Kepala BNPT, Ada Belasan Kelompok dengan 100 Teroris Yang Terpencar
10 October 2011 | 3:11 pm | Dilihat : 361
Didalam kedudukannya sebagai salah satu anggota kelompok ahli, penulis kadang mewakili BNPT untuk menyampaikan pendapat apabila menjadi narasumber di media elektronik. Disamping itu, penulis juga berposisi sebagai pemerhati intelijen yang sudah dijadikan trade mark oleh beberapa stasiun berita televisi. Penyampaian berita baik di media elektronik ataupun cetak disesuaikan dengan perkembangan yang disampaikan secara resmi baik oleh Mabes Polri melalui Kadiv Humas atau oleh Kepala BNPT. Dalam posisi sebagai kelompok ahli, penulis menyampaikan pandangan serta ulasan atau analisa intelijen sebagai sumbang saran kepada satuan dan publik dalam membahas masalah terorisme.
Sebuah perkembangan menarik yang penulis coba sampaikan adalah sebuah hasil wawancara terhadap Kepala BNPT, Irjen Pol (Pur) Ansyaad Mbai, yang ditayangkan diharian Suara Rakyat Merdeka, Senin (10/10/2011) berupa wawancara. Penulis mengutip pernyataan Pak Ansyaad sebagai pencerahan dari BNPT kepada masyarakat.
Kepala BNPT menjelaskan bahwa, “Paham propaganda seperti menyebarkan permusuhan dan menamkan kebencian, di Indonesia belum bisa dikategorikan sebagai kriminal. Padahal di negara lain seperti Inggris sudah ada undang-undang yang mengatur hal itu.” Menurutnya, peraturan dalam bentuk undang-undang itu dibutuhkan pihak aparat dan intelijen untuk bertindak proaktif. Melakukan usaha pencegahan. Bukan menunggu bom meledak. RUU Intelijen yang lagi digodok itu akan menjamin keamanan di negeri ini. Kalau sudah aman berarti menjamin berjalannya sistem demokrasi dengan baik.
Dijelaskan oleh Pak Ansyaad, kalau sudah terjadi bom, soal penangkapan tidak terlalu sulit. Sebab, sampai hari ini semua serangan bom bisa terungkap dan pelakunya tertangkap. Pihak internasional mengapresiasi tindakan kita dalam menangani paham radikal dengan penegakan hukum yang kuat dan tidak menggunakan tindakan fisik yang berlebihan. Selama ini kita tidak menggunakan perang ataupun extra judicial killing, yang termasuk pelanggaran HAM berat. Usaha menetralisir radikalisme dan berbagai paham di dalamnya perlu adanya ketegasan. Deradikalisasi itu hanya moral force. Sedangkan pada physical force adalah bagaimana kita meminta pada masyarakat melaporkan tindakan para terorisme.
Ancaman gerakan radikal cukup besar karena potensi terorisme sulit untuk diukur. Apabila tindakan terorisme meledak, dampaknya sangat besar padahal hanya dilakukan oleh satu orang, seperti kasus bom di Solo. Saat ini masih ada belasan kelompok yang melatih, merekrut, mencari dana, dan mengumpulkan logistik untuk melakukan tindakan keji. Mereka terpencar, jumlahnya sekitar 100 orang. Tapi hanya 15 orang yang memiliki dasar untuk dapat ditangkap, mereka dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Suartu hal yang prinsip, menurut Kepala BNPT, seluruh aksi teror di Indonesia ini berkaitan. Apabila kita lihat peta, ada jaringan daerah Cirebon, Solo, Medan, Sulawesi Tengah, Poso, lalu kita isi nama para teroris. Hasilnya pasti ada nama yang dobel di satu daerah dan ada di daerah yang lain. Sebab, mereka satu jaringan, satu strategi, satu ideologi, dan tokohnya satu juga.
Menurut Kepala BNPT, dalam menangani terorisme, strateginya ada dua, yakni tegas dalam penegakan hukum dan tidak menggunakan kekuatan militer. Pada hari Senin (5/9) Presiden mengatakan agar TNI mendukung Polri, tetapi tidak memerintahkan agar militer melakukan operasi. Karena semakin keras tindakan kita, gerakan mereka semakin militan. Ini sudah diakui oleh dunia internasional. Bagi negara besar seperti Amerika Serikat, ataupun negara dimana ancaman teror sudah membesar menjadi aksi separatisme, seperti Philipina dan Thailand, maka penggunaan kekuatan militer sudah menjadi tulang punggung penindakan.
Didalam melaksanakan program deradikalisasi, terdapat sekitar 51 kegiatan yang dilakukan oleh para ulama, ormas keagamaan, lembaga pendidik formal dan non-formal seperti pesantren. Pemerintah atau BNPT dalam hal ini hanya sebagai fasilitator saja, yang melibatkan 25 ormas. Sebenarnya banyak sekali yang ingin berpartisipasi, tetapi tidak bisa ikut semuanya karena ada keterbatasan. Program yang dilakukan para ulama dan difasilitasi pemerintah, berhasil menekan paham radikalisme yang bisa mendorong kepada tindakan terorisme.
Demikian, semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi pembaca. Yang jelas dalam menangani serta menanggulangi terorisme, kita harus sadar bahwa intelijen negara harus benar-benar solid dan kuat. Aparat penegak hukum harus benar-benar tegas. Dalam hal ini intelijen harus didukung dengan Undang-Undang yang memang ditujukan untuk melindungi bangsa dan negara dari ancaman. Terorisme di Indonesia adalah salah satu sub sistem ancaman yang harus kita perhatikan dan tangani bersama. Sekecil apapun, serangan atau tindakan teror tetap ulah yang sangat berbahaya, menakutkan dan mematikan.
Pemikiran dan sikap "prejudice" terhadap intelijen maupun Densus 88 sebagai pelaksana lapangan sebaiknya dikurangi atau bahkan dihilangkan. Mari kita berangkat dengan niat baik bersama, demi untuk rakyat, bangsa dan negara kita. Tapi apakah kita bersedia? Prayitno Ramelan ( http://ramalanintelijen.net )