Ulasan Krisis Utang di AS, Sebuah Informasi
3 September 2011 | 10:12 am | Dilihat : 1829
Banyak orang menyebutkan bahwa Amerika Serikat kini hampir bangkrut. Nampaknya pernyataan itu dikeluarkan oleh mereka yang agak anti AS atau mereka yang tidak memahami dengan benar apa yang terjadi di sana. Dalam kaitan ini, penulis menyampaikan sebuah informasi, yang dalam komunitas selalu disepakati, karena satu dan lain pertimbangan, sumber terpaksa tertutup.
Informasi ini belumlah menjadi intelijen, tetapi sebuah informasi ataupun indikasi yang dinilai penting oleh seorang analis perlu disampaikan kepada user, sebagai bahan pertimbangan, atau second opinion, walau nilainya masih perlu diuji. Yang menjadi andalan informasi atau analisa yang di suguhkan adalah kredibilitas analis, dalam kaitan ini pemilik website.
Intelijen strategis berisi sembilan komponen yang diantaranya adalah komponen Ipoleksosbudhankam, disamping sejarah, demografi dan biografi. Sehingga mendapatkan informasi yang terukur dari sebuah sumber yang memiliki nilai yang tinggi dalam pembuatan sebuah ramalan intelijen merupakan modal utama. Kali ini walau agak panjang inilah sebuah ulasan dari komponen ekonomi.
Semoga kita menjadi lebih realistis melihat dan menilai Amerika dalam kasus terkini yang sedang terserang tsunami ekonomi. Dengan dasar informasi/analisa ekonomi ini, maka inilah sebuah sumbang saran kepada pemerintah untuk bisa membuat sebuah forecast atau intelligence estimate serta antisipasi dalam menyikapi kebijakan pemerintah Amerika dalam penerapan politik luar negerinya dimasa kini dan mendatang. Ulasan yang penulis tayangkan sudah dinilai secara umum, baik informasi maupun sumber.
Penulis bukanlah ekonom, tetapi dari beberapa rekan ekonom saat berdiskusi, disebutkan artikel ini bobotnya cukup pantas dan bermanfaat. Tulisan berupa penjelasan yang membahas "Negara Amerika Serikat pasca pelampauan batas utang." Dengan maksud agar blog Ramalan Intelijen ini bermanfaat sebagai sumber informasi yang bisa dipercaya dan bermanfaat bagi pembaca. Selamat membaca.
Pengantar
Kongres Amerika Serikat akhirnya menyetujui pelampauan batas utang (debt ceiling) AS, setelah melalui proses yang panjang dan alot. Jumlah utang pemerintah AS saat ini telah mencapai USD 14,31 triliun, melampaui batas maksimal yang diperbolehkan Kongres, yaitu sebesar USD 14,27 triliun. Namun, perekonomian AS saat ini sedang lesu darah. Mereka masih membutuhkan likuiditas untuk memacu ekonominya. Dari mana dana tersebut? Pemerintah AS harus kembali berhutang untuk mendapatkan anggaran. Secara hukum, pemerintah AS tidak boleh menerbitkan utang lagi. Namun, apabila hal tersebut terjadi, kondisi keuangan pemerintah AS semakin kritis. Kongres akhirnya menyetujui penyelesaian politis dengan memperbolehkan pemerintah AS untuk berutang kembali. Namun apakah penyelesaian politis tersebut menjadikan kondisi fiskal dan utang Amerika telah benar-benar selamat dari kondisi kritis? Dan bagaimana masa depan AS setelah kesepakatan tersebut.
Dilihat dari sejarah, upaya menaikan batas utang pemerintah di AS bukan sekali ini terjadi. Sepanjang sejarah, AS sudah hampir 100 kali menaikan batas utang sejak ketentuan itu diberlakukan pada masa perang dunia pertama (1917). Hal yang membuat kejadian tahun ini istimewa adalah karena pelampauan batas pinjaman itu kini disertai pengurangan pengeluaran. Di samping itu, jumlah utang itu sendiri memang sudah terlalu tinggi dan bahkan memasuki area debt trap. Apakah langkah ini mencukupi untuk menurunkan debt ratio yang sangat tinggi? Apakah dengan langkah ini Amerika akan memasuki tahapan fiscal adjustment yang pada akhirnya mengarah kepada strategi penyesuaian ekonominya yang secara umum mengalami deficit?
Bagaimana dengan dampaknya kepada pengetatan ekonomi di tengah prospek pemulihan yang kini sedang dalam fase yang kritis? Bagaimana pula dengan langkah kebijakan di sisi moneter? Apakah pengetatan fiskal akan disertai pelonggaran moneter (QE-3) untuk menetralisir dampaknya kepada pemulihan ekonomi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kini mengemuka pascadebt deal 2 Agustus 2011.
Konsekuensi yang ditimbulkan oleh deal tersebut ternyata jauh melampaui isu fiskal dan utang. Tulisan ini bermaksud memetakan persoalan ekonomi yang dihadapi Amerika, kini dan ke depan, termasuk kekhawatiran terkini tentang kemungkinan kekuatan ekonomi terbesar di dunia ini memasuki masa resesi. Diakui bahwa langkah penyesuaian fiskal ini masih menyisakan pertanyaan tentang magnitude dan strategi pelaksanaannya, yaitu apakah akan dilakukan secara front loading atau masih saja back loading sambil mencuri waktu (buying time).
Beberapa pihak bahkan meragukan keseriusan implementasi kesepakatan ini, mengingat dampaknya yang sangat besar di sisi politis. Namun tetap saja kontraksi fiscal adalah sebuah babak baru pasca krisis 2008. Secara fundamental, langkah ini tentu sangat positif, karena langkah kontraksi inilah proses yang seharusnya terjadi pada saat sebuah negara mengalami krisis akibat ketidakseimbangan ekonominya. Pada kasus Amerika, langkah pengetatan tidak perlu diambil karena perkonomian negara ini menikmati exorbitant privilege karena posisinya sebagai reserve issuing country.
Dalam hal ini, financing atas ketidak seimbangan ekonominya tidak pernah menjadi masalah sepanjang dunia masih membutuhkan mata uangnya. Namun bagaimanapun langkah ekspansif pasca 2008 ada batasnya, dan saat inilah kita sedang menyaksikan langkah baru tersebut. Dengan demikian, persetujuan kongres bukan hanya menyelesaikan persoalan “kecil” yang terkait dengan konstitusi namun bahwa rencana pemotongan pengeluaran ini merupakan babak baru bagi penyelesaian krisis fiskal dan ekonomi di Amerika.
Debt Deal Dan Fiscal Adjustment
Permasalahan limit utang (debt ceiling) selama delapan bulan terakhir ini terus menjadi headline pemberitaan. Utang pemerintah AS terus meningkat hingga mencapai USD14,34 triliun pada 2 Agustus 2011. Bahkan, sejak 16 Mei 2011 utang pemerintah AS tersebut sudah melampaui ‘debt limit’ yang ditetapkan Kongres AS sejak 12 Februari 2010 (USD14,29 triliun). Dengan kondisi ini secara hukum pemerintah AS tidak boleh menerbitkan utang lagi, hingga Kongres menyetujui kenaikan limit utang yang baru. Karena AS tidak boleh berutang lagi maka spekulasi terhadap kemungkinan default pun muncul ke permukaan.
Kongres dan pemerintah mengalami perdebatan alot mengenai debt limit tersebut. Jika AS gagal menaikkan debt ceilingnya hingga 4 Agustus 2011, AS diprediksi akan sulit membiayai kebutuhannya sebesar USD 507 miliar, di mana USD 118 miliar diantaranya dipergunakan untuk pembayaran bunga. Menjelang deadline debt ceiling (2 Agustus) akhirnya House dan Pemerintah AS mencapai sebuah kesepakatan. Debt ceiling dinaikkan sekitar USD 2,1 triliun (menjadi sekitar USD 16,73 triliun), sementara pemerintah diwajibkan memangkas belanjanya paling tidak sebesar USD 2,4 triliun (dalam waktu sekitar 10 tahun). Kenaikan debt ceiling akan dijalankan dalam dua tahap (two-stage process), dengan kenaikan tahap pertama sekitar USD900 miliar. Sisanya (sekitar USD1,2 trilliun) akan dilakukan pada akhir tahun ini.
Penjelasan tentang Budget Control Act of 2011
Secara rinci, kesepakatan kenaikan debt ceiling antara Pemerintah dan Kongres tertuang dalam Budget Control Act of 2011, sbb :
1. Menetapkan caps pada discresionary spending hingga 2021;
2. Menambah belanja “program integritas” dalam rangka mengurangi pembayaran benefit yang tidak tepat (improper benefit payment);
3. Perubahan pada program Pell Grant dan Student Loan;
4. Usulan Balance Budget;
5. Peningkatan debt ceiling USD 400 miliar (tahap 1), dan USD 2,1-2,4 triliun pada tahap berikut
6. Modifikasi beberapa budget rules.
7. Membentuk “Congressional Joint Select Committee on Deficit Reduction” untuk memastikan penghematan anggaran minimal USD 1,5 triliun dalam 10 tahun.
8. Menetapkan prosedur otomatis jika butir 7 tidak terjadi, berupa penghematan sebesar USD 1,2 triliun.
Pengurangan Discresionary Spending
Dalam 10 tahun, pemerintah AS diharuskan menghemat discretionary spending secara gradual ratarata USD74 miliar per tahun, atau sekitar rata-rata 5% dari baseline proyeksi anggaran diskresi Congressional Budget Office (CBO). Akumulasi penghematan yang akan dicapai dalam 10 tahun diperkirakan mencapai USD 741 miliar. Namun demikian, belum ditetapkan secara detil anggaran apa yang akan dikurangi. Yang jelas, spending caps ini akan mengecualikan pembiayaan perang (Afganistan dan Irak) serta anggaran bencana alam (disaster relief programs).
Pengurangan Mandatory Spending
Dalam rangka penghematan mandatory spending, AS ke depan mencanangkan program “integrity initiatives,” yakni: program untuk mengidentifikasi “overpayment benefit” yang diberikan pemerintah dalam skema layanan kesehatan dan jaring pengaman sosial. Dalam jangka pendek program ini akan menambah sedikit anggaran, namun diperkirakan akan menghemat lebih banyak anggaran dalam jangka panjang. Melalui program ini, CBO memprediksi AS dapat menghemat USD 16 miliar di 2012-2021.Masih dalam mandatory spending, AS akan melakukan perubahan besar pada skema Pell Grants (subsidi untuk mahasiswa S1) dan Student Loans (subsidi untuk graduate student). Rencananya, penyesuaian pada Pell Grants dan Student Loans akan dapat menghemat pengeluaran sebesar USD 5 miliar pada 2012-2021. Dengan demikian total penghematan yang didapatkan Mandatory Spending adalah sekitar USD 20 miliar.
Congressional Joint Select Committee (“joint committee)
Sebelum dibentuknya joint committee bahwa penghematan sebesar USD 917 miliar dipastikan akan dicapai (plus penghematan pembayaran utang sebesar USD 156 miliar). Dengan terbentuknya joint committee maka total penghematan akan bertambah sedikitnya USD 1,2 triliun lagi sehingga total penghematan akan mencapai USD 2,1 triliun. Sebagai informasi joint committee adalah panitia anggaran yang akan dibentuk undang-undang yang mempunyai misi mengupayakan agar terjadi penghematan sebesar USD 1,5 triliun. Panitia ini akan menetapkan langkah-langkah yang lebih kongkrit mengenai rencana penghematan anggaran untuk tercapainya sasaran optimis tersebut. Namun, jika panitia ternyata gagal, akan ada mekainsme otomatis lainnya yang memastikan terjadinya penghematan sebesar USD 1,2 triliun.
Tantangan di tataran implementasi
Meskipun proposal mengenai penghematan anggaran sudah mempunyai anchor kuantitatif (minimal USD 2,1 triliun dalam 10 tahun), namun pelaksanaannya masih belum jelas, terutama terkait target joint committee dan mekanisme pemotongan spending otomatis minimal USD 1,2 triliun. Masih akan ada perdebatan politik yang cukup alot untuk mengkonkritkan implementasi penghematan anggaran. Wacana peningkatan pajak pun masih terbuka untuk dijajaki kembali.Dengan target joint committee tersebut, berarti jika di rata-rata per tahun AS harus menambah penghematan sebesar USD 120 miliar.
Jika penghematan diambil dari discresionary spending lagi sepertinya akan sulit karena discresionary spending telah terbebani dengan caps dengan rata-rata penghematan USD 74 miliar per tahun. Sementara penghematan dari sisi mandatory spending akan terhambat dengan proses amandemen konstitusi karena menyangkut hajat hidup masyarakat luas. Jadi untuk saat ini, proses yang masih dinantikan adalah terbentuknya joint committee berserta program-program konkritnya.
Dampak Kontraksi Fiskal Kepada Ekonomi Amerika
Kesepakatan paket konsolidasi fiskal telah disetujui oleh Presiden Obama pada tanggal 2 Agustus 2011 dan berhasil meredakan ketegangan di pasar terutama yang terkait dengan kemungkinan AS akan mengalami default. Meskipun demikian, disetujuinya paket ini juga menimbulkan kekhawatiran baru terkait dengan dampak pengetatan fiskal AS terhadap pertumbuhan ekonomi AS, yang pada gilirannya akan berdampak ke pertumbuhan global. Secara teoritis (Keynesian), langkah konsolidasi fiskal, yang umumnya berarti pengetatan fiskal (baik melalui pemotongan spending maupun kenaikan pajak), akan berdampak kontraktif terhadap pertumbuhan.Perkembangan terakhir kondisi perekonomian AS yang kembali menunjukkan pelemahan, menimbulkan kekhawatiran bahwa konsolidasi fiskal yang akan dijalankan AS akan semakin menahan proses pemulihan ekonomi AS, yang selanjutnya akan berdampak ke perekonomian global.
Pada tahapan ini, upaya untuk memperkirakan dampak makro konsolidasi fiskal AS terhadap pertumbuhan AS (dan global pada akhirnya), masih cukup sulit dilakukan mengingat untuk dapat memperkirakan dampak tersebut secara lebih pasti diperlukan pemahaman yang lebih detil tentang paket konsolidasi fiskal tersebut.
Berdasarkan informasi yang dapat dihimpun dari Conggressional Budget Office (CBO), dari pengurangan spending yang direncanakan sebesar maksimum USD2,4 triliun (atau USD2,1 triliun jika harus dilakukan secara otomatis), baru sebesar USD900 miliar yang telah jelas perencanaannya. Sisanya sebesar USD1,2 -1,5 triliun baru akan dirumuskan kembali pada akhir 2011. Pada tahap pertama sebesar USD900 miliar, semua penurunan defisit berasal dari pengurangan spending, dengan kontribusi pengurangan terbesar berasal dari discretionary spending. Pada tahap kedua, masih belum diperoleh kejelasan sumber dari pengurangan defisit secara rinci. Partai Demokrat sudah menyatakan akan terus memperjuangkan tax reformasi sebagai bagian dari upaya pengurangan defisit fiskal, sehingga beban pengurangan defisit tidak hanya bertumpu pada pengurangan spending.
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi besarnya dampak pengetatan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi adalah sbb :
1. Komposisi dari konsolidasi fiskal, yang dapat bersumber dari kenaikan pajak atau pengurangan spending. Hasil simulasi IMF4dengan menggunakan IMF’s Global Integrated Monetary and Fiscal Model (GIMF) diantaranya menunjukkan bahwa tax-based adjustments bersifat lebih kontraksioner dibandingkan spending-based adjustments. Salah satu alasannya adalah terkait dengan kemungkinan respon kebijakan moneter menyusul langkah konsolidasi fiskal tersebut. Secara teori, pengetatan fiskal sebagai upaya untuk mendapatkan kondisi fiskal yang lebih sustainabel dapat dibarengi dengan upaya stimulus moneter agar dampak kontraksiner pengetatan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi tidak terlalu besar. Terkait dengan ini, langkah menaikkan pajak, terutama yang bersumber dari pajak tidak langsung (value added tax), dianggap dapat memberi tekanan ke laju inflasi, sehinggga kemungkinan akan dorongan bank sentral untuk melakukan stimulus moneter yang terlalu besar.
2. Komposisi dari spending-based adjustments, yang dapat bersumber dari pengurangan spending yang Alesina dan Perotti (1995) memperkirakan bahwa dampak pengurangan spending yang bersumber dari pengurangan transfer ataupun konsumsi pemerintah (seperti pembayaran gaji pegawai) akan cenderung memberikan dampak kontraksioner yang lebih kecil terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan bila sumber pengurangan spending tersebut berasal dari investasi pemerintah. Simulasi yang dilakukan IMF dengan GIMF juga menunjukkan hasil serupa. Salah satu alasannya adalah bahwa spending berupa transfer maupun konsumsi pemerintah biasanya lebih bersifat politically sensitive, sehingga langkah pemerintah untuk melakukan pemotongan di pos pengeluaran ini dianggap lebih menunjukkan kesungguhan pemerintah untuk melakukan konsolidasi fiskal dalam jangka panjang, sehingga pada akhirnya menciptakan confidence effect yang lebih besar, yang berujung pada membaiknya keyakinan konsumen maupun pelaku usaha.
3. Ekspektasi masyarakat terhadap dampak konsolidasi fiskal dalam jangka panjang. Apabila konsolidasi fiskal yang direncanakan pemerintah dipandang kredibel oleh masyarakat, maka pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang berpotensi untuk meningkat sejalan dengan membaiknya persepsi risiko konsumen dan pelaku usaha terhadap prospek ekonomi ke depan. Ekspektasi membaiknya pertumbuhan ekonomi ke depan pada akhirnya akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek sedemikian sehingga mampu mengkompensasi dampak negatif dari penurunan spending pemerintah.
Terkait dengan ini, penetapan skedul (timing) dari program konsolidasi menjadi penting untuk diperhatikan, yaitu apakah pengetatan fiskal bersifat backloading atau frontloading. Pengetatan fiskal yang bersifat frontloading berpotensi memberi dampak negatif yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Atas dasar pemikiran ini, umumnya konsep backloading lebih dipilih oleh pemerintah, karena dianggap memberi dampak jangka pendek ke pertumbuhan yang lebih kecil. Meskipun demikian, konsep backloading juga berpotensi memunculkan masalah kredibilitas, yaitu kekhawatiran masyarakat akan kekonsistenan pemerintah untuk tetap menjalankan program pengetatan fiskalnya dalam jangka panjang.
Dalam hal ini, pemerintah dituntut untuk dapat menetapkan pembagian skedul konsolidasi yang tepat, dimana dalam jangka pendek volume pengetatan fiskal harus dapat menunjukkan komitmen pemerintah untuk secara serius menjalankan pengetatan fiskal, namun pengetatan fiskal tersebut tidak boleh terlalu besar sehingga akan terlalu menekan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
4. Konsolidasi fiskal yang dilakukan terhadap negara yang dianggap memiliki sovereign risk lebih besar akan memberikan dampak kontraksioner terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih kecil, dibandingkan apabila dilakukan oleh negara yang memiliki sovereign risk yang lebih rendah. Hal ini juga dikaitkan dengan dampak meningkatkan kepercayaan pasar (credibility/confidence effect) setelah dilakukannya konsolidasi fiskal pada negara yang berisiko lebih tinggi, sehingga dapat memitigasi sebagian dampak kontraksioner dari langkah konsolidasi fiskal.
5. Kemungkinan pengetatan fiskal dibarengi dengan langkah stimulus moneter guna mengimbangi dampak kontraksioner dari pengetatan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Langkah konsolidasi fiskal AS diperkirakan akan berdampak kontraksinoer pada pertumbuhan ekonomi AS, namun dampak tersebut diperkirakan tidak akan besar, apabila hanya didasarkan pada besarnya volume pengetatan fiskal yang dilakukan. Meskipun belum diperoleh kejelasan mengenai seluruh detil kebijakan konsolidasi fiskal AS, namun dengan menggunakan berbagai hasil kajian di atas, langkah tersebut diperkirakan akan memberi dampak kontraksioner terhadap perekonomian AS, yang akan dimulai pada 2012.
Meskipun demikian, besar atau kecilnya dampak kontraksioner dari langkah tersebut masih sulit diperkirakan. Apabila dilihat dari besarnya penghematan yang dilakukan, penurunan spending sebesar USD2,1 triliun yang disebar dalam jangka waktu 10 tahun, nampaknya tidak terlalu signifikan dibandingkan total spending yang mencapai rata-rata sekitar USD2500 miliar, dimana penurunan total spending diperkirakan belum mencapai 10% dari total spending.
Namun demikian, pilihan pemerintah AS untuk memangkas pos discretionary spending ketimbang mandatory spending, berpotensi memunculkan beberapa persoalan. Pertama, pos discretionary spending secara teoritis akan memberi dampak kontraksioner yang lebih besar ketimbang mandatory spending. Kedua, muncul keraguan terhadap efektifitas konsolidasi fiskal ini dalam menurunkan rasio utang pemerintah terhadap GDP. Apabila dilihat dari jenis pengetatan fiskalnya, kecenderungan pemerintah AS untuk memangkas pos discretionary spending, khususnya nondefence discretionary, (paling tidak untuk tahap pertama USD900 miliar), yang didalamnya terdapat program-program investasi pemerintah diperkirakan akan memberi dampak kontraksioner yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimbang bila pemotongan dilakukan terhadap pos yang bersifat mandatory.
Pos pengeluaran mandatory merupakan pos pengeluaran yang cenderung bersifat sensitif karena didalamnya terdapat pengeluaran untuk gaji pegawai pemerintah, Medicare, Medicaid, dan Social Security Benefit. Adapun pos mandatory ini merupakan pos yang mendominasi spending pemerintah AS, yang pada tahun 2010 mencapai 55% dari total spending. Kemungkinan terjadinya penurunan rating (downgrade) utang pemerintah AS masih terbuka. Apabila benar-benar terjadi, penurunan rating akan menimbulkan kompleksitas dampak keseluruhan ke perekonomian yang lebih besar.
Keseriusan pemerintah AS dalam melakukan konsolidasi fiskal juga mulai menimbulkan pertanyaan dikaitkan dengan efektivitas konsolidasi fiskal tersebut dalam menurunkan rasio utang pemerintah terhadap GDP. Tanpa menyentuh pos-pos penyumbang terbesar pengeluaran, yaitu mandatory spending dan defense discretionary spending, maka kemampuan pemerintah AS untuk melakukan penurunan spending secara signifikan dinilai juga menjadi terbatas, yang pada akhirnya berujung pada sulitnya upaya menurunkan rasio utang pemerintah AS terhadap GDP. Pada saat ini, belum diperoleh angka pasti rencana penurunan rasio utang pemerintah AS terhadap berdasarkan paket konsolidasi fiskal terbaru.
Keraguan banyak pihak terhadap keberhasilan paket konsolidasi fiskal ini dalam menurunkan posisi utang pemerintah AS terhadap GDP secara signifikan nampaknya cukup kuat. Beberapa penghitungan yang dilakukan dengan menggunakan rencana konsolidasi fiskal AS yang terakhir menunjukkan belum terlihatnya path penurunan rasio utang AS terhadap PDB, bahkan cenderung masih menunjukkan peningkatan hingga beberapa tahun ke depan. Hal ini antara lain tercermin dari analisa Global Market Monitor (GMM) IMF tanggal 2 dan 3 Agustus 2011 yang melaporkan bahwa reaksi pasar terhadap paket tersebut adalah “at best, the debt reduction plan is viewed as better than nothing”.
Keraguan yang cukup besar ini secara umum tetap menghidupkan kekhawatiran terhadap kemungkinan penurunan rating utang pemerintah AS dalam beberapa waktu ke depan, apabila pemerintah AS dinilai tidak cukup serius melakukan langkah konsolidasi fiskal ini. Terjadinya penurunan rating akan menimbulkan kompleksitas dampak keseluruhan ke perekonomian yang lebih besar, yang saat ini masih sulit diprediksi.
Kemungkinan bank sentral melakukan stimulus moneter untuk mengimbangi dampak kontraksioner pengetatan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek dinilai kembali terbuka. Secara teoritis, dampak kontraksioner dari pengetatan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi jangka pendek dapat diminimalkan apabila pada saat yang bersamaan bank sentral melakukan stimulus moneter. Amerika Serikat pada era 1990-an dibawah Presiden Clinton pernah menjalankan strategi ini. Pada saat terpilih pada 1992, prioritas pemerintah saat itu adalah menurunkan defisit fiskal melakukan kombinasi penurunan spending dan kenaikan pajak. Namun untuk mengurangi dampak kontraktif ke perekonomian, bank sentral (dibawah Alan Greenpan) pada saat yang sama melakukan pelonggaran kebijakan moneter.
Strategi itu dianggap sukses, karena berhasil menurunkan defisit fiskal secara bertahap yang dibarengi dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang cukup sustain dalam beberapa waktu ke depan. Namun, pada saat sekarang ini dimana perekonomian berada dalam zero lower bound, stimulus kebijakan moneter melalui penurunan suku bunga secara konvensional tentunya sudah tidak dapat dilakukan lagi, yang pada akhirnya memicu wacana kemungkinan diberlakukannya kembali kebijakan quantitative easing (QE 3).
Memahami Posisi Unik Amerika
Pasca krisis 2008, respon kebijakan makroekonomi Amerika adalah melakukan pelonggaran fiscal dan sekaligus moneter besar-besaran demi menghindari terulangnya great depression seperti pada tahun 1930an. Langkah ini unik karena pada umumnya negara yang mengalami imbalances dan kemudian krisis selalu melakukan pengetatan untuk menyeimbangkan (rebalancing) ekonominya yang deficit. Amerika mampu melakukan langkah unconventional ini karena posisinya sebagai reserve issuing countries, dalam pengertian bahwa langkah pelonggaran ini tidak akan berdampak kepada “hukuman” pasar karena pasar global masih membutuhkan US dollar sebagai likuiditas global.
Artinya, aliran modal keluar seperti pada kasus Indonesia 1997-98 atau Yunani belakangan ini tidak akan terjadi. Namun, bagaimanapun, pada kenyataannya proses economic adjustment ke arah rebalancing belum dilakukan. Dalam konteks ini, respon kebijakan dalam bentuk pelonggaran diharapkan mampu menstimulasi pertumbuhan, dan setelah itu baru dilakukan exit policy ke arah pengetatan (rebalancing). Sayangnya respon kebijakan pelonggaran tidak mampu mengangkat keterpurukan ekonomi Amerika. Dampak multiplier dari stimulus fiscal tidak banyak terbukti, seperti juga suku bunga Fed Fund rate yang mendekati nol persen tidak mampu mengaktivasi kredit.
Lebih jauh, kebijakan quantitative easing ke dua dalam bentuk pembelian asset financial berjangka panjang memang mampu menurunkan suku bunga jangka panjang, namun dampak selanjutnya kepada kredit dan aktivasi ekonomi masih sangat minimal. Angka pertumbuhan seperti yang dirilis minggu lalu malah menunjukan penurunan, sedangkan angka pengangguran terus tinggi.
Dalam konteks lemahnya pemulihan ekonomi tersebut, debt deal dalam bentuk pengurangan pengeluaran fiscal kemudian dilihat dampak negatifnya. Kontraksi fiscal dalam hal ini dinilai tidak tepat waktu. Sampai dengan saat ini detail penyesuaian fiscal (medium term fiscal adjustment), khususnya mengenai distribusi tahunan atas rencana pengurangan pengeluaran masih belum tersedia sehingga sulit memperkirakan dampaknya bagi prospek pemulihan ekonomi Amerika. Meskipun masih menyisakan debat tentang apakah magnitude dari penyesuaian fiscal (medium term fiscal adjustment) itu cukup memadai untuk memulihkan debt dan fiscal sustainability, paling tidak kini pelampauan batas utang itu disertai dengan rencana reformasi pengelolaan fiscal.
Sayangnya persoalan menjadi pelik karena saat ini prospek pemulihan ekonomi Amerika masih dalam kondisi ketidakpastian, sehingga langkah penyesuaian fiscal ini (betapapun kecilnya) akan semakin memperburuk risiko kegagalan pemulihan ekonominya. Apabila srategi pelonggaran fiskal dan moneter saja tidak efektif mengangkat ekonomi Amerika pasca krisis. Pertanyaan besarnya, apakah strategi yang sebaliknya justru akan berhasil? Kalaupun berhasil, buahnya baru akan dapat dipetik dalam jangka menengah-panjang.
Fenomena “J curve”adalah scenario yang paling mungkin terjadi, di mana dalam jangka pendek strategi pengetatan akan menghasilkan kontraksi. Pada kasus small open economy seperti Indonesia 1997-98 dan Yunani saat ini, kontraksi ekonomi adalah pilihan satu-satunya pasca krisis, karena alternatifnya adalah hukuman pasar yang sangat menyakitkan. Selanjutnya, kondisi J curve adalah sebuah keberhasilan yang harus disyukuri karena dalam jangka panjang ekonominya akan pulih dengan fundamental yang lebih baik.
Sebaliknya, bagi Amerika, hukuman pasar tidak harus dihadapi. Saat ini bahkan tengah terjadi pembelian US government bond semata-mata karena penyelesaian debt limit dianggap berhasil menghindarkan kondisi default. Akibatnya, yield surat berharga pemerintah justru mengalami titik terendahnya dalam 30 tahun terakhir. Bahkan dalam kondisi ekonomi terburuknya, surat berharga itu kini masih dianggap sebagai safe haven. Dengan exorbitant privilege itu, Amerika tidak dipaksa untuk melakukan pengetatan. Akibatnya, pengetatan fiscal yang dikhawatirkan akan menghambat proses pemulihan, dengan segera memunculkan desakan kepada the Fed untuk kembali melanjutkan kebijakan pelonggaran melalui quantitative easing ke tiga. Persoalannya adalah bahwa QE-2 tidak terbukti berhasil menstimulasi ekonomi.
Persoalan lain yang lebih mendasar adalah bahwa apabila QE-3 dilakukan, hal itu hanya bukti tambahan bahwa Amerika memang tidak serius untuk melakukan strategi baru dalam pengelolaan ekonominya. Dengan kata lain, persoalan ekonomi Amerika tetap tanpa penyelesaian. Dan kita kembali diingatkan pada hukum besi ekonomi, yaitu bahwa keseimbangan yang terjadi dalam jangka pendek pada akhirnya akan menuju kepada keseimbangan jangka-panjangnya. Meminjam Stein’s Law, “if something cannot go on forever, it will stop.”
Apabila dengan exorbitant privilege-nya Amerika dapat terhindar dari abrupt adjustment, maka kita masih akan menyaksikan ketidakpastian yang tinggi dalam jangka panjang. Beberapa ekonom sudah memberikan peringatan bahwa dalam kondisi ini Amerika sedang berada dalam kondisi great distress, masa ketidakpastian yang diramalkan akan bertahan hingga satu dasawarsa ke depan. (Ditulis ulang oleh : Prayitno Ramelan http://ramalanintelijen.net )