi itu bisa dinilai langkah desepsi Taufik agar lawan politik terkecoh dan tidak menghitung Mega, sementara langkah kedua bisa saja karena keinginan Taufik menampilkan jagonya sendiri atau bersinergi dengan parpol lain sesuai keinginannya.

Dalam dunia politik, pembentukan sebuah parpol jelas dan pasti untuk merebut kekuasaan. Apabila elit parpol salah strategi, walau partainya besar, belum tentu calonnya akan menang. Pada pilpres 2004 dan 2009, Megawati dua kali menjadi runner up presiden. SBY adalah pemenangnya. Sementara capres lainnya berada jauh dibawah keduanya. Yang perlu disadari dan diingat pada 2014 nanti, budaya paternalistik masih kuat disini. Siapapun yang akan nyapres, maka dia harus menjadi patron dahulu, dan untuk menjadi patron bukanlah suatu hal yang sederhana. Nama besar saja tidak cukup, kita lihat nama-nama Amin Rais, Jenderal (Purn) Wiranto, Jusuf Kalla. Mereka bertumbangan begitu dihadapan dengan SBY dan Mega dalam pemilihan langsung. Hanya dua yang bersaing, SBY dan Megawati.

Nampaknya, pernyataan Taufik Kiemas perlu diuji oleh internal pengurus PDIP. Kini citra dari para politisi muda sedang merosot tajam dan bahkan mendekati hancur setelah kasus Nazaruddin dan dugaan terlibatnya beberapa elit muda Demokrat diberitakan media. Rakyat menjadi tidak percaya, karena elit polirik yang muda mereka persepsikan ada yang terlibat korupsi. Nampaknya perlu dilakukan pemeriksaan melalui survei dahulu apakah rakyat menginginkan tokoh lama atau kaum muda. Menurut penulis, citra kerusakan psikologis kaum muda dimata konstituen itu sudah melebar dan berimbas buruk ke parpol manapun. Jadi, kemungkinan besar capres muda akan kurang diminati pada 2014.

PDIP sebagai sebuah partai yang mempersepsikan dirinya sebagai partainya wong cilik mempunyai konstittuen yang sudah jelas, dan tidak tergoyahkan dengan Ibu Megawati sebagai ikon. Apabila keyakinan ini digoyahkan hanya dengan sebuah pemikiran sesaat dan tanpa perhitungan yang cermat, menurut penulis PDIP harus siap menjadi oposan kembali. Pemikiran mengajukan Puan Maharani terlalu dini diangkat ke permukaan. Sebagai keturunan Soekarno, Puan mungkin dapat diajukan sebagai capres satu atau dua pemilu mendatang. Elit parpol sebaiknya cerdas dan cerdik apabila ingin tokoh parpolnya memimpin negara. Orang Jawa mengatakan "ojo sak kelingane", jangan seingatnya saja dalam berpolitik.

Kini, yang penting parpol sebaiknya menyiapkan dalam  pemilu 2014 nanti. Yang nampak menonjol adalah langkah-langkah dari Golkar. Hasil survei kedua lembaga ini nampak agak berbeda. Lembaga survei JSI (Jaringan Suara Indonesia) mengumumkan, untuk Partai Politik, survei menunjukkan Partai Demokrat  menduduki peringat pertama dengan 18,2 persen, disusul Golkar 15,1 persen, PDIP 12,6 persen dan PAN 4,2 persen. "Sedangkan 31,2 persen responden mengaku belum memutuskan pilihannya,"kata Widi Aswindi, Direktur Eksekutif JSI.

Sementara Lembaga survei LSI  mencatat, pada survei Oktober 2011, Demokrat hanya mendapat dukungan sebanyak 16,5 persen. Adapun Golkar mendapat dukungan 18,2 persen. Sementara itu, di urutan terbawah, PDI Perjuangan tercatat didukung oleh 12,5 persen responden. "Golkar kini menjadi partai terkuat. Terutama sejak kasus Nazaruddin di Demokrat. Golkar menjadi lebih kuat karena program kerakyatannya," ujar peneliti LSI, Ardian Sopa, di Gedung LSI, Jakarta Timur, Minggu (16/10).

Nah, kini kesimpulannya, mengapa Megawati diimbau suaminya sendiri untuk tidak nyapres, mungkin ini sebuah strategi, langkah desepsi atau ada faksi lain di internal PDIP. Walaupun PDIP mungkin kalah dalam perolehan suara pada 2014, tetapi apabila dihadapkan head to head dengan siapapun, penulis hingga kini masih memegang Mega sebagai capres terunggul.

Melihat hasil survei tersebut, dimana  Mega, Ical dan Prabowo unggul sebagai tiga besar, apabila pada 2014 nanti Mega menggandeng Prabowo seperti pada pilpres 2009, bukan tidak mungkin keduanya akan menjadi yang terkuat. Persoalannya, mampukan Gerindra, partai besutan Prabowo tersebut lolos dari jepitan parliamentary threshold yang bisa dinaikan hingga 4-5 persen. Agar Prabowo mempunyai nilai tawar di kalangan PDIP. Momentum positif akan didapat PDIP apabila tidak terjadi perubahan yang signifikan pada panggung politik di Indonesia. Semoga bermanfaat. Prayitno Ramelan ( http://ramalanintelijen.net )

 

 

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.