Pak SBY Digiring Ke Killing Ground
13 June 2011 | 2:02 am | Dilihat : 3472
Didalam taktik pertempuran, memasukkan lawan ke dalam killing ground adalah salah satu taktik ampuh untuk membinasakan lawan. Lawan akan dipaksa tanpa daya berada disuatu wilayah dimana dia hanya dapat bertahan dan terus di tembaki hingga habis.
Nah, melihat situasi dan kondisi perpolitikan di tanah air, dengan 'sense of intelligence', terlihat sebuah upaya sistematis untuk menghancurkan partai yang berkuasa (Partai Demokrat), dan juga tokoh utamanya Pak SBY yang kini menjadi Presiden RI ke-6. Apabila dicermati dengan lebih mendetail, perusakan baik parpol maupun citra Pak SBY dilakukan dengan gempuran psikologis yang efeknya akan berjalan bak bola salju. Penulis melihat disini, SBY sedang digiring menuju killing ground, dan akan ditembaki bersama serta diadu dengan rakyatnya.
Mari kita ukur Partai Demokrat dengan menggunakan teori Sun Tzu. Strategi perang Sun Tzu ditulis dalam 13 langkah sederhana. Mulai dari perencanaan perang hingga intelijen. Namun, kalau kita urut ke-13 langkah Sun Tzu itu, maka inti sarinya cuma ada tiga langkah. Yaitu, mengenal diri Anda dengan baik, mengenal musuh Anda, dan mengenal tempat di mana kita bertarung.
Dalam berpolitik, PD mempunyai tiga kelemahan, pertama dalam mengenal diri sendiri, politisi PD kerap mengalami rabun penglihatan. Dalam praktek, politisi PD bisa jadi kurang percaya diri. Atau kebalikannya, menjadi sombong dan arogan setelah berhasil meraih sebuah sukses. Akibatnya menjadi kabur dan gagal mengenali kelemahan dan kekuatannya.
Kedua, politisi PD kurang tekun mempelajari perilaku musuh. Sun Tzu dalam bab ke-13, atau langkah terakhir, menganjurkan pemakaian intelijen untuk memastikan keberhasilannya. Ada pepatah Cina menyebutkan bahwa kemenangan tertinggi adalah menangkan perang tanpa satu pertempuran pun. Artinya, kalau kelemahan musuh sudah diketahui persis, kita akan selalu beberapa langkah lebih maju dari musuh itu.
Langkah ketiga Sun Tzu, tentang pengenalan medan perang, memang termasuk yang sulit. Politisi PD yang tidak menguasai medan pertempuran dan gagal mengikuti dinamika kompetisi, biasanya tidak akan memiliki kesempatan untuk memanfaatkan momentum. Sebaliknya, politisi yang mengontrol dinamika kompetisi akan mampu terus-menerus berinovasi dan menciptakan momentum.
Dalam beberapa kasus, baik yang menyangkut bidang politik maupun keamanan, terlihat sebuah upaya dalam mendelegitimasi pemerintah, menurunkan derajat keamanan, merusak suasana damai, serangan terhadap citra SBY dan PD.
Tolok ukur kondisi politik PD terlihat dari hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tentang persepsi masyarakat terhadap 'Kasus Nazaruddin dan Perubahan Dukungan Partai', menyebutkan dukungan masyarakat (responden) kepada Partai Demokrat menurun lima persen yaitu dari 20,5 persen (Januari 2011) menjadi 15,5 persen (Juni 2011).
Menurut pendiri LSI Denny JA, "Sejak survei LSI pada 2009 itu baru pertamakalinya suara Demokrat tidak lagi menjadi nomor satu pada Juni 2011, antara lain disebabkan kasus Nazaruddin memiliki daya penurun yang cukup kuat." Denny menegaskan, turunnya dukungan Demokrat sebanyak 5 persen dalam lima bulan terakhir itu, menyebabkan 40 persen suara akan beralih ke Partai Golkar, 9 persen suara ke PDIP, 12 persen suara ke partai lain dan 39 suara persen mengambang.
Survei LSI itu juga menyebutkan bahwa dukungan terhadap Golkar meningkat dalam lima bulan terakhir yakni dari 13,5 persen (Januari 2011) menjadi 17,9 persen (Juni 2011), dukungan PDIP meningkat dari 12 persen menjadi 14,5 persen, partai lainnya menurun dari 27,2 persen menjadi 19,8 persen persen, sedangkan tidak menjawab meningkat dari 27,8 persen menjadi 32,3 persen.
Nah setelah konstituennya ada yang ditangguk oleh parpol lain, bagaimana pembacaan situasi dan kondisi politik yang berlaku?. Elit Demokrat harus segera melakukan langkah pengamanan, introspeksi, meng-counter dan mengantisipasi keruntuhan citra tersebut. Selain itu yang jauh lebih penting dibaca, ancaman serius sebetulnya diarahkan kepada Presiden SBY sebagai target utama. Apakah PD bisa mencium upaya penggiringan pemimpinnya ke killing ground tadi? Dengan kondisi penerapan reformasi dan pengawalan demokrasi, maka SBY harus bertahan dalam kondisi sering mengalah, menahan diri, berkompromi politik dan yang banyak disebut orang sebagai ‘ragu’.
Kini daya tahan SBY benar-benar diuji, SBY harus tetap mempertahankan sikapnya tersebut. Rasa sakit hati, perihnya luka, kegeraman, dan segala rasa sakit hatinya harus tetap dijaga dengan sebuah pengorbanan yang tidak main-main. Inilah sebuah dinamika penerapan demokrasi, terutama pada masa transisi yang mereka manfaatkan sebagai wilayah serangan. Apa yang disampaikan Pak SBY terus disalahkan, partainya diaduk-aduk, orang kepercayaannya dikaitkan dengan korupsi yang sejak awal dinilai sebagai tindakan haram, keluarganya disentuh. Bukankah kemarahan sudah dipuncak?
Dimana letak killing ground tersebut? SBY diarahkan agar menjadi pemimpin yang tegas, ketegasan yang diawali dengan rasa marah dan kegeraman. Begitu masuk kewilayah tersebut, maka SBY akan berhadapan dengan rakyatnya. Benturan itulah yang diharapkan si perencana. Maka sikon politik di tanah air akan mengopy sikon Mesir. Presiden melawan rakyat, maka seperti sebuah kisah klasik, akhirnya akan runtuhlah Sang Penguasa.
Apabila disimpulkan, maka dalam tataran intelijen, situasi dan kondisi yang tidak terbaca oleh orang awam adalah sebuah teori serangan intelijen cladestine yang berbunyi “Let them think, let them decide.” Biarkanlah rakyat berfikir dan yakin terhadap keburukan pemerintah dan pemimpinnya, dan biarkan rakyat yang memutuskan. Jadi inilah sasarannya, akumulasi dari sebuah upaya penciptaan kondisi yang disebut ‘conditioning operation.’ Chaos-pun mereka halalkan.(Prayitno Ramelan)
Ilustrasi : Presiden SBY dan Menpora Andi Mallarangeng (Arema.com)