Mega Masih Sulit Didekati SBY

8 April 2010 | 2:38 am | Dilihat : 114

Setelah kemelut kasus "bail out" Bank Century yang demikian menghebohkan itu, terlihat nada kekecewaan elit Partai Demokrat terhadap dua rekan koalisi mereka PKS dan Partai Golkar yang dinilai telah menohok kawan seiring. Kekesalan di sampaikan beberapa elit yang menyarankan agar kader kedua parpol keduanya yang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu-II di reshuffle, digantikan dengan parpol lain yang pantas dianggap sebagai kawan baru. Beberapa waktu lalu, nampaknya pilihan akan jatuh kepada elit PDIP dan Partai Gerindra. PDIP menjadi prioritas utama, mengingat apabila Golkar dan PKS lepas, kekuatan koalisi di parlemen tetap kuat dan terkendali.

Dari perkembangan century gate, Partai Gerindra yang memilih opsi berseberangan dengan Partai Demokrat nampaknya dilepaskan dari alternatif terbaik Partai Demokrat. Harapan lainnya, pendekatan kepada PDIP  lebih intensif dilakukan. Lobi terhadap PDIP mendapat dukungan Taufik Kiemas yang menjadi salah satu tonggak bertuah  PDIP. Oleh karena itu Kongres III PDIP di Sanur Bali yang kini sedang berlangsung menjadi demikian penting dalam perkembangan politik di Indonesia.

Arah kebijakan PDIP hingga pemilu 2014 nampaknya akan tetap berada dijalur oposisi. Hal ini terlihat dari beberapa point yang disampaikan oleh Megawati Soekarnoputri yang masih dipercaya sebagai calon tunggal oleh peserta kongres.  Mega dalam sambutannya sepanjang 45 menit dengan jelas  mengkritik partai politik yang menjadi penjual tiket kekuasaan. Ditegaskan oleh Mega, “Sebagai pilar negara demokrasi, partai berubah fungsi menjadi penjual tiket kekuasaan.Yang terjadi kemudian, hubungan politik antara rakyat-partai dan rakyat-elit menjadi pola hubungan transaksional, hubungan untung-rugi.”

Megawati mengingatkan bahwa berkongres bukan sekadar untuk memenuhi kalender lima tahunan partai, bukan pula untuk memilih ketua umum, atau membagi-bagikan posisi. Mega  menyatakan, sebagai kekuatan politik, PDIP sedang dihadapkan pada ujian sejarah yang tidak mudah. Sebab, PDIP sedang disodorkan pada pilihan pragmatis antara koalisi dan oposisi. Mega menyatakan penegasannya  bahwa cita-cita yang melekat dalam sejarah PDIP jauh lebih besar dari sekadar urusan kursi di parlemen, sejumlah menteri, ataupun Istana Merdeka. "Sebagai kader,kita harus berbangga, bukan ketika kita bersekutu dengan kekuasaan tapi ketika kita bersama-sama menangis dan bersama- sama tertawa dengan rakyat,” tegasnya. Kendati demikian, lanjut dia, bukan berarti PDIP antikekuasaan. Tetapi, ini untuk menegaskan bahwa jika PDIP harus memegang tampuk pemerintahan biarkan itu terjadi karena kehendak rakyat.

Nah, dengan demikian maka nampaknya peluang Partai Demokrat yang mencoba menarik PDIP dari sisi oposan menjadi koalisi akan sulit direalisasikan. Hal serupa pernah terjadi saat pilpres 2009 lalu, dimana upaya merayu Megawati pernah juga dilakukan. Mega hingga kinipun tetap "keukeuh," atau bersikeras, tetap berseberangan dengan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dalam berpolitik. Dan, yang sangat menarik, tidak satupun kader PDIP termasuk sang suami, Taufik Kiemas mampu meluluhkan hati Mega. Kini timbul pertanyaan, bagaimana dengan masa depan PDIP itu?

Didalam sebuah sistem Demokrasi, membangun negara dan menjaga agar negara tersebut bisa tetap eksis sebagai sebuah bangsa yang dihormati di dunia, maka negara tersebut harus memiliki parpol, baik dua ataupun lebih, yang kemudian membentuk pemerintahan yang kuat. Amerika sebagai negara penganjur demokrasi hanya menganut sistem dua partai yaitu Partai Demokrat dan Republik. Indonesia kini mempunyai demikian banyak parpol, terdapat sembilan parpol di parlemen serta demikian banyak parpol lainnya yang tidak lolos dalam penyaringan parliamentary treshold. Partai Golkar, PDIP dan Partai Demokrat adalah parpol papan atas yang diperkirakan akan tetap berperan penting pada pemilu dan pilpres 2014 nanti.

PDIP, dalam sepuluh tahun terakhir, sejak pemilu 1999 hingga 2009, walaupun hingga kini masih berada di jajaran parpol papan atas, ada yang memperkirakan sedang turun dan bisa menjadi parpol satu digit. Artinya perolehan suaranya bisa berada dibawah 10 %. Pada pemilu 1999, dengan 48 kontestan pemilu, mendulang suara 33,74%. Pada pemilu 2004, dari 24 kontestan, PDIP mendapat 18,53%, dan  pada pemilu 2009, dari 44 kontestan pemilu,  PDIP perolehan suaranya merosot menjadi 14,03%. Jadi trend negatif perolehan suara PDIP inilah yang harus menjadi pertimbangan dan perhitungan Mega serta para elit PDIP.

Pada pemilu 1999, setelah jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto, maka pilihan rakyat hanya berada pada satu alternatif yaitu PDIP, karena itulah PDIP menjadi partai raksasa. Golkar yang selama 32 tahun menjadi partai penguasa masih mampu eksis. Pada pemilu 2004, kapal besar PDIP dengan nahkoda Mega telah menabrak karang dan menjadi bocor, hingga ditinggalkan sebagian konstituennya, dan Mega dikalahkan SBY dalam pilpres. Kondisi semakin merosot setelah PDIP menjadi oposisi pada pemilu 2009, dimana sebagian konstituen, simpatisan dan kadernya meninggalkannya. Perolehan PDIP hanya 14,03% saja. Walaupun sebagai Capres, Mega tetap mampu berada di posisi runner up. Dapat dibayangkan dalam waktu sepuluh tahun, telah terjadi kemerosotan sebesar 19,71%, ini bukan suatu angka yang main-main. Partai Demokrat yang sudah bermain habis-habisan saja pada pemilu 2009 hanya memperoleh 20,85% suara.

Nah, dengan demikian, maka Mega yang sudah bisa dipastikan akan kembali terpilih sebagai Ketua Umum PDIP, memutuskan tetap pada jalur oposisi dan menolak kursi Kabinet. Dengan pernyataannya itu, kecerdikan berpolitik telah ditunjukkan PDIP, berseberangan dengan penguasa dan menyatakan bersama rakyat. Point tersebut sangat penting, karena apabila dalam perjalanan empat tahun kedepan rakyat kecewa dengan pemerintah semakin membesar, maka PDIP akan mendapat durian runtuh. Pertama, limpahan konstituen dari Partai Demokrat, kedua, Mega tidak mempunyai saingan lagi sebagai capres, berhubung pesaing utamanya SBY tidak bisa maju kembali sebagai capres.

Apabila sejarah 1999 kembali berulang, maka Mega  kemungkinan besar kembali akan terpilih menjadi presiden pada 2014, seperti yang penulis pernah nyatakan dalam artikel terdahulu. Mega dapat mengambil tokoh menonjol, Prabowo Subijanto ataupun Surya Paloh sebagai cawapresnya. Apabila perolehan suaranya menurun, maka bukan tidak mungkin PDIP akan menggandeng Partai Golkar sebagai mitra. Mega sebagai capres dan Aburizal Bakrie sebagai cawapres, menjadi ganda terkuat. Saingan utamanya akan datang dari Partai Demokrat yang akan berkoalisi dengan beberapa parpol.

Dengan perhitungan seperti tersebut diatas, maka konstelasi politik pada periode 2009-2014 nampaknya tidak akan mengalami perubahan yang signifikan. Partai Golkar kemungkinan besar akan tetap menjadi partai yang dipertahankan oleh SBY, sementara PKS akan mendapat sedikit hukuman. Presiden SBY dapat diperkirakan tidak akan tergesa-gesa mengambil langkah politik keras, mengingat saat ini masih  terjadi pembongkaran markus dan kejahatan korupsi yang melibatkan aparat negara. Kalaupun akan dilakukan, diperkirakan baru akan dilaksanakan sekitar enam bulan mendatang. Demikian perkembangan situasi dan kondisi politik yang berkaitan dengan Kongres PDIP. Memang Megawati masih sulit untuk didekati SBY, entah ada ganjalan atau murni perhitungan politis. Semoga bermanfaat.

PRAYITNO RAMELAN.

Sumber:http://politik.kompasiana.com/2010/04/08/mega-masih-sulit-didekati-sby/ (Dibaca: 526 kali)

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.