SBY Berhasil Membangun Kompromi Politik
14 August 2011 | 10:50 am | Dilihat : 619
Perkembangan situasi yang terjadi terkait kasus Nazaruddin dapat disebut sebagai sebuah konflik. Konflik terjadi di internal partai dan konflik terjadi antara elit Partai Demokrat dengan publik. Kelompok kepentingan terus menyuarakan melalui media, keterlibatan pengurus Demokrat baik dalam masalah korupsi dan kasus pelaksanaan pemilu 2009. Walau konflik tercipta di internal pengurus, dan yang kemudian melebar keluar, imbasnya tetap menyentuh Pak SBY baik dalam posisinya sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat juga posisinya sebagai Presiden.
Ketergantungan Demokrat terhadap citra SBY merupakan titik rawannya, sehingga apabila ini di eksploitir, akan dapat menyebabkan kelumpuhan. Mengingat kokohnya secara konstitusi posisi SBY yang dipilih oleh rakyat secara langsung, maka upaya pressure politik mereka mainkan di lingkungan pengurus partai yang nampaknya agak awam dengan internal security. Oleh karena itu konflik yang dimunculkan dalam rangka pembentukan opini negatif, cepat atau lambat akan menyentuh SBY sebagai sasaran utamanya.
Menurut teorinya, konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula (Wiki). Selain itu Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Nah, penulis melihat bahwa dengan halus, Pak SBY berhasil membangun sebuah kompromi politik pada acara penyerahan bintang Mahaputra, Jumat (12/8). Pemerintah (presiden) memberikan gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan melalui usulan pemberian bintang jasa yang disampaikan MPR RI dengan merujuk pada UU No 20 Tahun 2009. Menurut Menko Polhukkam, Proses pemberian penghargaan tersebut telah dipersiapkan selama tiga minggu. Sidang Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan dipimpin Menko Polhukam serta beranggotakan Hayono Suyono, Quraish Shihab, Jimly Asshiddiqie, Juwono Sudarsono, dan TB Silalahi.
Dalam pemberian bintang kepada 32 orang, tercatat beberapa tokoh besar yaitu NY. Ani Yudhoyono, Ny. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid (Isteri mantan Presiden Abdurrahman Wahid), HM Taufiq Kiemas (suami mantan Presiden RI, Megawati), Hj Mufidah Jusuf Kalla (istri mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla), Hj Asmaniah Hamzah Haz (istri mantan Wakil Presiden RI, H Hamzah Haz), Ir H Aburizal Bakrie (mantan Menko Kesra, Ketua Umum Partai Golkar), Dr Sri Mulyani Indrawati (mantan Menteri Keuangan).
Dalam prosesi penyematan bintang tersebut, nampak hadir Ibu Megawati, Mantan wapres Jusuf Kalla dan Hamzah Haz, sementara Sri Mulyani tidak hadir. Tersirat bahwa tiga tokoh utama papan atas parpol terbesar di Indonesia berkumpul bersama. SBY, Mega, Aburizal, JK, adalah simbol partai terbesar, yang beberapa saat terakhir sulit untuk bertemu. Walaupun dalam pertemuan tersebut SBY hanya berbicara singkat dengan JK, kehadiran tokoh-tokoh merupakan sebuah kompromi politik yang dapat meredakan ketegangan. Mereka dihargai oleh SBY yang sedang menghadapi kemelut serius di internal partainya. Pemberian Bintang kepada Sri Mulyani sebagai tokoh yang dinilai bermasalah oleh lawan politiknya, justru menaikkan derajatnya sejajar dengan Aburizal Bakrie.
Bagi para kader partai diluar Demokrat, ini adalah sebuah simbol perdamaian, dan bagi Demokrat ini adalah momentum yang memang diciptakan, menetralisir agar tekanan politik tidak membesar sehingga proses hukum di internal Partai Demokrat terkait dengan sangkaan Nazaruddin selesai. Memang dalam mengelola manajemen politik banyak caranya, dan bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat faham dan menghargai hutang budi. Sebuah langkah politik yang sangat menarik dan cerdas untuk terus diamati. Prayitno Ramelan ( http://ramalanintelijen.net )
Ilustrasi gambar : Detik.com