Intelijen Bertawaf (Season-2)

11 August 2009 | 12:17 am | Dilihat : 105

Sebagai kelanjutan dari Intelijen Bertawaf Season-1, adik penulis tertarik dengan informasi dan ulasan yang terdapat dalam artikel tersebut. Saat penulis akan mengulas season-2, dia memberikan pandangan melihat ancaman dan  intelijen dari kacamata bisnis. Akhirnya jadilah artikel ini, yang mempunyai kekuatan dan pandangan dari sisi intelijen dan bisnis itu. Kebetulan, saat artikel ini dibuat, kita baru saja menyaksikan penyergapan Densus-88 di Kedu. Istilah penyergapan, sangat tepat sesuai pendapat dari DR. AM Hendropriono. Penulis sebagai anak yang tumbuh di Kemayoran, memang melihat kata penggerebekan, muatannya sangat ringan, konotasinya sangat jadul  dan kacangan, yaitu kita membayangkan  penggerebekan  judi koprok, adu ayam dan sebagainya. Memang lebih mantap dan pas kalau dipergunakan kata penyergapan saja.

Penyergapan memiliki makna yang sangat kompleks, mencakup banyak sekali proses. Sejak pengumpulan bahan keterangan, analisa, konfirmasi tujuan, rencana operasi seperti pemilihan pasukan, teknik, taktik, logistik pendukung dan lain sebagainya. Secara otomatis, sebuah operasi yang bersifat militer tentunya harus dilengkapi beberapa opsi untuk mengantisipasi kondisi yang tak terduga yang berkembang dilapangan.

Dalam konteks penyergapan, kembali fungsi intelijen merupakan proses pertama yang harus dilakukan sebelum rencana operasi dibuat. Konsekuensinya sangat sederhana. Kesalahan intelijen akan menjamin 100 persen kegagalan sebuah operasi. “Garbage in, garbage out” istilahnya. Kesalahan, kekeliruan atau miskalkulasi intelijen sangatlah lumrah, namanya juga manusia. Bukan saja di Indonesia, bahkan kerap terjadi dimanapun, bahkan juga terjadi di AS. Dalam operasi pembebasan sandera yang dilakukan militer Amerika di Granada di awal dekade 80, Operation Urgent Fury, berbagai kesalahan fatal timbul diawal penyerbuan. Bisa dibayangkan pasukan khusus sekelas Navy Seals dan Delta Force terpaksa harus terjun sebagai ‘advance team’ dengan menggunakan peta turis.

Ini disebabkan  karena minimnya data intelijen tentang peta dan kekuatan musuh. Hal inilah yang mengakibatkan kemudian jatuhnya korban sia-sia dari korps pasukan elite tersebut yang salah mendarat, sehingga tidak bisa memberikan informasi akurat kepada pasukan induk. Situasi awal tersebut dinilai cukup amburadul bagi sebuah operasi militer Amerika terbesar setelah perang Vietnam. Berdasarkan pengalaman ini plus kegagalan penyelamatan sandera Amerika di Iran, ‘Operation Eagle Claw’, Markas Besar Pentagon kemudian membentuk “Special Operation Command” (USSOCOM) yang berfungsi sebagai  Komando, Kendali dan Koordinasi bagi operasi-operasi militer selanjutnya.

Nah bagaimana Indonesia? Sebelum kita menganalisa lebih lanjut, kita definisikan dahulu Noordin M Top dan segala jaringan terorisnya. Apakah mereka hanya musuh polisi, atau musuh TNI atau musuh kita bersama? Yang jelas, mereka musuh Bangsa Indonesia, karena yang menjadi korban sebagian besar ya rakyat Indonesia dan yang paling dirugikan juga kepentingan bangsa Indonesia.

Kondisi politik Indonesia, sebagai bagian dari alam semesta, juga sedang bertawaf. Sejak reformasi 1998, semua aturan dan sistem ikut bertawaf. Polisi dan TNI dipisahkan. Otonomi daerah dijalankan. Ini memang tuntutan globalisasi. Bukan pemisahannya yang menjadi isu disini, tetapi yang harus dipikirkan adalah waktu dan kesiapan kita semua dalam menghadapi perubahan ini. Secara alamiah semua memerlukan proses dan Allah SWT memberi banyak contoh. Tuhan Yang Maha Kuasa saja, menciptakan alam semesta dalam enam hitungan masa. Jadi janganlah kita berharap, bisa membuat perubahan drastis dalam lima tahun, apalagi kurang dari itu.

Kombinasi sistem, aturan ber-azas kebebasan dan sering berubah-ubah plus diawaki manusia yang pada dasarnya memiliki sifat ego, menjadi ‘golden opportunity’ bagi keluarga besar teroris, koruptor dan konspirasi jahat lainnya. Dilain sisi, kompetisi global memaksa kita untuk jeli bila ingin selamat. Selamat dalam artian keamanan, ketertiban, ekonomi, sosial, budaya dan yang tak boleh dilupakan juga adalah moral dan mental. Ditengah situasi ini, ada dua kata kunci untuk selamat yaitu ‘efektif dan efisien.'  Dalam dunia bisnis, kunci-kunci ini dikenal sebagai 'Efficient Consumer Response'  (ECR). Yang maknanya kurang lebih, proses produksi sebuah produk dibuat secara efisien, untuk menghasikan produk berkualitas yang kompetitif, sehingga konsumen akan merespons alias membeli.

Nah sekarang, bagaimana kondisi intelijen Indonesia? Indonesia memiliki jaringan intelijen dibanyak instansi seperti BIN, TNI (Bais TNI dan Dispam di ketiga matra), Polri, Kejaksaan, Kehakiman, Depdagri dan sebagainya. Begitu pula kita memiliki banyak unit-unit pemukul berkualifikasi anti teror seperti Gultor, Denjaka, Den Bravo, Densus-88, Kopaska, Taifib, Tontaipur,  Raider dan sebagainya. Kita semua sudah menjadi korban teror. Noordin M Top dan kelompoknya  adalah musuh bersama. Mari kita hadapi bersama, lupakan ego. Yang menjadi isu, bagaimana mengatur bermacam intelijen ini. Secara organisatoris, ada Kementerian Polhukam yang mengkoordinasikan dan menjadi muara para instansi intelijen. Disana sudah ada “Desk Anti Teror.”

Kalau di bisnis, ada ECR (Efficient Consumer Response), maka sudah saatnya, intelijen Indonesia mengikuti irama tawaf, dengan pola EEED (Efficient, Effective, Enemy Down). Dengan EEED ancaman bukan saja mudah dideteksi tapi juga gampang dilumpuhkan. Tetapi sekarang, siapakah yang harus ‘pro-aktif’? Karena Ibu penulis berasal dari Jawa Tengah, penulis hanya bisa mengatakan; “Monggo dipresani rumiyin”.

PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana

Sumber : http://umum.kompasiana.com/2009/08/11/intelijen-bertawaf-season-2/(Dibaca: 1403 kali)

This entry was posted in Umum. Bookmark the permalink.