Mengenal Prof. Mahfud MD, Pantaskah Jadi Capres?
1 July 2011 | 12:59 am | Dilihat : 1366
Beberapa waktu terakhir masyarakat mulai memperhatikan kiprah beberapa tokoh nasional, yang mereka bayangkan bisa ikut pemilihan sebagai calon presiden pada 2014 nanti. Setelah membahas Mbak Ani (Sri Mulyani Inderawati P.Hd), kini penulis mencoba mengulas Prof. Moh. Mahfud MD.
Pak Mahfud ini penulis kenal, karena penulis pernah menjadi staf ahli saat beliau menjadi Menteri Pertahanan pada pemerintahan Gus Dur. Walaupun kenal, sebagai seorang indie blogger, penulis selalu menulis pada wilayah indie, tidak berfihak, agar ulasan lebih realistis dan objective.
Nama Mahfud MD mulai menjadi buah bibir masyarakat setelah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi sejak 19 Oktober 2008 untuk periode 2008-2011. Mahfud MD pada saat pemilihan mengalahkan Jimly Asshiddiqie sebagai incumbent. Dalam pemungutan suara, Mahfud menang tipis, dia mendapat 5 suara sedang Jimly 4 suara. Secara resmi, Mahfud MD dilantik dan mengangkat sumpah sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi, pada Kamis 21 Agustus 2008.
Mohammad Mahfud dilahirkan pada 13 Mei 1957 di Omben, Sampang Madura, dari pasangan Mahmodin dan Suti Khadidjah. Mahmodin, pria asal Desa Plakpak, Kecamatan Pangantenan. Arti dari Mahfud adalah 'orang yang terjaga'. Rangkaian pendidikannya merupakan kombinasi dari pendidikan agama dan pendidikan umum. Mahfud mengenyam pendidikan dasar dengan belajar agama Islam dari surau dan Madrasah Diniyyah di desa Waru, utara Pamekasan.
Setamat SD, Mahfud belajar di Sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri di Pamekasan. Lulus dari PGA setelah 4 tahun belajar, Mahfud mengikuti Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Mahfud memutuskan meneruskan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang dirangkapnya dengan kuliah di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada Jurusan Sastra Arab.
Namun kuliahnya di Fakutas Sastra tidak berlanjut karena merasa ilmu bahasa Arab yang diperoleh di jurusan itu tidak lebih dari yang didapat ketika di pesantren dulu. Mahfud menemukan berbagai kegundahan terkait peran dan posisi hukum. Kekecewaannya pada hukum mulai terungkap, Mahfud menilai hukum selalu dikalahkan oleh keputusan-keputusan politik. Berangkat dari kegundahan itu, Mahfud termotivasi untuk belajar Ilmu Politik. Menurutnya, hukum tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya karena selalu diintervensi oleh politik. Dia melihat bahwa energi politik selalu lebih kuat daripada energi hukum sehingga ia ingin belajar ilmu politik.
Mahfud memasuki Program Pasca Sarjana S-2 dalam bidang Ilmu Politik tahun1985 di UGM. Setelah lulus dari Program S-2 Ilmu Politik, Mahfud kemudian mengikuti pendidikan Doktor (S-3) dalam Ilmu Hukum Tata Negara di Program Pasca Sarjana UGM sampai akhirnya lulus sebagai doktor (1993).
Mahfud MD dikukuhkan sebagai Guru Besar atau Profesor bidang Politik Hukum pada tahun 2000, dalam usia masih relatif muda yakni 40 tahun. Didukung oleh karya tulisnya yang sangat banyak, baik dalam bentuk buku, jurnal, maupun makalah ilmiah, dari Lektor Madya, Mahfud melompat lagi, langsung menjadi Guru Besar. Jika dihitung dari awal menjadi dosen sampai meraih gelar guru besar, Mahfud hanya membutuhkan waktu 12 tahun. Pada umumnya seseorang bisa meraih gelar Guru Besar minimal membutuhkan waktu 20 tahun sejak awal kariernya.
Mahfud MD terpilih menjadi Rektor Universitas Islam Kediri (Uniska) periode 2003-2006. Meski bersedia, namun beberapa waktu kemudian mengundurkan diri karena khawatir tidak dapat berbuat optimal saat menjadi Rektor akibat kesibukan serta domisilinya yang di luar Kediri.
Pada kurun waktu 2000-2001, mantan aktivis HMI ini dikukuhkan sebagai Menteri Pertahanan pada Kabinet Persatuan Nasional di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Sebelumnya, Mahfud ditawari jabatan Jaksa Agung oleh Presiden Abdurrahman Wahid tetapi menolak karena merasa tidak memiliki kemampuan teknis. Selain menjadi Menteri Pertahanan, Mahfud sempat pula merangkap sebagai Menteri Kehakiman dan HAM setelah Yusril Ihza Mahendra diberhentikan sebagai Menteri Kehakiman dan HAM oleh Presiden Gus Dur pada 8 Februari 2001. Meski diakui, Mahfud tidak pernah efektif menjadi Menteri Kehakiman karena diangkat pada 20 Juli 2001 dan Senin, 23 Juli, Gus Dur lengser. Sejak itu Mahfud menjadi Menteri Kehakiman dan HAM demisioner.
Dalam karier politik Mahfud ikut membidani terbentuknya Partai Amanat Nasional, dan pernah menjabat sebagai Ketua Departemen. Mahfud terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2004-2008, bertugas di Komisi III DPR sejak 2004 pada Fraksi Kebangkitan Bangsa. Sejak 2008 pindah ke Komisi I DPR. Mahfud pindah ke ranah yudikatif untuk menjadi hakim konstitusi melalui jalur DPR. Setelah melalui proses uji kelayakan dan kepatutan bersama 16 calon hakim konstitusi di Komisi III DPR akhirnya Mahfud bersama dengan Akil Mochtar dan Jimly Asshiddiqie terpilih menjadi hakim konstitusi dari jalur DPR. Mahfud MD terpilih menggantikan hakim Konstitusi Achmad Roestandi yang memasuki masa purna tugas. Dan puncaknya. dia terpilih menjadi Ketua MK.
Kini, nama Mahfud banyak disebut karena dua kasus yaitu dia melaporkan langsung kepada Presiden SBY tentang Nazaruddin yang memberikan hadiah kepada Sekjen MK, S Janedjri M Gaffar. Mahfud MD membantah tudingan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang menuduh Janedjri melobi Nazaruddin agar proyek pengadaan rumah dinas hakim disetujui. Dalam perdebatan di ranah politik tersebut, Mahfud tampil dengan meyakinkan saat diwawancarai stasiun TV. Sebelumnya dia tampil bersama-sama Presiden SBY. Dengan lugas semua masalah dijawabnya dengan terbuka dan tanpa rasa takut.
Kasus lainnya yang membuat namanya mencuat adalah kasus tuduhan pemalsuan surat MK yang berdampak meloloskan Dewi Yasin Limpo ke DPR RI. Mahfud yakin laporannya tentang Andi Nurpati ke Mabes Polri pada Pebruari lalu tentang dugaan pemalsuan surat putusan hasil sengketa Pemilu 2009 akan di tindak lanjuti. Dalam Panja Mafia Pemilu terungkap beberapa nama yang diduga terlibat berkonspirasi melakukan pemalsuan surat keputusan MK. Nama mantan Hakim MK, Arsyad Sanusi serta mantan juru panggil Mashuri Hasan, kini menjadi hakim di Papua yang menyeret Andi Nurpati dalam kasus ini.
Mahfud MD diserang oleh Arsyad Sanusi dan anaknya Neshawati saat diundang DPR . Arsyad mengatakan Mahfud kurang memahami teknis administrasi persuratan di MK. Bahkan Arsyad menyerang balik Mahfud, yang dikatakannya telah melakukan kebohongan, manipulasi dan hanya mementingkan citra diri. Dengan keras Arsyad mengatakan Mahfud sebagai pengemis jabatan.
Menanggapi serangan balik, Mahfud mengatakan dengan ringan "silahkan tulis dan beritakan apa saja tentang upaya orang membela diri atau membelokkan kasus, itu hak mereka. Saya takkan menanggapi, kecuali terkait substansi kasus penggelapan dan penggunaan surat palsu" tegasnya. Mahfud yakin kalau panja Mafia Pemilu DPR akan mengambil penyelesaian politik.Pihak Polri dalam beberapa pekan ini telah menyelidiki kasus tersebut. Polri telah memeriksa empat pegawai MK.
Itulah dua kasus yang akhir-akhir ini mengangkat nama Mahfud MD (MD bukan gelar tetapi nama ayahnya Mahmodin). Untuk menjelaskan masalah yang begitu berat serta bukti kejujuran MK, Mahfud MD telah merangkum kasus-kasus kontroversial yang disidangkan MK dalam kurun waktu 19 Agustus 2008 hingga 31 Desember 2009, yaitu selama 500 hari sejak dia terpilih sebagai Ketua MK. Dituangkan dalam buku dengan judul "On The Record, Mahfud MD di balik Putusan Mahkamah Konstitusi". Kasus-kasus tersebut dirangkum dengan maksud agar pembaca dapat lebih memahami perdebatan maupun pertimbangan hukumnya.
Suatu hal yang tidak terlupakan adalah saat akan dilaksanakannya pemilu tahun 2009, dimana daftar pemilih demikian ambudradul, dan hampir menyebabkan kegagalan atau paling tidak sebuah cacat demokrasi, Mahfud MD sebagai Ketua MK dengan berani memutuskan konstituen bisa memilih hanya dengan menunjukkan KTP. Itulah keputusan strategis MK yang sangat berani dan bermanfaat. Mahfud telah menunjukkan kelasnya sebagai pemimpin. Sekalipun menjabat sebagai Ketua MK, kerap kali ia tampil sebagai sosok akademisi yang lugas.
Dengan pribadinya yang sederhana, Mahfud mampu membawa MK menjadi lembaga yang dekat di hati rakyat. Kelugasan dan keberanian dinilai sebagai karakter Madura yang berbicara tanpa basa-basi. Memang beberapa tokoh menilai pertengkarannya dengan Arsyad tidak elok, bahkan mantan Ketua MK Jimly Asshidiqie menyebut perseteruan keduanya sebagai over action. Mahfud kini memilih bersikap dingin, menghargai usulan banyak orang dan tidak melayani polemik.
Nah itulah Mahfud MD, sang Profesor pandai, dan dikenal jujur sederhana dan ceplas-ceplos. Dibuktikan dengan pengunduran dirinya sebagai rektor, sebuah jabatan empuk, menolak jabatan Jaksa Agung karena merasa tidak mampu. Apakah Mahfud akan makin bersinar? Satu kekuatan Mahfud yang tidak dimiliki tokoh lainnya, yaitu keberanian menunjukkan kejujuran yang oleh sementara banyak tokoh sulit melakukannya.Secara perlahan Mahfud dipercaya oleh masyarakat sebagai salah satu tokoh bersih.
Nah, mari kita ikuti perjalanan tokoh Madura ini, entah nanti dari jalur mana Pak Mahfud akan bisa masuk ke tataran capres, kalau sebagai cawapres jelas peluangnya banyak. Rakyat mulai lebih suka dengan kejujuran dan keterbukaannya. Sebagai Profesor hukum, kata orang bila disandingkan dengan Doktor Ekonomi akan baik hasilnya. Tapi siapa yang mau menyandingkan? Semoga Pak Profesor tetap mampu mempertahankan citra kejujuran, karena disitulah konstituen menunggunya.
Kita bersabar, siapa tahu lembaga survei akan mulai mencari tokoh untuk 2014. Mahfud MD kini membutuhkan Parpol pengusung, jelas harus parpol papan atas. Kalau jalur independen? Bukankah MK yang berwenang mengetuk palu...Penulis menyarankan kehati-hatian kepada Pak Mahfud yang pernah bertemu di Masjid Nabawi dan menyapa dengan gaya Maduranya "Apa kabar Pak Prayitno?". Alhamdulillah. Salam hormat Pak Mahfud, onward no retreat. Prayitno Ramelan.
Ilustrasi : mahkamahkonstitusi.go.id