Pray di Mekkah Saat Ruyati Di Hukum Pancung

27 June 2011 | 8:49 am | Dilihat : 4529
Oleh  : Prayitno Ramelan

Penulis bersama beberapa teman dan isteri kemarin baru kembali dari tanah suci Mekkah dan Madinah dalam melaksanakan ibadah umrah. Rangkaian ibadah dilakukan sejak tanggal keberangkatan 16 Juni 2011 hingga tanggal 23 Juni dan dilanjutkan tour mengunjungi kota Istanbul Turki untuk berziarah. Alhamdulillah selama kegiatan, rombongan jamaah yang berjumlah 70 orang, dan saat tour menjadi 14 orang, semuanya sehat wal'afiat, mendapat ridho dan lindungan Allah swt.

Pada tanggal 19 Juni,  penulis berada di kota Mekkah, saat browsing internet, penulis menjadi sangat terkejut dan prihatin dengan tersiarnya kabar ada TKI kita, Ruyati  yang di hukum pancung di Jeddah. Kasus Ruyati kemudian menjadi pembicaraan sesama warga Indonesia di rombongan. Yang dilakukan rombongan kemudian mendoakan, semoga Allah memberikan ampunan kepada Ruyati dan menerima semua amal ibadahnya selama hidupnya.

Setelah kembali ketanah air, penulis pada pagi yang cerah ini mencoba menyusun artikel tentang kasus tersebut dan memberikan informasi serta pandangan  yang penulis ketahui. Korban yang bernama Ruyati Bt Satubi, beralamat Kp Ceger Kecamatan Sukatani, Bekasi, Jawa Barat, dikirim ke Arab saudi melalui agen PJTKA Ziarah Rec Office, dan perusahan pengirim Dasa Graha Utama.  Ruyati bekerja di keluarga Omar Muhammad Omar Halwani yang bertempat tinggal di Al Khalidiya Makkah dengan masa kerja 1 tahun 3 bulan.

Pada 12 Januari 2010, yang bersangkutan ditangkap karena dituduh telah membunuh majikanya yang bernama Khariyah Hamid, 64,  dengan pisau. Kasus ditangani kepolisian sektor Al Mansur Makkah Al Mukarromah. Pembunuhan tersebut dimuat di koran lokal Okaz edisi 13 Januari 2011. Motif pembunuhan didasari atas kekecewaan Ruyati terhadap ibu majikannya yang sering memarahi, dan menolak memulangkannya. Beberapa sumber menyebutkan kemungkinan besar Ruyati sering mengalami siksaan.

Menurut informasi, KJRI telah menghadiri persidangan Ruyati sebanyak dua kali, pada 3 dan 10 Mei 2011. Dalam persidangan tersebut Ruyati didampingi dua orang penerjemah mahkamah berkebangsaan Indonesia, dan dua orang dari KJRI Jeddah. Pada saat proses investigasi yang dilakukan Badan Investigasi, termasuk reka ulang, Ruyati didampingi penerjemah. Ruyati kemudian diputuskan pengadilan untuk di hukum pancung di Mesjid Qisas, Jeddah.

Kasus Ruyati kemudian menjadi berita besar di tanah air, dan menjadi konsumsi politik, karena KJRI di Jeddah dan pemerintah tidak mengetahui kapan tepatnya hukuman pancung dilaksanakan, hanya disebutkan hari Sabtu 19 Juni 2011 Ruyati telah di pancung. Sebetulnya banyak dari kita faham bahwa hukuman pancung dan potong tangan di Jeddah selalu dilaksanakan setiap hari Jumat setelah sholat Jumat selesai. Kemungkinan besar pada tanggal 18 tersebut Ruyati di hukum pancung.

Penulis sudah mengunjungi tempat pelaksanaan hukuman yaitu Mesjid Qisas, dimana nama sebenarnya adalah Masjid Syeikh Ibrahim Al-Juffali, nama orang kaya Saudi yang membangun masjid ini, terletak ditengah kota Jeddah yang ramai di kawasan Ballad. Letaknya ditengah bundaran besar antara jalan Bagdadiyah, jalan Syeikh Al Juffali dan Jalan Madinah. Di sebelah barat terdapat kantor Sekretariat Departemen Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia dan disudut lain terdapat Markas Polisi Militer Jeddah.

Tempat hukuman pancung berada persis disamping masjid. Hanya berupa lantai keramik yang ditinggikan sekitar 40 cm dari tanah sekitarnya dan berukuran tidak lebih dari 15 m x 15 m. Hukuman pancung selalu dilakukan setiap hari Jum’at setelah selesai sholat Jum’at, dan pelaksanaanya sangat cepat dan efektif sekali dilakukan oleh algojo. Pelaksanaan hukuman disaksikan banyak orang, keluarga korban, mereka yang kebetulan melihat atau sengaja mau melihat. Begitu  kepala terpenggal, langsung lantai dibersihkan dan dalam waktu tidak lebih dari beberapa saat, tempat tersebut sudah kembali bersih seperti biasa. Pada saat yang sama jenasah disholatkan sebentar di Masjid dan proses selesai.

Bagaimana sebenarnya kita melihat kasus Ruyati dan masa depan TKI lainnya?. Konon menurut kabar Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migrant Berdaulat (Migrant Care) dalam siaran pers di Jakarta, Minggu, 19 Juni 2011, masih terdapat 23 WNI lainnya yang terancam hukuman mati di Saudi.

Apapun kata kita, hukuman pancung, potong tangan atau rajam sudah merupakan UU di Arab Saudi dan semestinya setiap warga Indonesia yang akan ke negara-negara yang menerapkan hukum syareat Islam harus sangat faham akan bahayanya. Memang tidak hanya Warga Indonesia saja yang terkena, pada tahun 2010 menurut rekan penulis yang sama-sama Umrah, Bapak Slamet Hidayat, Mantan Duber RI di Singapura, telah terjadi 121 orang warga asing  yang dipancung di Mesjid Qisas.  Kerasnya hukuman Qisas telah menyebabkan warga Saudi sangat berhati-hati dalam melakukan pelanggaran.

Kita tidak bisa menyalahkan pemerintah Saudi dalam masalah ini, karena itu adalah hukum yang mereka terapkan di negara mereka. Seperti kalau kita melakukan hukuman mati terhadap warga asing yang melakukan pelanggaran berat di Indonesia. Yang jauh lebih penting adalah, bagaimana sebagai sebuah bangsa, kita mampu saling melindungi sesama kita dimanapun kita berada.

Manusia pada dasarnya diberikan Tuhan kecerdasan dan kecerdikan. Dalam melaksanakan tugasnya mereka pemegang amanah yang dipercaya, mestinya orang yang cerdas, tetapi belum tentu cerdik, pengertiannya adalah belum tentu mempunyai inisiatif. Dalam kasus Ruyati saja mereka (jaringan Kemlu) yang bertugas disana tidak tahu persis kapan eksekusi dilakukan, sedang pemerintah Saudi selalu mengumumkan sebelum pelaksanaan dan dilakukan tiap selesai sholat Jumat. Mereka hanya protes mengharap diberi tahu. Apakah Kemlu dengan jaringannya yang demikian hebat tidak mampu memonitor? Karena itu pantas kalau disebut kecolongan.

Kasus Ruyati bukan kasus sederhana, dan kasusnya bukan di Saudi sana, tetapi di Indonesia. Apakah sudah benar kita  menata sistem dalam pengiriman TKI/TKW ke Saudi atau negara-negara lainnya? Fungsi kontrol terhadap perusahaan pengirim tenaga kerja nampaknya sangat lemah. Pertanyaannya apakah para tenaga kerja sudah di berikan briefing akan bahaya bekerja di luar negeri. Apakah kita tahu juga bahwa terdapat kelompok mafia Indonesia yang mencari mangsa disana, merayu, menipu para TKW untuk dijadikan pekerja sex? Memindahkan dari satu majikan ke majikan lain? Menjual mereka.

Banyak dari pekerja kita yang tidak peduli setelah Visa habis kemudian menjadi pekerja illegal, dipengaruhi yang lainnya, dan banyak yang kemudian menjadi korban penipuan. Banyak yang kemudian nekat hanya mendapat gajih Rp1,2 juta per bulan saja tanpa aturan yang jelas. Bahkan ada yang bekerja dengan orang badui, memelihara Onta  di gurun pasir, tidur di rumah-rumah karton beratapkan seng.

Nah kini sudah waktunya pemerintah, Kementerian Tenaga Kerja, Kemlu, Kemendiknas bersama-sama mempersiapkan para penghasil devisa tersebut sebelum mereka berangkat. Perusahaan pengirim tenaga kerja, di tata dengan keras, dengan aturan yang jelas, perlakukan hukuman pencabutan ijin apabila terjadi pelanggaran prinsip. Para pekerja yang akan berangkat dibekali dan diberikan ujian tentang hukum di negara-negara tujuan.

KBRI atau KJRI merupakan kunci perlindungan keselamatan WNI dinegara tujuan, bukan hanya sekedar menikmati gajih besar dan fasilitas hebat. Setiap TKI/TKW yang datang harus lapor dan penanda tangan perjanjian dengan calon majikan harus  dilakukan di KBRI/KJRI. Sebaiknya crisis center yang pernah ada di KBRI/KJRI di aktifkan kembali, merupakan posko dimana ada petugas yang siaga 24 jam di negara-negara yang banyak terdapat pekerja Indonesia. Posko yang siap menerima laporan dan pengaduan warga Indonesia.

Apakah semua bisa kita laksanakan? Jawabannya bisa, kalau kita mau. Kita tidak bisa mengharapkan dan menuntut pemerintah negara lain sepenuhnya  melindungi warga kita disana, karena mereka warga kita dan bukan warga mereka bukan? Mari kita saling melindungi. Moratorium pemerintah yang disampaikan Menlu Marty yang akan jatuh pada awal Agustus 2011 bukanlah jalan keluar, kita akan bisa dituduh banci apabila nantinya tidak melaksanakannya dengan tegas.

Jadi kesimpulannya, "siapkan warga kita yang akan bekerja keluar negeri." Sekali lagi penulis mengingatkan, masalahnya bukan di Saudi, Malaysia, Singapore atau dimanapun, masalahnya ada didalam negeri yaitu "niat" kita bersama. Apabila pejabat tidak mau dan tidak mampu memegang amanah dan menjadi pembantu Presiden, sebaiknya lebih baik mengundurkan diri saja.

Penanggung jawab kasus Ruyati adalah para Menteri dan jajarannya, bukan Presiden. Sub system disebuah negara harus lebih belajar bertanggung jawab dengan benar. Yang perlu diingat,  tidak di dunia saja kita dimintai pertanggungan jawab, yang berat di akherat nanti. Bukankah begitu?

Ilustrasi : Mesjid Qisas, tempat pelaksanaan hukuman pancung (Ardy's Famili Blog).

 

 

 

 

 

 

This entry was posted in Sosbud. Bookmark the permalink.