Tokoh Demokrat Di Goreng Habis Di TV One
11 July 2011 | 12:23 am | Dilihat : 904
Minggu malam (10/7) penulis merasa miris sekali menonton tayangan TV One, saat berlangsung acara Jakarta Lawyers Club yang di pimpin oleh Pak Karni Ilyas. Acara tersebut merupakan suguhan yang sangat menarik karena dikemas sesuai dengan keingin tahuan masyarakat terkait dengan kasus Nazaruddin. Disamping para aktor yang dimainkan juga pas sesuai dengan peran masing-masing.
Pak Karni demikian lihai mengelola emosi dan rasa sok tahu serta sok benar beberapa public figure yang saling menyerang dan mempertahankan diri dengan vulgar, demikian terbuka tanpa perasaan. Penulis teringat pelajaran conditioning, dimana manusia pada dasarnya sangat tidak suka dikeritik, maka seribu ototnya akan menegang, dan apabila dipuji maka seribu ototnya akan mengendur. Nah, itulah yang terjadi malam ini. Seperti yang dapat disaksikan, JLC akhirnya merupakan arena saling kritik dan saling bantai diantara lawyer-lawyer Demokrat yang terjun ke politik.
Bintang panggung yang selalu ditampilkan adalah Ruhut Sitompul, Amir Syamsuddin dan Kastorius Sinaga dari Partai Demokrat, sebagai penabuh gong adalah Permadi yang lainnya sebagai pelengkap penyerta. Para tokoh atau elit partai (kalau dapat disebut demikian), dengan tidak sungkan saling mengejek dan bahkan mencerca seakan-akan mereka sudah tidak berada didalam satu wadah partai. Masing-masing membongkar keburukan dan kesalahan, serta kelemahan temannya sendiri tanpa mengindahkan tenggang rasa.
Apakah mereka tidak sadar, dimana mereka berada saat itu? Dilihat jutaan pemirsa diseluruh Indonesia. Mereka mengejek dengan tertawa lebar, seakan-akan yang dibicarakan hanyalah masalah pinggir jalan yang tidak ada harganya. Lupa bahwa yang mereka bahas adalah sebuah masalah yang akan menghancurkan bangsa yaitu masalah korupsi yang terkait dengan Nazaruddin. Pembicaraan akhirnya menjadi melebar kemana-mana, tidak fokus, tidak memberikan solusi, bahkan tujuannya hanya satu, saling membantai dan menghancurkan, tanpa sadar mereke digiring ke arena duel mematikan. Head to head.
Pertentangan tokoh parpol (maaf penulis tidak menyebut elit), jelas akan sangat merugikan masa depan partai itu sendiri. Sebagai contoh, Partai Kebangkitan Bangsa, pada saat pertama kali mengikuti pemilu di tahun 1999, dibawah kepemimpinan Bapak Matori Abdul Djalil (Alm), memperoleh 12,61 persen suara. Kemudian terjadi keributan, dimana Matori Abdul Djalil (Alm), Ketua Dewan Tanfidz dipecat oleh Gus Dur (Alm) sebagai Ketua Dewan Suro, yang mengakibatkan perseteruan antara antara kubu Matori disatu sisi melawan kubu Gus Dur dan Alwi Sihab dilain sisi, maka perolehan suara PKB pada pemilu 2004 merosot menjadi 10,57 persen. Setelah Matori kalah, perseteruan terjadi antara Gus Dur (Alm), Alwi Sihab dan Muhaimin. Setelah Gus Dur dikalahkan Cak Imin, akibatnya pada pemilu 2009 perolehan suara PKB hanya tersisa 4,94 persen.
Nah, kalau melihat Partai Demokrat, pada pemilu pertamanya pada 2004 perolehan suaranya 7,45 persen, kemudian Pak SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai terpilih menjadi Presiden. Dengan strateginya, pada pemilu 2009 perolehan suara Demokrat melonjak menjadi 20,85 persen. Apakah perolehan suara yang hampir tiga kali tersebut karena jerih payah 100 persen politisi serta kader Demokrat? Kalau sebagian kecil mungkin betul, tetapi nama besar SBY serta strategi sebagai incumbent yang berhasil menaikkan perolehan suara. Kesimpulannya SBY jauh lebih besar dari Partainya.
Tanpa mengecilkan arti tokoh-tokoh di Demokrat, kalau boleh jujur, nampaknya justru kelemahan terletak pada selebritis parpol, yang memainkan peran di media massa. Tanpa disadari mereka akan menjadi penghancur baik citra ataupun perolehan suara pada 2014 nanti. Media sangat besar pengaruhnya ke konstituen, sehingga disebut sebagai silent revolution, mengalahkan pengaruh jejaring partai. Penampakan di TV One tadi malam menurut penulis akan sangat merugikan citra partai dan akan mengakibatkan turunnya kepercayaan rakyat, tidak hanya ke Partai Demokrat saja, bahkan bisa mengimbas ke parpol lainnya. PKB sebagai partainya kaum nahdliyin yang sudah pasti dalam pengaruhnya saja akhirnya runtuh pada pemilu 2009 sebagai akibat pertentangan para tokohnya.
Mereka menikmati, dan dengan sendau gurau, tertawa seakan tidak bersalah, yang parah mereka tidak merasa atau tidak tahu sedang digoreng oleh Pak Karni, dijadikan komoditi untuk memenuhi kepuasan pemirsa TV One yang menyukai berita-berita panas dan meledak-ledak. Mereka enjoy karena menjadi selebritis nampaknya. Memang kebebasan pers harus didukung, agar tercipta pemerintahan yang penuh dengan kontrol dan keseimbangan. Tetapi kalau seseorang sudah berada di tataran atas sebuah parpol, semestinya dia lebih bijak dan membela serta menjaga nama parpolnya. Bukan hanya mengedepankan kepentingan pribadi dan mungkin kelompok atau faksinya saja.
Jadi, bagaimana melihat acara tadi malam? Dalam ilmu intelijen terdapat yang namanya pengamanan personil, informasi, materiil dan kegiatan. Nampaknya ada yang perlu belajar bagaimana perlakuan elit terhadap pengamanan personil, informasi dan kegiatan dalam sebuah talk show. Sayang memang apabila isi perut partainya sendiri dibuka dengan terlalu terbuka, ataukah ada yang salah mengartikan bahwa zaman keterbukaan masa kini kita boleh membuka semuanya.
Agak miris kalau suatu saat di zaman keterbukaan masa kini, suatu saat nanti kita melihat politisi yang bertitel bepergian kemana-mana tanpa sehelai benangpun. Ngeri memikirkannya, apabila rakyat mempunyai wakil seperti itu. Semoga Allah Swt segera menyadarkan mereka-mereka itu dan melindungi bangsa dan negara ini. Amin. Prayitno Ramelan ( http://ramalanintelijen.net )
Ilustrasi gambar : surabaya.detik.com