PDIP Yang Semakin Melorot
30 July 2009 | 3:45 pm | Dilihat : 98
Dalam mengamati sebuah partai politik, kita tidak bisa melepaskan begitu saja informasi dasar dan fakta-fakta masa lalu dari partai tersebut. Penulis mencoba mengamati PDIP setelah pemilu legislatif 2009, membandingkannya dengan hasil pemilu 1999 dan 2004. Dari data perolehan suara sejak tahun 1999, nampak dengan jelas perolehan suara PDIP dalam sepuluh tahun terakhir mengalami kemerosotan yang sangat serius. Pada pemilu 1999 dalam suasana euphoria reformasi, PDIP dipilih oleh 35.689.073 pemilih (33,74%). Pada pemilu 2004 PDIP dipilih oleh 21.026.629 konstituen (18,53%) dan pada pemilu 2009, partai wong cilik ini hanya dipilih oleh 14.600.091 pemilih (14,03%). Kalau dihitung dari prosentase maka antara pemilu 1999 ke 2004, PDIP mengalami penurunan 15,21% dan dari pemilu 2004 ke 2009 kembali mengalami penurunan perolehan suara sebanyak 4,5%. Jelas ini bukan angka yang kecil dalam sebuah pemilihan umum.
Penurunan 15,21% yang terjadi diantara pemilu 1999-2004 justru terjadi dimana saat itu Megawati menjadi presiden penerus, setelah Abdurachman Wahid (Gus Dur) diturunkan oleh DPR. Waktu yang 3 tahun lebih dalam pemerintahannya ternyata kurang bisa dimanfaatkan untuk kemajuan parpolnya, bahkan menyebabkan runtuhnya kepercayaan konstituen baik kepada Mega maupun PDIP. Apakah ini disebabkan karena kekeliruan dalam pengelolaan kader dan simpatisan? Atau turunnya ikatan antara patron dengan grass root? Inilah yang sebaiknya perlu diteliti lebih lanjut oleh elit parpolnya. Kelemahan kader sudah terlihat sejak pilpres 1999. Penulis pernah membahas masalah ini dengan politisi tangguh Matori Abdul Djalil (Alm), dimana sebagai partai yang sangat kuat saat itu dengan 153 kursi di parleman, PDIP tidak berdaya dan dikalahkan oleh Gus Dur yang di dukung Amin Rais Cs. Kemudian dengan keberanian Pak Matori yang akhirnya mengundang petaka baginya, Mega bisa menjadi Wapres setelah di calonkan oleh PKB yang diwakili oleh almarhum. Ini adalah sebuah gambaran riil tentang kondisi PDIP saat itu, politisinya dianggap kurang "jago" memainkan power dan lemah dalam berpolitik dan bernegosiasi.
Hal serupa juga terjadi pada era 2004-2009, dimana PDIP yang kemudian menjadi partai yang berseberangan dengan pemerintah, ditinggalkan oleh beberapa elitnya yang sebelumnya menjadi "back bone" dari Mega. Pada pemilu 2009, PDIP hanya dipilih oleh 14.600.091 pemilih (14,03%), berada di tiga besar dibawah Partai Demokrat dan Golkar. Sementara partai sempalan mantan pentolan PDIP, yang dimotori Laksamana Sukardi dan Roy BB Yanis, PDP (Partai Demokrasi Pembaruan) hanya memperoleh 896.660 suara (0,86%), dan dinyatakan tidak lolos parliamentary threshold yang 2,5%.
Nah, dari fakta-fakta tersebut, memang kini PDIP mengalami kemerosotan yang signifikan. Seperti kita tahu, hingga kini PDIP masih kental dengan atributnya 'wong cilik.' Lihat saja, deklarasi capres dan cawapresnya saja dilakukan ditempat pembuangan sampah Bantar Gebang. "Opo tumon?", kata Mbah Surip. Kemudian dalam beberapa perhelatan partai, kata 'merdeka' nampaknya selalu menjadi identitas yang menyatu. Salah atau benarkah konsep kombinasi wong cilik dan merdeka ini?. Dalam dunia komunikasi periklanan, banyak hal yang bersifat sangat subyektif. Tidak ada istilah salah dan benar yang berkaitan dengan hal ini. Yang terlihat adalah hasil nyata, sebagai hasil perpaduan elemen-elemen ini. Melorot, itulah jawabannya. Pada saat dinamisme masyarakat sangat progresif dalam satu dekade terakhir menuju kedepan, PDIP masih bermain dengan istilah wong cilik (identik dengan kesusahan) dan kata merdeka (secara momentum sudah lewat). Kalau dihubung-hubungkan maka strategi dasar dengan tagline ini perlu ditinjau kembali, karena sudah tidak lagi relevan dengan "basic need dan trend" saat ini.
Jadi bagaimana kedepan?. Kalau diamati, dari sembilan parpol yang lolos dari sergapan parliamentary threshold yang 2,5%, hanya dua yang mampu menaikkan prosentase perolehan suara dibandingkan Pemilu 2004, yaitu Partai Demokrat dan PKS. Partai Demokrat yang dikelola dengan cara dan strategi modern, tetap mengedepankan SBY sebagai patron pengikat, sementara PKS mengandalkan kader muda, mengaktifkan mesin partai dan membangun militansi dikalangan kader dengan dakwah. Sementara lima parpol lama mengalami kemerosotan dan dua parpol baru berada diposisi bawah dari parpol papan tengah.
Kini, dalam mempersiapkan pemilu mendatang, PDIP harus memilih, akan tetap mengandalkan patron yang sementara ini masih di kuasai Mega ataukah kembali me-"restart" mesin partai. Nampaknya memainkan kartu patron sudah tidak mungkin, karena Mega telah dua kali kalah, dan lagipula pada 2014 nanti apabila akan maju kembali, dinilai sudah terlalu berumur. Peluang terbaiknya mungkin kembali menghidupkan mesin partai, dilakukan "major over haul" engine, mengganti ban yang sudah gundul, menjahit jok yang sobek, mengecat body yang sudah kusam. Dengan demikian kader dan simpatisan akan kembali memiliki semangat yang menggelora melihat kendaraannya kembali kinclong.
Yang perlu disadari, bahwa trend politik masa kini sebagian besar sudah menjadi milik orang muda. Tanpa disadari, reformasi ini telah merangsang kaum muda menjadi lebih dinamis, lebih pintar dan bersemangat. PDIP apabila masih ingin eksis di papan atas, sebaiknya memberi kesempatan kepada kadernya yang berbakat untuk duduk mengelola partai, biarlah yang tua-tua menjadi pembimbing dan penasehat, dengan Megawati sebagai pengayom saja. Berpolitik dimasa kini dan bahkan pada masa mendatang membutuhkan 'skill' tersendiri. Dengan gaya lama dan pemikiran lama, nampaknya siapapun tidak akan mampu menaikkan peringkat PDIP seperti semula. Kini sudah jaman hand phone, bahkan blackberry, sulit apabila konstituen diajak kembali ke era pager. Kasih kesempatan... Begitu bukan ?.
PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana
Sumber: http://politik.kompasiana.com/2009/07/30/pdip-yang-semakin-melorot/ (Dibaca: 1869 kali)