Kontroversi Perppu Plt KPK, Wajar Saja Sih

23 September 2009 | 8:18 am | Dilihat : 113

Berita yang kini menarik di media massa adalah telah  ditandatanganinya Perppu Plt pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Presiden SBY sebelum bertolak ke AS untuk menghadiri   KTT G-20. Perppu diterbitkan oleh Presiden setelah  Irjen Pol (purn) Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang pencekalan bos PT Masaro Anggoro Wijoyo oleh pihak kepolisian. Saat ini Pimpinan KPK yang aktif hanya dua orang, yakni M Jasin dan Haryono Umar, dimana sebelumnya Ketua KPK Antasari Azhar telah dinonaktifkan karena menjadi tersangka kasus pembunuhan.

Penerbitan Perppu tersebut telah menyulut silang pendapat baik para ahli hukum tata negara, ahli hukum lainnya, elit politik ataupun LSM. Mensesneg Hatta Rajasa di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (22/9) menyatakan perppu diterbitkan untuk menambah dua pasal dalam Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Kedua pasal yang ditambahkan adalah Pasal 33A dan 33B,mengenai pengangkatan pelaksana tugas (plt) pimpinan KPK, apabila pimpinan KPK kurang dari tiga orang.  Sementara mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai Pemerintah sebaiknya tidak menerbitkan Perppu penunjukkan pelaksana tugas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Lebih baik ikuti prosedur normal. Tidak timbulkan masalah, kecurigaan, dan kesalahpahaman,"  kata Jimly.

Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pengusutan polisi atas kasus penyalahgunaan kewenangan pimpinan KPK tetap menyalahi aturan. Mahfud menerangkan perppu ini merupakan antisipasi jika polisi terus menerus memaksa mempersangkakan pimpinan KPK. Hal ini bisa memakan waktu yang lama. "Lalu tak ada Perpu Plt, bisa-bisa KPK-nya mati." Pengeluaran perppu penunjukan plt pimpinan KPK dianggapnya konstitusional. Ia menjelaskan, dalam UUD 1945, terdapat dua alasan penerbitan UU Darurat, pertama dalam pasal 12 UUD 1945 yang menyatakan munculnya UU Darurat karena keadaan bahaya. Kedua, diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan karena keadaan darurat sipil.

Untuk menentukan keadaan, penerbitan UU darurat harus melalui alasan obyektif. Sedangkan untuk keadaan genting alasannya cukup berdasar pandangan subyektif presiden. Pandangan subyektif ini harus segera direview (political review) oleh DPR. "Jadi perppu tentang plt KPK itu sah," ungkapnya, Selasa (22/9). Mahfud  menilai penerbitan perppu penunjukan pelaksana tugas (Plt) KPK akan menyelamatkan KPK. Karena tanpa Plt, KPK akan mengalami kelumpuhan. Ia menyatakan kelumpuhan KPK akan menimbulkan persoalan terhadap keabsahan kuorum dalam pengambilan keputusan di antara pimpinan KPK. Sehingga keabsahan kuorum kolegialitasnya akan dipertanyakan. "Empat saja ada yang mempersoalkan, apalagi dua orang," ungkapnya. Ia khawatir tersisanya dua dari lima pimpinan KPK akan menimbulkan masalah hukum. "Bisa-bisa nanti di praperadilankan," lanjutnya. Mahfud juga menjamin bahwa MK independen, jika perppu tersebut dipermasalahkan. Karena perppu tersebut tidak bisa diperkarakan ke MK. "Perppu itu hanya bisa diuji oleh DPR dengan political review," ujarnya

Dilain sisi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) penunjukan pelaksana tugas (plt) pimpinan KPK. Penerbitan perppu tersebut dinilai tidak tepat. Sebelumnya, tim kuasa hukum KPK mengirim surat kepada Presiden agar membatalkan penerbitan perppu. Karena, proses hukum kedua pimpinan KPK oleh kepolisian bukanlah saluran hukum yang tepat. KPK melalui kuasa hukumnya akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kuasa hukum KPK, Taufik Basari mengungkapkan pihaknya memiliki tiga opsi pengajuan gugatan ke MK. Diantaranya Taufik akan mengajukan uji materi pasal 21 ayat 5 UU KPK mengenai kepemimpinan kolektif. "Kami minta agar MK menyatakan pasal ini konstitusional bersyarat. Agar ditafsirkan colective colegial tidak terbatas lima, tetapi dua pun bisa menjadi kepemimpinan kolektif," katanya.

Nah, perppu yang sudah ditandatangani presiden telah memunculkan kontroversi, antara yang pro dan kontra. Intinya adanya kecurigaan serta penafsiran ada apa-apanya dibelakang perppu tersebut. Sebagai pemegang mandat rakyat, presiden  menurut Ketua MK, konstitusional dalam penerbitan perppu tersebut. Masalah pokoknya, presiden menilai  bahwa dengan tersisanya dua orang pimpinan KPK maka kondisinya sangat lemah khususnya dalam pengambilan keputusan. Tiga pimpinan KPK sudah menjadi tersangka, maka sesuai UU harus diberhentikan sementara, apabila nanti menjadi terdakwa baru akan diberhentikan secara tetap.   Proses hukum terhadap ketiganyapun berlangsung entah hingga kapan, sedang KPK harus tetap berjalan.

Selanjutnya presiden melihat substansi seleksi tetap mengacu pada pasal 29 dan 30 UU nomor 30/2002, dimana seleksi normal pemilihan pimpinan KPK akan memakan waktu enam bulan. Oleh karena itu sambil menunggu selesainya proses pengadilan para pimpinan KPK yang sudah menjadi tersangka, dipandang perlu menerbitkan Perppu penunjukan pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK.

Jadi bagaimana dengan nasib institusi sangat penting yang dikonotasikan sebagai hewan kecil dan lemah, sang "cicak" itu? Kita memang heran, disatu sisi kita membutuhkan institusi yang khusus dan keras memberantas korupsi, sementara lain dilain sisi institusi ini justru dikecilkan atau dianggap demikian kecil. Nampaknya persaingan dan perseteruan tidak bisa dihindarkan. Pada waktu lalu penulis pernah  membuat artikel tentang KPK,  prayitnoramelan.kompasiana.com/arsip-antara-kpk-dan-kopkamtib/ . Sebagaimana kita tahu bahwa yang dihadapi KPK adalah sebuah kerusakan sistematis mental anak bangsa yang demikian mengakar dalam semua strata. Bahkan seperti dikatakan mantan Ketua KPK Taufikurrahman Ruki (ini teman seangkatan penulis di Akabri),  bahwa kita sebenarnya berpanu, hanya bedanya ada yang kelihatan dan ada yang tidak.

Penulis sejak awal pada artikel tersebut melihat, bahwa organisasi KPK kurang kuat, lemah,  sementara yang dihadapi adalah tindak korupsi yang sudah bukan budaya lagi tetapi sudah menjadi komoditas, bahkan beberapa sudah terorganisir. Nah, kalau mau serius memberantas korupsi, ya harus dibuat organisasi sekelas Kopkamtib. Dipimpin seseorang sekelas panglima, bersih, berwibawa dan tidak kenal takut. Kini kalau kita lihat, KPK itu justru memiliki kerawanan, tidak adanya perlindungan politis, bahkan nampaknya justru dimusuhi para politisi. Dalam RUU Tipikor, beberapa wewenang KPK, seperti wewenang penuntutan nampaknya juga akan dipangkas. Yah akhirnya kondisi akan "back to basic." Maksudnya, ketakutan terhadap pemberantasan korupsi akan berkurang bagi mereka-mereka itu.

Maka, begitu ketuanya Antasari Azhar yang demikian disegani tergelincir, atau mungkin digelincirkan  diwilayah "killing ground," beberapa pimpinan lain langsung ikut runtuh kredibilitasnya. Di era demokrasi masa kini, kalau kita memang benar-benar serius akan memberantas korupsi, beranikah kita membesarkan KPK, dibangun ulang institusi tersebut dengan pimpinan mirip Pang Kopkamtib, diberi kewenangan besar, personil yang memadai dari segi jumlah dan kualitas. Organisasi yang siap tempur.....Tetapi nampaknya akan sulit kan?.

Oleh karena itu, mari kita ikuti saja silang pendapat yang kini terjadi dengan sedikit senyum kecut. Nampaknya kita bisa merenungkan apa yang dikatakan Ketua MK. Menurut Mahfud, dua pendapat yang setuju ataupun tidak setuju dengan perppu penunjukan plt KPK memiliki itikad baik terhadap KPK. "Jadi, buktikan nanti, mana yang lebih tepat." Inilah bukti penerapan demokrasi liberal itu, apapun keputusan presiden sebaik dan sebersih apapun, bisa dikritisi dan dipermasalahkan...wajar saja sih. Kita berdoa saja, semoga KPK benar-benar tidak menjadi cicak yang hanya bisa mengejar nyamuk dan kutu didinding. Kasihan ya....! Maksudnya yang kasihan ya bangsa Indonesia itu.

PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana

Sumber: http://politik.kompasiana.com/2009/09/23/kontroversi-perppu-plt-kpk-wajar-saja-sih/ (Dibaca: 1921 kali)

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.