Minyak di Libya, Berkah Sekaligus Masalah
8 October 2011 | 11:26 am | Dilihat : 652
Dalam pertemuan anggota-angggota NATO di Belgia hari Kamis (6/10/2011), para pemimpin NATO memutuskan akan terus melakukan serangan udara terhadap loyalis Khadafi. Nampaknya keputusan untuk menarik diri dari Libya terpaksa dirubah dengan pertimbangan laporan intelijen tentang kekuatan dan kemampuan pasukan yang masih setia kepada Kolonel Muamar Khadafi di Sirte dan Bani Walid yang masih dikendalikan pasukan pro khadafi.
Sekjen NATO Anders Fogh Rasmunsens menyatakan bahwa ancaman terhadap warga sipil di Libya telah memudar. Pada minggu ini, serangan udara NATO intensitasnya menurun setengah dibandingkan minggu lalu. Menhan AS Leon Panetta dalam kunjungannya ke Naples, Italia, saat pertemuan dengan para komandan AS dan NATO yang melakukan serangan udara ke Libya menyatakan bahwa AS akan menghentikan serangan udara berdasarkan rekomendasi komandan lapangan.
Saat ini NATO beranggotakan 28 negara, dimana setiap keputusan merupakan konsensus bersama, semua anggota harus mematuhi keputusan yang sudah sudah diambil. Dalam operasi serangan udara di Libya, tidak semua anggota NATO ikut berpartisipasi dalam medan tempur di Libya. Mereka yang aktif adalah Inggris, Perancis, Italia, Kanada, Denmark, Norwegia dan Belgia. Bahkan militer dari beberapa negara Arab juga diketahui mengambil bagian.
NATO memutuskan melakukan serangan udara ke Libya setelah Dewan Keamanan PBB pada bulan Maret 2011 memutuskan melindungi pembantaian terhadap warga sipil oleh pemerintahan Khadafi. Serangan diawali oleh AS dan kemudian disusul NATO. Militer AS pertama yang menyerang untuk menekan pertahanan udara Khadafi. Kemudian NATO menyerang, selain melakukan serangan udara juga menegakkan zona larangan terbang di Libya.
Menhan Perancis menyatakan agar serangan udara terus dilakukan hingga semua kekuatan Khadafi lumpuh atau pejuang pemberontak menyampaikan gencatan senjata. Dikatakannya bahwa konsentrasi kekuatan pro Khadafi bukan hanya di Sirte saja, tetapi juga di Bani Walid dan juga dibeberapa tempat di Selatan.
Mengapa NATO dan AS tetap bersikukuh menyerang? Dibelakang keputusan strategis, ternyata minyak Libya menjadi penguat keinginan serangan. Libya sebelum perang meletus pada bulan Februari 2011, setiap bulannya mengekspor 1,3 juta barrel minyak perharinya. Ekspor Libya kurang dari 2 persen dari pasokan minyak di dunia. Setelah terjadinya perang sipil terjadi, perusahaan besar kemudian menarik pegawai mereka, dan dalam beberapa bulan terakhir ekspor minyak Libya hanya sekitar 60.000 barrel perhari. Kini yang diekspor sebagian minyak yang sudah berada di pelabuhan untuk menutup cash flow pemberontak yang sudah menguasai lokasi penimbunan minyak. Jadi bukan dari hasil ekploitasi.
Anjloknya ekspor minyak Libya ternyata mengakibatkan kenaikan harga minyak di Eropa dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap harga minyak di pantai Timur AS. Beberapa negara anggota NATO yang menyerang Libya sangat berkepentingan dengan minyak Libya. Perebutan terjadi antara perusahaan minyak Itali Eni, BP dari Inggris, Total Perancis, Repsol YPF dari Spanyol dan Austria OMV, semuanya adalah produsen besar minyak di Libya sebelum pertempuran pecah. Kini negara yang terlibat serangan udara berusaha membantu dan bekerja sama dengan pejuang pemberontak sesuai dengan kepentingannya.
Perusahaan-perusahaan Amerika seperti Hess, Conoco Phillips dan Marathon pada masa lalu juga membuat kesepakatan dengan pemerintahan Khaddafi, walau impor AS hanya sebesar satu persen. Kini AS dan beberapa Negara NATO berusaha mengambil hati pejuang pemberontak. Abdeljalil Mayouf, juru bicara pemberontak perusahaan minyak Libya Agoco menyatakan kepada Reuter , "Kami tidak punya masalah dengan negara-negara Barat seperti Italia, Perancis dan perusahaan Inggris, tapi kami mungkin memiliki beberapa isu-isu politik dengan Rusia, Cina dan Brasilia." Ketiga negara yang oleh pemberontak dianggap tidak mendukung tekanan terhadap Khadafi.
Kolonel Khadafi pada masa lalu tidak disukai perusahaan minyak internasional. Dengan kekuatan minyaknya, dia dinilai sebagai mitra bermasalah, sering memutuskan segala urusan seperti penerapan pajak dan biaya lainnya seenaknya. Kini yang bersaing ketat untuk menjadi perusahaan minyak nomor satu di Libya adalah Eni Italia dan Total Perancis, bahkan pemimpin kedua negara telah mengundang pimpinan pemberontak ke negaranya, dan juga keduanya sudah berkunjung ke Libya.
Para analis minyak memperkirakan dibutuhkan beberapa tahun untuk memulihkan produksi minyak di Libya, dan ada pendapat mengatakan bahwa di Libya masih tersimpan cadangan yang jauh lebih besar, apabila mereka diberikan kebebasan.
Nah, itulah minyak Libya yang merupakan berkah yang diberikan oleh Tuhan kepada rakyat Libya, tetapi kini sekaligus juga masalah yang sangat serius. Entah sudah berapa puluh ribu rakyat Libya yang menjadi korban dari perang sipil yang terjadi. Ternyata minyak yang didapat dari perut bumi memang berkah dan bisa menjadi masalah besar bagi sebuah bangsa.
Indonesia, termasuk sebuah negara di dunia yang juga mendapat berkah dari Tuhan, tidak hanya minyak, tetapi banyak sumber daya alam lainnya. Kini semuanya tergantung kepada kita semua, bagaimana kita memperlakukan berkah Tuhan Yang Maha Kuasa itu. Dalam masa transisi demokrasi, kebebasan dan keributan mudah menjadi pemicu kerusuhan. Apabila kita tidak sadar dengan berkah tersebut kita harus melihat Libya sebagai contoh kasus yang memprihatinkan, terjadi perang saudara, dan negara tersebut di gempur dan di bom oleh negara lain tanpa ada yang membela.
Semua mungkin saja bisa terjadi apabila kita terus saling mencerca, menghina, sangat berambisi, sakit hati, sombong dan nafsu angkara murka mengemuka. Jauhkan kepentingan pribadi dan kelompok, dahulukan kepentingan bangsa dan negara. Semoga kita sadar dan sabar, mari bersatu menuju cita-cita luhur bangsa ini, "Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo." Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net