Tempo Dibom Oleh Siapa?
6 July 2010 | 1:47 pm | Dilihat : 185
Selasa pagi dini hari, sekitar jam 02.45 WIB kantor majalah Tempo di Jalan Proklamasi telah dilempari bom (cocktail molotov) oleh orang tak dikenal. Pelaku yang berjumlah dua orang melempar tiga bom molotov kehalaman kantor, dimana menurut Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Wahyu Muryadi, hanya dua dari tiga buah bom yang meledak. Tidak terdapat kerugian dalam aksi tersebut, karena bom bakar tersebut meledak dua meter dari jendela.
Kini, pertanyaannya, apakah ini aksi teror? Kenapa terjadi teror terhadap kantor Tempo? Mari kita bahas sedikit. Majalah Tempo termasuk majalah yang demikian berani dalam memublikasikan berita-berita tajam dan kadang dirasa menusuk mereka yang diberitakan. Pada terbitan 28 Juni-4 Juli 2010, majalah Tempo terbit dengan judul yang menyengat, Rekening Gendut Perwira Polri. Yang lebih dirasa menyakitkan oleh pejabat Polri, digambarkan ada celengan babi ditangan tokoh tersebut. Pada saat dilempar kepasaran, terjadi upaya pemborongan majalah. Tercatat dua media luar negeri, Straits Times di Singapura dan Sentinel, media yang berbasis di Hong Kong juga menulis kasus tersebut.
Kemelut antara Polri dan Majalah Tempo mengundang reaksi beragam, bahkan Presiden SBY dalam sidang Kabinet terbatas Bidang Polhukkam turut memberi perintah agar informasi tersebut dicek oleh Kapolri. Presiden SBY meminta polisi segera menyelidiki kasus rekening jumbo yang dimiliki sejumlah perwira tinggi lembaga tersebut. Pada saat menghadiri acara Syukuran Hari Bhayangkara ke-64 tahun, selasa (6/7) Presiden menyampaikan "Khusus menangapi kritik masyarakat terhadap kepolisian, saya meminta keluarga polri untuk tetap tenang berpikir secara rasional dan tidak perlu emosional."
Terlepas dari besar atau kecilnya sebuah serangan, kasus pelemparan bom molotov tersebut dapat dikatakan sebuah tindakan teror. Teror dengan menggunakan bom bakar adalah sebuah taktik tradisional yang popular dikalangan teroris, dalam berbagai kasus teror didunia, dalam kurun 20 tahun terakhir sekitar 14 persen adalah serangan pembakaran. Dari ilmu intelijen Siabidibame, maka penentuan me (mengapa) adalah bagian terpenting dan tersulit untuk dan harus dijawab oleh intelijen. Nampaknya pelaku melakukan mission dengan mengharapkan efek berita yang ditimbulkan jauh lebih besar dibandingkan hasil serangan. Yang terjadi, akan banyak media memberitakan tekanan psikologis pelemparan bom minyak ke salah satu media yang cukup terkenal. Disebutnya sebagai upaya pembelengguan kebebasan pers.
Nah, kemelut antara Polri dan Majalah Tempo rupanya dipandang sebagai momentum penting oleh si perancang serangan. Disatu sisi Tempo sepertinya dibuat takut, sementara dilain pihak Polri akan dibuatnya rugi dalam hal pencitraan. Opini publik bisa digiring bahwa Polri yang akan dituduh sebagai pelemparan bom karena sakit hati. Jadi dalam hal ini, penulis menilai bahwa ada pihak ketiga yang memang sengaja mencoba membuat kisruh. Dalam beberapa kasus yang terjadi di Polri, apakah terbaca sebuah upaya penurunan citra di tubuh Polri dalam beberapa waktu terakhir? Sebagai aparat keamanan dan ketertiban masyarakat, nampaknya setiap kerawanan internalnya akan dibuka habis.
Polri kita ketahui banyak juga mempunyai musuh. Kelompok teroris kini menjadi musuh utamanya, terlihat dari informasi yang ditemukan di Klaten, ada rencana untuk menyerang Mabes Polri dan Polda Metro Jaya. Jelas rasa sakit hati teroris demikian besar dimana beberapa teman dan tokoh mereka telah ditangkap dan bahkan ditembak mati. Selain itu, masih terdapat mereka yang sakit hati dalam kasus pidana dan korupsi, belum lagi timbulnya sengketa internal yang terjadi.
Nah, dengan demikian maka nampaknya sengketa antara Majalah Tempo dengan Polri perlu diselesaikan segera, jangan digantungkan. Seperti yang disampaikan Menkopolhukam Djoko Suyanto, agar Polri selain melakukan pemeriksaan internal juga memberikan hak jawab melalui Dewan Pers. Teror yang terjadi nampaknya hanya tindakan kecil atau sekelas teror 'kacangan' . Akan tetapi diperkirakan efek beritanya akan sangat besar. Bagi Tempo, tetap perlu mewaspadai, dalam teori counter terorism, perancang bisa melakukan tindakan lanjutan seperti pembunuhan, serangan bersenjata, penyanderaan, penculikan, sabotase dan ancaman yang lebih keras, apabila tindakan awal tidak membuahkan hasil seperti yang mereka harapkan. Semua akan menjadi terang apabila pelaku dapat tertangkap, dan bisa diketahui dalangnya, apakah bagian dari sebuah konspirasi, terorisme murni atau simpatisan.
Dengan demikian maka sekali lagi kita perlu sama-sama menyadari bahwa apapun yang namanya kebebasan, sebaiknya dilakukan dengan pemikiran yang lebih dewasa kemungkinan akibatnya terhadap bangsa, negara dan masyarakat. Kita bersama sangat tidak menginginkan apabila nama dan citra Polri jatuh dititik nadir. Apa jadinya dengan penegakan hukum di negara ini nantinya apabila tidak ada kewibawaan koprs berbaju cokelat?. Polri harus lebih bijaksana menanggapi setiap tekanan terhadap institusinya, disamping mampu membersihkan institusinya, dan mengendalikan anggotanya. Kita tidak bisa membayangkan apabila ada anggota Polri yang marah, karena mereka adalah aparat yang dipersenjatai.
Seperti pesan Presiden, Polri kini sedang diuji, dikatakan oleh Presiden, "Pada 10 tahun yang lalu keluarga TNI juga pernah menghadapi kecaman dan kritik dari masyarakat. Namun hal tersebut bisa dilalui oleh TNI. Saya yakin kepolisian negara kita dapat melaluinya." Jadi semuanya ini memang bagian masa transisi dari penerapan demokrasi, kita perlu jatuh bangun dahulu untuk mencapai sesuatu impian yang lebih baik, apakah begitu?
PRAYITNO RAMELAN, Pemerhati Intelijen.
Sumber: http://hankam.kompasiana.com/2010/07/06/tempo-di-bom-oleh-siapa/ (Dibaca: 872 kali)