Noordin Hebat Karena Kita Sukanya Berdebat

1 September 2009 | 3:18 pm | Dilihat : 79

Serangan bom bunuh diri terasa demikian menjengkelkan, diawali terjadinya peristiwa peledakan bom di lima kota pada malam Natal Desember 2000. Setelah itu terjadi rangkaian serangan bom bunuh diri, di Bali 2002, dengan pelaku Iqbal alias Arnasan alias Lacong. Selanjutnya peristiwa Marriott 2003, Jakarta, dengan pelaku Asmar Latin Sani, Santri jebolan Ngruki 1995 yang meledakkan bom berikut dirinya sendiri. Bom selanjutnya dilakukan oleh Heri Golun, pelaku bom bunuh diri di Kedutaan Besar Australia, Kuningan, Jakarta Selatan, September 2004. Bom selanjutnya Cafe Manega, Jimbaran, Bali 1 Oktober 2005,anak penggarap ladang di Cilacap yang cuma berpendidikan sekolah dasar ini tewas dalam usia 23 tahun. Bersamaan dengan itu, Salik Firdaus seorang ustad yang mengajar di pesantren al-Mutaqien, Cirebon. meledakkan dirinya di Cafe Nyoman, Jimbaran, Bali 1 Oktober 2005. Serangan teranyar, Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, dibom  pada Jumat 17 Juli 2009. Pelaku pengeboman di hotel JW Marriot bernama Dani Dwi Permana (19), yang berdomisili di Perum Kahuripan, Parung, Bogor, Jawa Barat. Sedang pelaku pengeboman di hotel Ritz-Carlton bernama Nana Ikhwan Maulana (28) asal Pandeglang.

Pihak Polri menyatakan bahwa tokoh teroris yang sangat berperan atau dalang dalam beberapa serangan bom bunuh diri tersebut adalah Noordin M Top yang berkewarganegaraan Malaysia. Dia kini menjadi orang buruan Polri nomor satu. Kita semua merasa kesal, jengkel dan malu menerima kenyataan ini. Bangsa Indonesia sepakat mengatakan bahwa terorisme masuk kategori kejahatan luar biasa. Nah, karena masuk dalam kategori luar biasa, timbul pertanyaan apakah penanganannya juga luar biasa. Ini yang banyak diperdebatkan dan patut dipertanyakan.

Pada rapat kerja Komisi I DPR dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS Selasa (31/8/2009), nampak demikian serius dibahas masalah penanggulangan terorisme itu. Tidak main-main, Menko Polhukam didampingi beberapa pejabat teras bidang Pertahanan, Keamanan dan Hukum. Ada Kapolri, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Jaksa Agung serta beberapa pejabat terkait lainnya. Beberapa anggota Komisi I meminta revisi atau diamandemen UU No.15/2003, sehingga pelibatan TNI lebih jelas. Sebagian menilai bahwa dasar hukum pelibatan TNI menangani terorisme sudah cukup diatur dalam pasal 7 UU No.34/2004 tentang TNI soal Operasi Militer selain perang.

Ternyata kalau kita kembali meneliti masa lalu, perdebatan  UU No.15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sudah berlangsung sejak tahun 2003 hingga 2009 ini, bayangkan sudah enam tahun elit dan pejabat serta kekuatan politik berdebat terus tanpa ada jalan keluar, sementara Noordin dan kawan-kawannya terus berkiprah membom disana-sini. Pada saat itu pemerintah menyatakan akan meninjau kembali Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurut Menko Polkam  Susilo Bambang Yudhoyono Rabu (13/8/2003) revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 perlu dilakukan karena setelah diimplementasikan di lapangan, ditengarai, pemerintah belum cukup mempunyai otoritas untuk melakukan tindakan pencegahan aksi terorisme.

Menkopolkam  menegaskan, tidak ada pikiran pemerintah untuk memfotokopi atau menjiplak ISA Singapura dan Malaysia karena kondisi dan substansinya berbeda. Kerangka waktu ketika ISA itu diberlakukan juga berbeda dengan persoalan Indonesia saat ini. Yang harus dilihat kembali, kata SBY, adalah sebuah kewenangan/otoritas untuk melakukan deteksi dini/pencegahan aksi terorisme. Kalau ada laporan intelijen yang sahih bahwa sekelompok orang diduga kuat sedang merancang aksi terorisme, apa yang dapat dilakukan? "Hal-hal yang sejenis itu akan banyak nanti, bagaimana kita mencegah, mendeteksi, dan melakukan pemeriksaan awal. Sebab, klausul yang menyangkut intelijen hanya ada dalam Pasal 26, di mana penyidikan bisa menggunakan laporan intelijen. Diakui SBY, mengatasi terorisme memang tidak hanya dengan UU saja, melainkan perlu juga kapasitas, peralatan, sistem, organisasi, orang, dan biaya yang memadai. Selain itu juga perlu ada satu strategi dan konsep operasional di lapangan. Namun, itu semua harus merujuk pada aturan hukum. "Jadi, harus ada payung hukum. Itu yang tengah diupayakan pemerintah," katanya.

Sementara saat itu Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra Rabu (13/8/2003) kembali menegaskan bahwa Indonesia tidak mungkin kembali ke masa silam. Dia menilai ISA seperti yang ada di Malaysia dan Singapura mirip dengan UU Antisubversi yang pernah dimiliki Indonesia dan sekarang sudah dicabut. "Kalau dikatakan yang penting menangani secara serius peralatan dan personelnya, maka perangkat peraturan perundang-undangan adalah pekerjaan saya. Jadi, bidang saya akan saya tangani dan bereskan. Jadi, kita bekerja menurut bidang kita masing-masing. Seperti Departemen Pertahanan pada peralatan, sedangkan Mabes TNI dan Mabes Polri pada pembinaan personelnya. Kalau kita bekerja pada bidang masing-masing dengan baik, maka semuanya akan bersinergi untuk menghadapi masalah yang harus kita hadapi," ujarnya.

Sementara juga saat itu Mantan Menteri Pertahanan Mahfud MD mengatakan, gagasan ISA pertama kali muncul pada akhir Desember 2000. "Wacana ISA ini kemudian terhenti ketika muncul kasus Bulog, dan naik kembali ketika terjadi peristiwa bom Bali, yang memunculkan UU Antiterorisme," ujarnya. Meskipun demikian, Mahfud berpendapat, ISA tidak perlu dibuat. Hal penting sekarang justru membangun koordinasi yang baik antara TNI, Polri, dan aparat intelijen. "Sebenarnya, koordinasi antara aparat keamanan dan pertahanan yang lemah selama inilah yang perlu diperbaiki dan tidak perlu membuat aturan hukum baru. Saya yakin, UU yang ada sekarang pun belum dimanfaatkan secara maksimal," ujarnya.

Sementara Partai Keadilan (PK) Sejahtera dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) juga menolak ide pembuatan ISA. Mereka berpendapat, pembuatan ISA menandai totalitarianisme militer. "ISA atau Undang-Undang Antisubversi, atas nama dan dengan nama apa pun, harus ditolak seperti ketika kita menolak terorisme, baik dalam bidang kriminal maupun ekonomi yang mengatasnamakan apa pun," kata Presiden PK Sejahtera Hidayat Nurwahid Rabu (13/8/2003). "Hakikatnya, ISA sama saja dengan terorisme yang kita tolak itu, sebab ia sama-sama meneror kehidupan manusia yang punya komitmen terhadap kemerdekaan, demokratisasi, dan reformasi. Pemberlakuan ISA menandai totalitarianisme militer di Indonesia," tambah Hidayat.

Sebaliknya, Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil (alm) meminta semua pihak mendukung usulnya untuk membuat UU Keamanan Dalam Negeri atau ISA demi stabilitas keamanan yang diancam terorisme, gerakan separatis, subversif atau makar di Indonesia. Tanpa stabilitas keamanan, katanya, ekonomi rakyat akan hancur, dan rakyat pasti tidak akan percaya pada sistem demokrasi yang ada. "Saya berharap agar bapak-bapak yang belum setuju bisa merenungkan kembali dan akhirnya setuju terhadap rencana pembentukan ISA," kata Matori kepada wartawan di Kupang, Rabu (13/8/2003).

Itulah sebuah sejarah perjalanan bangsa ini dalam menangani masalah terorisme. Nampaknya Menhan Matori Abdul Djalil sangat faham yang dihadapinya siapa, sehingga beliau  yang mengusulkan perlunya UU Kamdagri. Kini, kita kembali ke tahun 2009, mengikuti rapat dengar pendapat antara Komisi I DPR (yang hampir selesai masa penugasannya) dengan jajaran Menkopolhukam. Ketua Komisi I DPR Theo Sambuaga mengakui, Badan Penanggulangan Terorisme Terpadu (BKPT) telah direkomendasikan Komisi I sejak tahun 2007, tetapi hingga kini tak ada realisasinya. Menko Widodo AS membantah bahwa pembentukan badan itu terkatung-katung sejak 2005. Surat Menko Polhukam Nomor. R/05/MenkoPolhukam/2/2005 tanggal 1 Februari 2005 yang ditujukan kepada Presiden telah memuat soal rancangan peraturan presiden terkait BKPT. Kemudian, pada 28 Februari 2005, Sekkab telah mengirimkan surat kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia terkait rancangan peraturan presiden tentang BKPT. Namun hingga kini usulan tersebut tidak terealisasi (Kompas,1/10).

Dari beberapa fakta diatas, kita bisa membayangkan, bahwa dalam mengatasi dan menanggulangi  masalah terorisme yang disebut sebagai kejahatan luar biasa dinegeri tercinta ini, diskusi sudah berlangsung selama enam tahun belum juga selesai. Kita menjadi khawatir dalam melaksanakan sistem demokrasi masa kini, disatu sisi aparat masih dicarikan  payung hukum yang pas, dilain sisi ancaman teror teror berlangsung. Pembinaan mereka terhadap kader yang mau mati dengan bomnya terus berjalan dan makin canggih, sementara aparat yang melakukan "counter" tidak berdaya dengan tekanan politis dan jepitan masalah Undang-undang tadi.

Sebetulnya saat Presiden SBY mendapat brevet Komando Kopassus beberapa waktu lalu, sudah jelas menegaskan bahwa dengan UU No.34/2004 TNI bisa digerakkan. Tetapi dari hasil Rapat Dengar pendapat diatas, kita menjadi kembali pesimis, ada yang menyangkut di Depkumham dalam menangulangi teror. Tidak jelas yang diputuskan apa, mau melakukan revisi UU atau membentuk BKPT. Kini tak terbayangkan bagaimana masalah ini akan terselesaikan dengan cepat. Komisi I DPR RI tanggal 1 Oktober sudah berganti orang, menteri-menteri KIB setelah pelantikan 20 Oktober juga akan lengser dan berganti . Pasti masih butuh waktu, entah berapa lama lagi untuk mensinkronkan kerja antara legislatif dan eksekutif itu, khususnya dalam menangani masalah terorisme.

Penulis teringat, ada penanggap disalah satu tulisan tentang ributnya kita dengan Malaysia akhir-akhir ini, dia mengatakan "Bagaimana Indonesia, berani-beraninya  mau perang dengan Malaysia?. Menghadapi satu orang Malaysia yang bernama Noordin M Top saja tidak berdaya." Benar juga ya?. Kalau ingin melumpuhkan Noordin dan jaringannya ya mesti berhenti berdebat bukan?. Kalau tetap berdebat...ya dia akan semakin hebat, dan...Rakyat hanya bisa berdoa, semoga kalau ada bom meledak kita dan keluarga dijauhkan dari tempat itu. Apa iya menangani bom cukup hanya dengan doa? Kata guru saya dulu "Man proposes, but God disposes." Proposesnya itu ya bentuknya adalah  ketegasan, dengan memainkan "troef" TNI.

PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana

Sumber: http://umum.kompasiana.com/2009/09/01/noordin-hebat-karena-kita-sukanya-berdebat/ (Dibaca: 2598 kali)

This entry was posted in Hankam. Bookmark the permalink.