Capres Terkuat Pada 2014, Sebuah Ramalan

11 June 2011 | 1:37 am | Dilihat : 7895

 

Oleh : Prayitno Ramelan

 

ilustrasi : Megawati

Berita politik yang besar akhir-akhir ini adalah pernyataan Presiden SBY pada saat memberi sambutan di acara Indonesian Young Leader yang diselenggarakan oleh HIPMI dan Fakultas Ekonomi UI, di Hotel Ritz-Carlton, kawasan SCBD, Jalan Sudirman, Jakarta, pada tanggal 9 Juni 2011.

Pada sambutan tersebut, Presiden SBY menyatakan, “Saya memperkenalkan diri. Nama saya Susilo Bambang Yudhoyono. Jabatan saya, Presiden hasil pemilu 2004-2009. Saya bukan capres 2014. Istri dan anak-anak saya juga tidak akan mencalonkan diri,” katanya, yang langsung disambut tepuk tangan hadirin.  Presiden SBY menegaskan, tidak menyiapkan siapa-siapa di Pilpres 2014. “Biarlah rakyat dan demokrasi yang menentukan. Setiap orang punya hak untuk running for RI-1.”

Itulah pernyataan yang kemudian memperjelas gonjang-ganjing tentang rumors penyapresan Ibu Ani Yudhoyono pada pilpres 2014 mendatang. Dengan pernyataan Ketua Dewan Pertimbangan Partai Demokrat (PD) tersebut, maka beberapa pengamat dan bahkan team sukses Ketum Partai Demokrat merasa, peluang penyapresan Anas Urbaningrum menjadi terbuka lebar.

Pernyataan yang berdampak sangat besar tadi juga telah menggetarkan kubu Partai Golkar dan PDIP. Walaupun pemilu dan pilpres masih tiga tahun lebih, kini sudah waktunya Partai papan atas untuk mulai lebih berhitung, siapa calon yang akan maju pada 2014 nanti. Apakah peluang Anas akan besar? Nah, marilah kita coba bahas dengan dasar analisa intelijen.

Dalam membuat forecast (the future), intelijen menggunakan dasar the past dan the present. The past yang disebut sebagai basic descriptive intelligence dalam dunia perpolitikan di Indonesia adalah hasil pilpres 2004 dan 2009 serta faktor yang mempengaruhi. Faktor yang sangat menentukan adalah budaya paternalistik masyarakat, yang masih sangat percaya dengan para  patron.

Pada pilpres 2004 pasangan yang maju keputaran kedua (20 September 2004) adalah pasangan Megawati-Hasyim Muzadi (39,38% suara), dikalahkan oleh pasangan  SBY-JK yang mendapat dukungan 60,62%. Pada pilpres 2009, hasil dari pilpres langsung, Megawati yang berpasangan dengan Prabowo Subijanto mendapat dukungan 26,79%, dikalahkan oleh pasangan SBY-Boediono yang memperoleh 60,80%.

Dari fakta tersebut, yang terlihat jelas adalah Mega telah dua kali menjadi runner-up capres, sementara SBY menang dua kali. Nah yang sangat terlihat jelas pada partai  final, kedua calon adalah 'patron' dimana masing-masing capres telah mempunyai pemilih solid. Citra keduanya sebagai patron tidak mampu digoyahkan oleh calon yang masih tanggung ataupun dinilai masyarakat memiliki masalah.

Faktor lain yang berpengaruh adalah Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 yang mengatur pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan  Rakyat 2009 yang memperoleh minimal 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari jumlah suara sah nasional. Disini parpol yang menjadi motor hanya parpol papan atas.

Dengan demikian menurut perkiraan, data the present, diperkirakan capres dan cawapres  kuat akan muncul kemungkinan hanya dari tiga Parpol, yaitu PD, PDIP dan Golkar. Selain itu, pernyataan Presiden SBY yang juga tidak mempersiapkan siapa-siapa untuk 2014, mempunyai arti bahwa Anas juga bisa maju, dengan syarat peluangnya akan membaik apabila  dia mampu menaikkan citranya dari seorang Ketua Umum Partai menjadi seorang patron.

Patron tidak cukup hanya melakukan gerakan mengunjungi konstituen kedaerah-daerah. Yang jauh lebih penting adalah memainkan media elektronik yang terbukti ampuh sebagai 'silent revolution' dan mampu mengalahkan pengaruh jejaring partai. Tetapi biaya yang dibutuhkan akan sangat besar.

Dengan demikian maka the future (forecast) peluang pilpres 2014, Megawati kemungkinan akan menjadi kandidat terkuat setelah SBY tidak ikut pilpres. Peluang kedua, akan diperebutkan antara Anas dengan Aburizal Bakrie. Anas harus menghadapi tahapan awal yang  berat di internal partainya, kecuali apabila Anas menemukan momentum, dimana capres muda memang sangat dikehendaki konstituen.

Tanpa sebuah strategi pemasaran yang mantap, Bang Ical dan Anas akan berat menghadapi Mega, bak banteng wanita yang walaupun sudah tua tetapi masih mempunyai pengikut yang setia dan sudah dibuktikannya pada dua periode pilpres.

Pertanyaannya, apakah sesederhana itu menilai sikon politik di Indonesia? Jawabannya, betul, karena masyarakat/konstituen di Indonesia berfikir dan memutuskan dengan cara yang sederhana. Apabila berfikir terlalu tinggi, upayanya besar dan dananya juga besar.   Nah, kini persoalannya, bagaimana para ahli strategi di parpol mampu menemukan cara agar jagonya menang dalam pilpres. Penulis hanya membuat analisa dari fakta dan data.  Pada tulisan berikut penulis akan mencoba menyampaikan cara tersebut.

Demikian sebuah ulasan penulis yang mencoba sedikit ikut berpartisipasi dalam pembahasan calon pemimpin 230 juta rakyat. Semoga ada manfaatnya bagi pembaca. Salam hangat Pray (www.ramalanintelijen.net)

 

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.