Peradaban, Demokrasi dan Terorisme
28 February 2010 | 10:16 am | Dilihat : 235
Penulis mempunyai keponakan yang kini tinggal di Jepang, kini dia menjadi salah satu pejabat perwakilan Bank Indonesia di Tokyo. Dia juga seorang kompasianer yang saat ini sedang mengambil program doktor filsafat. Dua hari yang lalu Junanto, nama sang keponakan menulis notes di Face Book, dengan judul "Adab mengemudi dan mengambil SIM di Jepang." Tulisannya menarik dan membuat penulis merenung...khususnya tentang persoalan adab itu.
Junanto mengawali notes tentang rasa percaya diri dan kisahnya saat mengambil SIM di Tokyo. Jun dengan yakin mendatangi kantor polisi Jepang, dia berbekal mental anak Jakarta...Dia menulis, "If you can drive in Jakarta, you can drive anywhere in the world ." Keyakinan itulah yang saya imani lebih dari dua puluh tahun lalu, saat pertama kali memperoleh SIM (tentu saja mendapatkannya dengan cara nembak), katanya. Dia terkejut dengan proses peradaban di Jepang itu.
Saat tinggal di Tokyo itu, saya menyadari bahwa jalan raya itu punya adab. Begitu pula kalau kita melihat jalan raya di negara-negara maju lainnya. Padahal di Jakarta, adab itu hanya terlihat di tempat ibadah, saat kita bersujud pada Yang Maha Kuasa. Menangis di tempat ibadah, tapi bengis di jalan raya. Sebaliknya di Tokyo, adab ada di mana-mana. Padahal orang Tokyo jarang pergi ke tempat ibadah. Menarik juga kalau dipikir-pikir. Apa itu berarti ibadah tidak ada hubungannya dengan adab di jalan raya ya?. Tapi sebaiknya tidak usah kita pikirkan deh, karena sampai vertigo sekalipun kita tak pernah menemukan solusi yang memuaskan hehehe...itu cuplikan tulisannya.
Berangkat dari tulisan sang keponakan, penulis merenung...Melihat situasi dan kondisi saat ini timbul pertanyaan, apakah ada kaitan antara adab, demokrasi dan teror?. Apakah benar kita semakin terjerumus dari bangsa yang beradab menjadi tak beradab?. Kita bersama telah menyaksikan di layar kaca, dimana-mana, kekacauan, kekerasan, teriakan, sumpah serapah, bakar ban, bakar foto simbol negara...Kemudian terjadinya rangkaian bom bunuh diri selama sembilan tahun yang demikian menggiriskan. Semuanya bersembunyi dalam selimut, inilah demokrasi, inilah jaman kebebasan, negara ini punya rakyat. Nah oleh karena itu, penulis mencoba menuliskan sedikit tentang urusan adab itu. Kata cucu penulis di Face Book... Yuuuuk mareee...kita bahas.
Apa yang dimaksud bila kita bicara tentang peradaban? Samuel P. Hurington mendefinisikan, bahwa sebuah peradaban adalah sebuah entitas budaya. Desa-desa, wilayah-wilayah, kelompok-kelompok etnis, kelompok-kelompok bangsa, serta kelompok-kelompok agama, semua memiliki budaya yang berlainan pada tingkat keberagaman budaya yang juga berlainan. Peradaban adalah pengelompokan budaya tertinggi dari sekelompok orang dan identitas budaya paling luas yang dimiliki oleh orang-orang yang membedakan manusia dari mahluk lain. Ia terdefinisikan baik lewat unsur-unsur objektif umum seperti bahasa, sejarah agama, kebiasaan, institusi, maupun identifikasi diri yang subjektif.
Di dunia terdapat beragam peradaban, dimana masing-masing budaya memiliki pandangan berbeda tentang hubungan antara Tuhan dan manusia, individu dan kelompok, penduduk dan negara, orang tua dan anak, suami dan isteri serta perbedaan pandangan akan pentingnya arti hak dan kewajiban, kebebasan dan otoritas, persamaan dan hierarki. Bangsa Barat yang demikian maju selalu mencoba gagasan adanya peradaban universal. Sebuah standarisasi peradaban yang di gelontorkan keseluruh dunia. Amerika serta negara-negara Barat mencoba membujuk masyarakat dunia lain agar mengikuti mereka tentang masalah demokrasi dan hak asasi. Disinilah terkait antara peradaban dan demokrasi.
Pemerintahan demokrasi modern menurut Hutington berasal dari Barat. Kita faham bahwa begitu berkembang di negara kita, maka demokrasi itu adalah merupakan produk kolonialisme atau pemaksaan Barat. Hanya tiga alternatif bagi bangsa non Barat dalam menghadapi pengaruh peradaban Barat, yaitu pertama melakukan penolakan, isolasi. Kedua, mencontek, bergabung dengan ide Barat tersebut, menerima dan mengadobsi nilai-nilai yang mereka inspirasikan. Ketiga berusaha menyeimbangkan pengaruh Barat tersebut, berusaha mempertahankan nilai dan institusi lokal, kemudian berusaha menjadi modern tanpa menjadi kebarat-baratan.
Nah, mari kita tengok sebentar tentang urusan terorisme yang berkembang di kawasan Timur Tengah. Kelompok teroris Al-Qaeda telah berhasil membentuk sebuah teater politik tingkat tinggi di daratan Arab dan di Arab Saudi. Al-Qaeda terus menyerang Amerika Serikat. Tetapi menurut Michael Scott Doran bahwa Bin Laden tidak punya maksud untuk mengalahkan Amerika. Perang itu adalah alat yang dirancang untuk membantu jenis Islam ektremis terus hidup dan tumbuh subur, pendeknya orang Amerika telah ditarik ke dalam perang saudara orang lain.
Mereka mengharamkan modernisasi ala Barat, dimana kemudian Anwar Sadat yang mereka nilai membebek Amerika akhirnya mereka bunuh. Dalam bayangan Osama Bin Laden, para pemimpin Arab dan dunia muslim sekarang adalah kaum Munafik, para penyembah berhala yang gemetar ketakutan dibelakang Amerika. Jihad Islam Mesir memandang Sadat sebagai orang murtad, mereka tidak benar-benar memiliki Islam di hatinya, dan mereka gagal menerapkan syariah.
Nah, bagaimana Indonesia?. Kini, kita melihat dari ukuran budaya institusi lokal kita, bagaimana yang namanya saling menghargai, kesantunan, rasa menghormati sudah mulai luntur. Seperti yang diprihatinkan Junanto, dalam contoh kecil saja, mengukur adab dijalan raya itu. Adab hanya terdapat di tempat ibadah, saat bersimpuh dihadapan Tuhan. Setelah mereka meninggalkan tempat ibadah, maka adab itu bukan bagian penting lagi. Berlakulah hukum rimba, yang keras, tidak peduli tidak ada sopan santun, saling menghargai lenyap. Ukuran yang utama adalah kebebasan itu, seperti yang diajarkan demokrasi itu dan kini kita terapkan.
Kebebasan mendera mulai dari jalan raya, lorong-lorong gelap, kampung, desa, sekolah hingga gedung megah di parlemen itu. Menghina pemimpin dihalalkan, melempar polisi juga boleh, semua maunya merdeka...siapa suruh mau jadi pemimpin? kata mereka. Kerbaupun ditempeli gambar presiden, ya itulah demokrasi Barat. Kalau kita membuka You Tube, jangan heran ada perempuan menari dimana pada celana dalam (dipantatnya) tertulis Obama. Sekali lagi inilah demokrasi bung!. Jangan marah kata aktivis demokrasi itu yang juga bertelanjang dada.
Akhirnya yang terjadi adalah konflik, baik antara masyarakat, antar masyarakat dan petugas, antar parpol, parpol dan penguasa, antara anggota koalisi, keras, tanpa kompromi, mau menang sendiri. Stephen M.Walt menuliskan bahwa konflik-konflik yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan selalu merupakan bahaya potensial. Konflik yang berkepanjangan medorong timbulnya kebencian dan keinginan untuk balas dendam, membantu munculnya kelompok-kelompok yang tujuan utamanya adalah mengobarkan perang. Kondisi ini menyediakan tanah penyemaian yang ideal bagi jenis orang yang bersedia terlibat dalam teror massal. Bukankah kini terorisme sudah ada di negara kita?
Nah, pada akhir tulisan, penulis hanya menyampaikan himbauan kepada siapapun yang terlibat dalam mengemudikan biduk bernama Indonesia ini, apakah sudah kita berfikir ulang tentang penerapan demokrasi, menurunnya adab dan kemungkinan perkembangan terorisme ? Kini nampaknya kita hanya mencontek dan bergabung dengan ide Barat itu. Bukankan akan lebih baik apabila demokrasi diterapkan tetap dengan mempertahankan nilai dan institusi lokal? Jelas bangsa kita itu beda dengan orang barat, mereka berkulit putih, hidungnya mancung, sementara kita itu kulitnya coklat, hidungnya pesek.
Tetapi nampaknya banyak orang pintar yang suka kebarat-baratan, lulusan sekolah top di negara Barat itu. Semoga pemikiran Bin Laden yang anti modernisasi Barat tidak menjadi inspirasi negatif di negeri yang berbudaya tinggi ini. Di Kompasiana ini, penulis hanya sampai tingkat sekedar mengingatkan saja...Mari kita merenung, sebelum semuanya terlambat. Semoga pemikiran sederhana ini bermanfaat bagi kita semua.
PRAYITNO RAMELAN. Penulis Buku Intelijen Bertawaf.
Sumber: http://politik.kompasiana.com/2010/02/28/peradaban-demokrasi-dan-terorisme/ (Dibaca: 744 kali)