Kemelut Mesir, Syria, Bisa Menular Ke Indonesia?

20 August 2011 | 10:55 pm | Dilihat : 501

Pada bulan Januari 2011 penulis membuat artikel dengan judul "Waspadai Dampak kerusuhan Mesir" di Kompas.com  http://internasional.kompas.com/read/2011/01/30/15561340/ Sebuah prestasi, karena artikel tersebut dibaca 12.433 visitor, yang sharing di Facebook sejumlah 393.  Kini kerusuhan serupa terjadi di Syria, penulis melihat kemiripan kasus, karena itu mencoba membuat ulasan atas dua kasus Mesir dan Syria, dikaitkan dengan Indonesia.

Kerusuhan Mesir dimulai pada tanggal 26 Januari, dengan tagline hari kemarahan, akhirnya membesar dan meluas di Alexandria, kota Mansura di Delta Nil, Tanta dan di kota-kota selatan Aswan dan Assiut. Tuntutan dan aksi yang dikatakan terilhami oleh demonstrasi yang berhasil menjatuhkan presiden Tunisia itu terus dicoba dibubarkan oleh pemerintah. Pada awalnya sekitar 250 orang terluka, termasuk 85 polisi.

Menteri luar negeri AS Hillary Clinton menyampaikan bahwa Amerika Serikat mendukung "hak fundamental menyatakan pendapat dan berkumpul bagi semua orang dan kita mendesak agar semua pihak menahan diri  dari kekerasan." Presiden Hosni Mubarak akhirnya turun tahta dan kemudian diadili oleh rakyatnya. Gerakan rakyat di Mesir dan kawasan tersebut dimulai di Tunisia, dan yang berhasil menumbangkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali pada bulan Januari ini.

Gelombang kerusuhan yang dimulai dari Tunisia, dan berlanjut ke Mesir pada bulan Januari 2011, kemudian menyentuh Syria pada pertengahan Maret 2011. Aksi protes diawali ketika penduduk sebuah kota kecil di selatan turun ke jalan untuk memprotes penyiksaan terhadap mahasiswa yang telah memasang anti-pemerintah. Presiden Bashar Al- Assad yang menggantikan  ayahnya Hafez Al-Assad sebagai diktator, kemudian mengirim pasukan dan tank untuk mengatasi para demonstran.

Konflik diperumit oleh perpecahan etnis Syria, para pengikut Assad dan banyak elit lainnya, khususnya militer dari  sekte Alawite, sebuah minoritas kecil di negara yang mayoritas penduduknya adalah  Sunni. Kekerasan terbesar terjadi di Hama, dimana pasukan pemerintah menggunakan senjata berat, tank dan bom. Kelompok-kelompok hak asasi manusia memperkirakan  lebih dari 1.700 pengunjuk rasa tewas,  dan lebih dari 10.000 orang ditahan ataupun  hilang. Perekonomian Syria menuju titik kehancuran.

Kekerasan pemerintah Syria kemudian dikutuk oleh masyarakat internasional, PBB  menyatakan bahwa tindakan kekerasan pemerintah Syria terhadap para pendemo adalah kejahatan kemanusiaan. Presiden AS Obama menyerukan pembekuan aset Syria di wilayah AS, larangan mengimpor minyak dari Syria serta melarang warga AS berbisnis dengan Syria.

Obama juga menyerukan negara-negara lain untuk menjatuhkan sanksi ke Syria. Pada puncaknya Presiden Obama pada hari Kamis (19/8) menyerukan Presiden Bashar Al-Ashad untuk menyerahkan tampuk kekuasaannya.  "Kami telah secara konsisten mengatakan bahwa Presiden Assad harus memimpin transisi demokrasi atau pergi," kata Obama dalam pernyataan tertulis yang dirilis Kamis pagi setelah berkoordinasi dengan sekutu di Eropa. "Dia bukan pemimpin lagi dari orang-orang Syria, waktunya telah tiba bagi Presiden Assad untuk minggir, " tegas Obama.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, Perdana Menteri Inggris, David Cameron, Presiden Prancis Nicolas Sarkozy dan Kanselir Jerman Angela Merkel mengeluarkan pernyataan bersama yang mendesak Mr Assad "untuk menghadapi realitas rezimnya telah ditolak oleh orang-orang Syria dan kemundurannya demi kebaikan Syria dan persatuan raklyat." Hanya Rusia yang menyatakan mendukung pemerintah Syria dan akan mem-veto resolusi PBB.

Nah, dari tiga kemelut yang terjadi di Tunisia, Mesir dan kini Syria, ada persamaan dari ketiganya yaitu konflik terjadi antara pemerintah dengan rakyatnya. Gelombang demonstrasi rakyat dari ketiganya tidak mampu diredam oleh aparat keamanan, walaupun mereka sudah menggunakan senjata berat. Pada akhirnya yang besar pengaruhnya adalah tekanan rakyat yang kemudian didukung negara Adidaya, Amerika. Begitu aksi demo membesar, dan pemerintah kewalahan dan kemudian menggunakan kekrasan, maka tekanan internasional akan dibangun bersama sekutunya. Pada akhirnya pemerintah akan jatuh dan rakyat diberi kesempatan menentukan nasib sendiri.

Bagaimana kaitan dengan Indonesia?. Penulis melihat sudah beberapa waktu tercium bau  operasi intelijen "conditioning" , sebuah skenario penyerangan terhadap pemerintah. Jelas operasi semacam ini adalah clandestine. Lebih fokus sasaran akhirnya adalah Presiden SBY. Sasaran antara adalah  Partai Demokrat,  aparat keamanan serta KPK. Bermacam upaya dilakukan, masyarakat dikondisikan dan opini terus dibentuk dengan jalan isu dan tindakan, dengan tahapan delegitimasi pemerintah melalui jalan kerusuhan, penyerangan mirip teror serta rumor. Tahap selanjutnya akan terbentuk rasa tidak puas dan tidak percaya terhadap pemerintah, presiden. Kondisi semakin dimatangkan dengan terbongkarnya kasus korupsi yang melibatkan parpol yang dibina oleh presiden.   Semua masalah yang terkait di polemikkan dan terus  terus di-blow up.

Yang perlu diwaspadai, akan diciptakan kondisi sangat tidak puas masyarakat terhadap pemerintah. Rasa tidak puas tersebut berjalan seiring dengan rasa tidak puas, tidak suka dan akhirnya akan dijuruskan kepada kebencian terhadap presiden. Aksi demo akan mereka ciptakan, dan belum tentu dari ibukota, bisa dari kota lain seperti yang terjadi  di Mesir dan Syria. Mereka akan memancing aparat keamanan agar mengatasi demo dengan keras, dan biasanya mereka akan bertindak anarkis, tujuannya menciptakan martir.

Seperti yang terjadi di Mesir dan Syria, apabila terjadi gelombang protes di Indonesia dan keadaan memburuk, apakah dunia internasional akan tinggal diam? Sementara masyarakat kini sudah terlatih bertindak anarkis, berani melawan polisi. Disinilah kita perlu waspada, gerakan massa apapun pada akhirnya akan ditunggangi oleh kepentingan negara asing. Memang sulit mempersatukan cara berfikir musyawarah untuk mufakat dari kita semua, karena Pancasila sudah mulai dilupakan dan yang dianut adalah faham demokrasi bebas merdeka, anarkis, hanya karena mereka tidak faham arti demokrasi itu. Para elit politik serta kelompok anti pemerintah sebaiknya memikirkan kembali makna persatuan dan kesatuan bangsa.

Biaya merestorasi apabila pemerintah di jatuhkan akan sangat besar. Bukan untung yang di dapat kita semua, tetapi buntung. Semoga Allah melindungi bangsa dan negara yang kita cintai ini. Seperti yang tertulis di profile, penulis mencintai bangsa dan negara ini dengan segenap jiwa raga. Prayitno Ramelan ( http://ramalanintelijen.net)

 

 

 

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.