Golkar Sebaiknya Bertanya

29 August 2009 | 1:23 am | Dilihat : 127

Pada suatu hari dipagi yang dingin dikaki gunung Papandayan, penulis yang sedang liburan, duduk diwarung menghirup kopi hangat, ditemani oncom goreng, aduh nikmatnya dunia ini. Tak lama kemudian munculah serombongan ibu-ibu Majelis Taklim. Kebetulan saat itu Indonesia baru saja selesai melaksanakan pemilu di era reformasi 1999. Singkat kata, terjadilah obrolan santai. Ada satu obrolan yang menarik untuk disimak, saat penulis menanyakan kepada-ibu ibu tadi. Penulis bertanya "Ibu-ibu kemarin pemilu milih apa ya?" Salah seorang ibu itu, nampaknya seperti Ustadzah menjawab singkat "Ya Golkar atuh pak." Penulis kembali bertanya "Kenapa Golkar bu, kan sekarang jaman reformasi, banyak partai?". Dengan santainya ibu tadi menjawab "Lah, atuh Golkar kan yang pasang listrik disini"....mantap sekali jawaban Ibu tadi. Inilah sebenarnya impian jawaban dari konstituen yang diharapkan parpol, apapun platformnya bukan?.

Sekarang kita mundur sejenak ke dekade 60-an, dimana saat itu PKI begitu agresif, ambisius sampai berani membentuk Angkatan Kelima, petani yang dipersenjatai. Mereka dengan yakin melakukan kudeta G30S/PKI. Namanya niat buruk, jelas tidak di ridhoi Allah Swt. Kudeta PKI dilibas habis dan kemudian Orde Baru sebagai musuh bebuyutan PKI mengeluarkan surat bebas G30S sebagai salah satu syarat sosial bagi masyarakat untuk mengurus berbagai kepentingan.

Sejak 1967 hingga 1997, maka giliran Golkar berkuasa, sebagai "single majority." Otomatis disetiap pemilu Golkar selalu merajai, menang telak. Sebagai konsekuensi politiknya, Golkar juga mempunyai banyak musuh. Puncak perseteruan terjadi pada saat terjadinya arus puncak reformasi ditahun 1998. Ditengah suasana eforia saat itu, beredar sebuah isu santer, intinya akan timbul upaya  balas dendam. Kalau saat itu terlaksana, Golkar berhasil dihabisi, dibubarkan, maka sejarah akan berulang. Kelompok Reformis mungkin akan mengeluarkan Surat Bebas Golkar sebagai syarat sosial untuk mengurus berbagai kepentingan hidup, seperti syarat kerja, mencari sekolah, menikah. Memang suasananya dirasakan agak mengerikan bagi semua pimpinan Golkar (Golongan asli G). Mereka panas dingin, apalagi setelah dua kekuatan Golkar lainnya, jalur A dan B karena kondisi politik yang tidak memungkinkan, akhirnya memisahkan diri.

Sekarang, apa hubungannya anrtara Ibu-ibu di kaki Papandayan tadi dengan Surat bebas G30S/PKI dan kecemasan pucuk pimpinan Golkar diawal reformasi ?. PKI, dengan faham komunisme akan menghalalkan cara untuk mencapai tujuan, ini sangat jelas, bagi mereka yang tidak memiliki unsur ke-Tuhan-an, memang dinilai pantas untuk dilibas. Nah, Golkar jelas bertolak belakang. Golkar memiliki tiga jalur kekuatan, yaitu A, B dan G, yang mana selama ini ketiganya dikemas dengan baik. Masyarakat hanya mengenalnya dengan produk yang bernama Golkar itu.

Lepas dari ekses-ekses yang lepas kendali, pada prinsipnya ketiga jalur ini memiliki unsur ke-Tuhan-an yang cukup kental. Unsur inilah yang menjadi generator bagi langkah-langkah aksi berikutnya, seperti pembangunan bangsa dan negara secara keseluruhan. Suka atau tidak suka, banyak hal positif yang dihasilkan Golkar, seperti program listrik masuk desa, swasembada pangan, posyandu, keluarga berencana dan lain-lainnya. Program-program tersebut adalah hasil nyata dan manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat.  Jadi, sebenarnya pucuk pimpinan Golkar saat eforia reformasi seharusnya tidak perlu paranoid, tidak usah takut dihujat, tidak perlu dag dig dug, takut dimasukkan penjara.

Ditengah hingar bingarnya reformasi dan kekisruhan Golkar, munculah Akbar Tanjung,  sosok politisi tulen, yang memulai karirnya di HMI pada dekade 60. Bang Akbar begitu biasa dia dipanggil, menduduki jabatan sebagai Ketua Umum Golkar  (1998-2004). Abang yang satu ini faham betul kalau saat itu banyak elit Golkar yang dijadikan "Target Operasi" oleh masyarakat, sebagai ulah mereka di era orde baru. Sebagai politisi berpengalaman, dia faham bahwa kekuatan Golkar terletak di masyarakat, khususnya lapisan menengah kebawah. Matematikanya simpel sekali, saat masih bertiga dengan jalur ABG, Golkar selalu memang mutlak dengan perolehan suara antara 60-70%, nah kalau tinggal sendiri ya tinggal dibagi tiga, artinya berkisar diangka 20%. Dan ini terbukti pada pemilu 1999 Golkar masih dipilih oleh 22,4% dan pada pemilu 2004 mendapat 21,58%.

Tetapi untuk mencapai hasil ini tidaklah mudah, karena konsentrasi konstituennya berada pada golongan menengah kebawah. Kalau diperhatikan dengan teliti, ditengah kesibukannya sejak menjabat sebagai Mensesneg (1998-1999) di era Presiden Habibie hingga saat menjabat sebagai  Ketua DPR-RI (1999-2004), Akbar Tanjung terus bertawaf keseluruh pimpinan daerah, cabang, ranting Partai Golkar dari Aceh hingga Papua. Bang Akbar menyerap aspirasi rakyat dan mengolahnya hingga muncul dengan konsep kampanyenya "Win The Heart of The People." Akbar berhasil memberdayakan kembali potensi-potensi lama Golkar seperti Ibu-ibu dikaki Gunung Papandaian dan kalangan akar rumput lainnya. Boleh  dikatakan, Ketua Umum atau elit parpol harusnya seperti ini, bukan hanya bisa muncul diberbagai acara dan wawancara TV, seminar, komunitas sosialite atau bersuara keras di DPR, namun dilain sisi tokoh itu tidak dikenal oleh konstituennya.

Apa yang terjadi pada Golkar sejak 2004 sampai sekarang?. Kalau kita keliling kedaerah-daerah, nampaknya aktivitas Golkar sudah seperti lahar yang mendingin. Demikian juga dengan frekuensi penampakan Golkar yang menurun di media massa. Yang merugikan, event-event Golkar selalu di dominasi para elit yang itu-itu saja. Mereka terkenal di Jakarta, tetapi asing dimata para konstituennya didaerah. Walhasil, ya bisa dimaklumi kalau pada pemilu 2009 Golkar hanya dapat menangguk 14,45% saja.

Kini, bagaimana kira-kira kondisi Golkar nanti setelah Munas 2009?. Kondisi Golkar saat ini jauh lebih sulit ketimbang saat reformasi 1998. Saat itu, meskipun Golkar dihujat kanan kiri, atas bawah, namun hasil perolehan Golkar pada periode-periode sebelumnya, yang merupakan modal besarnya masih lekat dibenak rakyat, seperti apa yang diungkapkan Ibu-ibu Majelis Taklim tadi.  Saat itu tokoh Golkar Akbar Tanjung berhasil menjahit kembali romantisme Golkar melalui tawafnya yang tak kenal lelah. Karena itu walau kondisinya tertekan, Akbar akhirnya mampu mempertahankan Golkar sebagai partai papan atas.

Yang kini merepotkan Golkar, nampaknya fokusnya yang di kalangan menengah kebawah itu. Sebagian konsentrasi konstituen partai ini sudah terpecah-pecah, bahkan ada kader dan simpatisannya yang tercerai berai, tersedot ke ladang partai lain. Banyak kadernya yang lupa dengan Golkar, tidak peduli atau bahkan membelot. Kini, modal awalnya yang  sebesar 14% belum dapat dijadikan patokan yang kukuh, saat pilpres kemarin modal itu bahkan nampak semakin merosot  turun ke level 12%. Hal ini bisa terjadi karena disebabkan efek dalam atau efek luar.

Kini, timbul pertanyaan, apakah  Golkar akan mampu bangkit dan berjaya kembali pada 2014, atau semakin terpuruk?. Siapapun Ketua Umum yang nanti terpilih, diperkirakan akan sulit dan berat untuk mengangkat kembali derajat Golkar dimata konstituennya seperti masa lalu. Yang harus difahami para elit partai, adalah kondisi yang sedang berlaku, dengan cara mempelajari informasi dasar pada pemilu 1999, 2004 serta pemilu 2009. Untuk kembali berjaya, salah satu upaya yang harus dilakukan adalah melaksanakan "relaunch," memang akan banyak biaya dibutuhkan untuk itu.  Namun ada satu hal yang harus diingat oleh siapapun kandidat yang ingin maju sebagai Ketua Umum di Munas Oktober nanti...berdiskusilah dengan Bang Akbar Tanjung, tokoh yang sangat faham tentang Golkar, khususnya pada saat-saat kritis. Dialah kuncinya. Semoga bermanfaat.

Catatan : "Penulis tidak mengenal Bang Akbar  Tanjung secara pribadi, semua hanya berdasarkan   pengamatan, penelitian dan spotting."

PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana

Sumber:http://politik.kompasiana.com/2009/08/29/golkar-sebaiknya-bertanya// (Dibaca: 1058 kali)

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.