Polisi Versus Teroris ?
9 June 2011 | 3:43 pm | Dilihat : 316
Pada beberapa bulan terakhir, media massa banyak memberitakan penyerangan terhadap aparat Polri yang mengakibatkan beberapa anggota telah tewas dengan mengenaskan. Sepanjang tahun 2011 terjadi penembakan terhadap enam anggota polisi, mengakibatkan lima tewas dan satu luka berat. Selain penembakan, penyerangan dengan bom bunuh diri di Polres Cirebon semakin melengkapi keprihatinan pimpinan Polri.
Indentifikasi terhadap penyerangan dapat dibagi menjadi beberapa motif, diantaranya kriminal dan balas dendam. Pada kesempatan ini penulis mencoba memisahkan kasus penyerangan dengan latar belakang yang terkait dengan terorisme.
Kasus penyerangan terhadap anggota Polri apabila diteliti kebelakang, telah terjadi penonjolan kasus penembakan sejak April 2010 dimana dua anggota polisi ditembak di pos jaga Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purwirejo. Pada 22 September 2010, Pos Polisi Hamparan Perak Sumatera Utara telah diserang dengan senjata panjang, tiga anggota Polri tewas. Pada 15 Februari 2011 Mesjid Adzikra Polres Cirebon telah dibom dengan cara bom bunuh diri. Pada 25 Mei 2011 terjadi penembakan terhadap anggota Polri di depan Bank Central Asia, Jalan Emi Saelan, Palu. Dua anggota Polri tewas dan satu menderita luka parah.
Dari empat kasus serangan bersenjata dan pemboman, diketahui kemudian keempat kasus terkait dengan tindakan terorisme. Semuanya bermuara kepada kegiatan Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut Tauhid serta kegiatan teroris eks Jalin Jantho Aceh. Memang belum ada pengakuan resmi kenapa mereka melakukan penyerangan ke pihak Polri. Beberapa pengamat menilai motifnya adalah balas dendam, mereka membenci polisi.
Penulis berpendapat, bahwa penyerangan di Hamparan perak memang nampaknya ulah sekelompok teroris yang mungkin sedang membalas dendam atau sedang melakukan tes kemampuan serangan. General Mohindra seorang pakar ilmu teroris mengatakan bahwa tindakan terorisme adalah demonstrasi atau kontra demonstrasi, dimana serangan yang dilakukan untuk menarik perhatian media massa. Tujuannya untuk memberi kesan bahwa pemerintah tidak kredibel. Polri adalah aparat pemerintah, dengan menyerang polisi akan terlihat bahwa jangankan mengayomi dan melindungi masyarakat, Polri-pun kini menjadi target utama mereka. Sasaranya adalah citra dan kredibilitas yang diarah disini.
Dilain sisi, ada hal yang sangat menarik perhatian penulis, yaitu kasus bom bunuh diri di Polres Cirebon. Dari data 'basic descriptive intelligence', sebuah tindakan 'suicide bombing' adalah serangan khusus. Dilakukan oleh mereka yang merasa dirinya sebagai mujahid, berkait dengan pemahaman berjihad dan mati syahid. Nah, diketahui bahwa pembom bunuh diri, M Syarif adalah anggota Jamaah Ansharut Tauhid, bukankah dapat dikatakan bahwa dia yakin dengan mati syahid karena membela sesuatu yg dianggapnya suci atau patut dibelanya. Alasan terkuat adalah membela Sang Amir Ustadz Abu Bakar Ba'asyir yang sedang menjalani sidang pengadilan di Jakarta Selatan. Sang Ustadz kini oleh jaksa dikenai tujuh lapis dakwaan, dengan tuntutan hukuman seumur hidup. Disebutkan bahwa Ustadz Ba'asyir terbukti mengumpulkan dana Rp 350 juta untuk pelatihan di Aceh.
Dengan demikian maka konflik dua pihak perlu terus diwaspadai oleh para anggota Polri dimanapun mereka berada. Penyerangan terhadap polisi mempunyai dua efek psikologis yaitu rasa was-was polisi dimanapun mereka berada dan penurunan kredibilitas yang membuat rakyat ragu terhadap kredibilitas polisi. Yang perlu diingat bahwa penyerang adalah mereka yang memegang inisiatif, menurut teori peperangan, pihak yang bertahan harus memiliki segala sesuatunya tiga kali pihak penyerang, baik dari segi kekuatan, kemampuan dan inisiatif. Tanpa menjaga ketiga hal tersebut, maka kemungkinan kebobolan dan jatuhnya korban difihak aparat akan sulit dihindarkan.
Demikian sedikit catatan Pray, kini musuh teroris di Indonesia sudah bukan AS dan sekutunya, tetapi polisi dan pemerintah. Prayitno Ramelan.
Ilustrasi : Okezone.com