Kenapa Ambon Rusuh Lagi ?
14 September 2011 | 6:53 am | Dilihat : 1503
Berita yang memprihatinkan pada minggu berlalu adalah kerusuhan, keributan dan perkelahian warga di Ambon. Menyedihkan memang, hanya karena berita tidak jelas atau isu yang disebarkan secara berantai, terbentuklah solidaritas warga, sehingga mereka saling menyerang. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Anton Bahrul Alam menyatakan kronologis peristiwa yang terjadi di Ambon tersebut.
"Kejadian dari kecelakaan murni yang dialami Darkin Saimen yang mengendarai sepeda motor. Ia dari arah stasiun TVRI, Gunung Nona, menuju pos Benteng," kata Anton. "Di daerah sekitar tempat pembuangan sampah, yang bersangkutan hilang kendali dan menabrak pohon. Kemudian Darkin menabrak rumah seorang warga di sana bersama Okto." Nyawa tukang ojek itu tak terselamatkan sebelum sampai ke rumah sakit. Hal inilah yang menimbulkan dugaan ia sebenarnya dibunuh, bukan karena kecelakaan.
Selanjutnya Anton menjelaskan "Darkin dibawa ke rumah sakit dan meninggal. Lalu, ia diisukan dibunuh. Padahal, ia mengalami kecelakaan. Hasil otopsi dari dokter di sana bilang, dia kecelakaan murni. Berdasarkan keterangan saksi dan hasil otopsi, semua tidak ada tanda-tanda kekerasan. Itu kecelakaan murni", demikian penjelasan Anton. Menurut Kadiv Humas tersebut, kerusuhan yang terjadi adalah dua kelompok lama yang tidak perlu disebutkan. Kerusuhan kemudian telah dapat dikendalikan oleh paukan TNI dan Brimob.
Pada Selasa malam (13/9) dalam rapat kerja antara Badan Intelijen Negara (BIN) dengan Komisi-I DPR RI, ketua Komisi-I Mahfudz Sidik menjelaskan bahwa BIN pada November 2010 menyampaikan bahwa potensi konflik nuansa SARA masih rawan di Ambon. BIN menurut Mahfudz mengidentifikasi tiga masalah di Ambon. Pertama, masalah kemiskinan di Ambon. Saat ini, Maluku menjadi provinsi termiskin ketiga di Indonesia. Kedua, sensitivitas kelompok di Ambon masih kuat lantaran trauma masyarakat belum hilang pascakonflik berkepanjangan dahulu. Ketiga, akibat konflik yang lalu, ada semacam kantong-kantong penduduk berdasarkan etnis dan agama. Pandangan BIN tersebut serupa dengan pandangan TNI di Ambon. Selanjutnya Mahfudz menjelaskan bahwa pandangan Pemda berbeda, dimana menurutnya, Pemda menganggap situasi di Ambon sudah kondusif, pembangunan berjalan lancar, dan potensi konflik sangat minim. Akibatnya, pemda tidak melakukan langkah antisipatif.
Jadi itulah informasi fakta-fakta tentang kasus kerusuhan dan pertikaian yang terjadi di kota Ambon. Sebenarnya kenapa kembali kerusuhan selalu terjadi? Penulis pada tahun 1978-1982 pernah bertugas di Pangkalan TNI AU di desa Laha, Ambon. Saat itu suasana Ambon demikian tenteram, kalau malam yang terdengar suara cukulele, serta anak-anak muda yang menyanyikan lagu-lagu Ambon dengan merdunya. Mendadak datanglah pengaruh racun dari luar Ambon yang kemudian mengharu birukan Ambon. Ambon dirangsang dengan perseteruan agama dan pengelompokan kampung. Teror menyebar dikalangan penduduk.
Penulis tidak pernah membayangkan keributan bisa terjadi di sekitar Pangkalan. Diantara kompleks TNI AU Laha terdapat dua kampung yaitu Laha (Islam) dan Tawiri (Kristen). Mereka dahulu hidup rukun damai. Setelah racun dari luar masuk, kedua kampung akhirnya bermusuhan dan bahkan diketahui ada penduduk yang memiliki senjata api. Maka terjadilah 'baku bunuh' diantara kedua kampung tersebut. Penulis demikian prihatin, karena diantara korban yang meninggal terdapat bekas anak buah yang sudah purna dan terlibat dengan solidaritas dan fanatisme yang tidak jelas.
Masyarakat Ambon, saat penulis bertugas di Laha, demikian sopan santun, mereka selalu mengucapkan kata-kata 'selamat pagi, selamat siang." Tetapi memang temperamen mereka kadang suka meninggi, apabila marah, dengan postur kuat, penampilan kekar dan profile yang keras, mereka bisa menjadi demikian fanatis dan siap berkelahi. Nah, sinyalemen yang disampaikan oleh BIN yaitu kemiskinan, sensitivitas dan semakin terbentuknya kantong seperti Desa Laha dan Tawiri itu harus mendapat perhatian ekstra. Disana pernah terjadi perang dengan senjata api, yang jelas peristiwa lalu telah meninggalkan bekas luka, dan mungkin dendam yang belum terhapus.
Nah, semuanya kini tergantung kepada pejabat, tokoh agama, tokoh masyarakat. Jangan sederhanakan masalah, disana masih terdapat kerawanan yang bisa dipakai sebagai detonator kerusuhan lanjutan misalnya ide separatis RMS, kemiskinan, kesenjangan sosial, karakter keras, fanatisme beragama. Keterlambatan mengantisipasi masalah akan bisa berakibat fatal. Kita semua berharap masyarakat Ambon bisa kembali hidup rukun, pintar dan tidak mudah terprovokasi.
Budaya "pela gandong" sebaiknya di galakkan kembali. Persatuan dan kesatuan akan hancur apabila masyarakat tetap mudah dihasut. Jadi intinya, semuanya kini terletak di bahu masyarakat Ambon/Maluku itu sendiri. Penulis karena pernah bertugas empat tahun di Laha merasa bahwa Ambon juga menjadi bagian kenangan perjalanan hidup. "Katong juga cinta Ambon Broer!" Prayitno Ramelan ( http://ramalanintelijen.net )