Masih Mungkinkah SBY Kalah?

25 April 2009 | 11:57 am | Dilihat : 83

Dunia perpolitikan di Indonesia minggu terakhir ini disesaki dengan berita koalisi yang belum juga jelas. Partai Demokrat yang akan mengantongi kira-kira 20,6 % suara kini menjadi "leader", parpol terbesar, menaklukkan dua partai papan atas PDIP dan Golkar. Elektabilitas SBY sebagai Capres juga duduk pada peringkat teratas dibandingkan para pesaingnya Mega, Prabowo, Sri Sultan, Wiranto, Jusuf Kalla. Dengan kedudukan ini maka Partai Demokrat, khususnya SBY telah menjelma menjadi Raksasa Politik yang mampu mengatur parpol lainnya. Tak kurang Golkar-pun tak berdaya saat datang dan menawarkan opsi koalisi dan cawapres. Partai Demokrat "keukeuh" meminta tiga calon, yang tidak cocok dengan keinginan Golkar.

Maka tim lobi Golkar yang hebat, Prof. Muladi (Gubernur Lemhannas) , Andi Matalata (Menkumham) serta Letjen Purn Sumarsono (Sekjen Golkar) menghentikan pembicaraan, menyatakan pembicaraan "dead lock". DPP Golkar akhirnya menyimpulkan  bahwa mengemis menjadi cawapresnya SBY adalah jalan menuju bunuh diri. Memaksakan merapat  kepada yang berkuasa  akan menghilangkan  kehormatan dan harga diri. Memilih pragmatisme akan membuat kader dan sipatisannya  semakin tidak percaya dan itu akan membawa kehancuran bagi Golkar pada 2014.

Pengurus DPP Golkar karena dijepit waktu, keesokan harinya harus melaksanakan Rapimnasus, memutuskan menarik diri dari koalisi dengan Demokrat. Akhirnya Rapimnasus sepakat memutuskan mencalonkan JK menjadi capres dan memberi mandat kepada JK untuk melakukan pembicaraan dengan partai lainnya untuk berkoalisi. JK kemudian melakukan pertemuan dengan elit PDIP dan  Megawati. Keduanya sepakat akan membentuk pemerintahan yang kuat. Rencana koalisi kedua parpol besar masih terganjal dengan pengaturan posisi capres. Dilain sisi PDIP telah melakukan pembicaraan koalisi dengan Gerindra dan Hanura. Sebelum JK merapat, kediaman Megawati di Teuku Umar menjadi posko dari beberapa tokoh dan parpol nasionalis dalam menuntut amburadulnya pemilu legislatif khususnya DPT. Tidak kurang muncul tokoh nasional Prabowo, Wiranto, Gus Dur, Rizal Ramli, Sutiyoso serta 14 Ketua partai yang tidak lolos parliamentary threshold.

Posko tambah semarak dengan datangnya 20 purnawirawan Jenderal yang mendukung tuntutan pembenahan DPT. Publik kemudian mempertanyakan, ada apa ini? Apakah sedemikian besarnya kelompok yang berseberangan dengan SBY?.  SBY kemungkinan hanya akan didukung PKB, PKS dan mungkin PAN. Sementara PPP kemungkinan akan mengikuti arah Prabowo. Kekuatan blok Teuku Umar dinilai merupakan kekuatan luar biasa dari sebuah koalisi besar apabila pada akhirnya nanti Golkar bersatu dengan PDIP, Gerindra, Hanura dan kemungkinan PPP.

Bagaimana kira-kira nanti peta pilpres?. Banyak beredar pandangan komposisi koalisi, JK tetap maju sebagai capres, Mega maju sebagai capres, Prabowo dan Wiranto sebagai cawapres. Kedua purnawirawan Jenderal tersebut penting ditampilkan mendampingi kedua capres untuk mengimbangi SBY yang juga Jenderal. Apabila salah satu kubu kalah dan kubu lainnya maju ke putaran kedua, kubu yang kalah akan merapatkan barisan, menyatukan diri. Skenario yang sulit adalah bagaimana apabila sejak awal keempat partai nasionalis tersebut bersatu. Apakah presidennya Mega atau JK?. Ada sebuah skenario mengejutkan, capresnya Prabowo, cawapresnya JK, Megawati mundur dan meyerahkan gerbong PDIP kepada pasangan ini. Hingga saat ini nampaknya belum ditentukan formulasi terbaik dari koalisi tersebut. Apabila target PDIP dan Golkar akan memenangkan persaingan dengan SBY, maka peluang terbesar dengan melakukan langkah "berani" yang tidak diduga lawan, disebut dengan teori "daya kejut".

Bagaimana peluang kemenangan antara kubu SBY apabila dihadapkan dengan kubu Prabowo plus kubu Teuku Umar?. Kalau kita meneliti pelaksanaan pemilu presiden 2004, kemenangan pilpres banyak ditentukan oleh "figur". Saat itu konstituen membutuhkan pemimpin, yang muncul adalah Megawati, SBY, Wiranto, Hamzah Haz dan Amin Rais. Ternyata yang maju keputaran kedua adalah Mega sebagai incumbent dan SBY. Amin Rais sebagai tokoh besar reformasipun tidak berdaya, Wiranto berada pada posisi ketiga, figurnya dikalahkan oleh SBY. Pada putaran kedua SBY dinilai sebagai figur pemimpin yang tepat, jenderal, performance sempurna, kemudian terpilih sebagai presiden.

Kini kembali "figur" SBY nampaknya mampu membius lebih dari  50% konstituen. Bahkan simpatisan beberapa partai lawan politiknya menurut survei juga berpaling padanya. Apabila Mega atau JK yang maju melawan SBY, kemungkinan besar akan dikalahkan oleh SBY. Keduanya adalah tokoh lama dibawah SBY. Peluangnya mungkin hanya dimiliki oleh Prabowo, tokoh baru, lebih netral ke Golkar dan PDIP, memiliki konsep perbaikan perekonomian rakyat dan mempunyai kemampuan memotivasi rasa nasionalisme kebangsaan. Prabowo memiliki konsep perubahan yang lebih jelas. Disamping itu juga dukungan dananya sangat besar. Apabila PDIP, Golkar, dan Hanura bersatu dan secara penuh mendukungnya, maka sosok Prabowo harus diwaspadai oleh SBY. Direktur LSI Denny JA mengatakan bahwa "Demokrat lebih unggul di citra partai dan BLT. Tapi, PDI Perjuangan dan Golkar unggul di mesin lokal dan mampu meminimalkan golput di basisnya."

Memang apabila diukur dari elektabilitas, SBY akan sulit dikalahkan oleh siapapun. Akan tetapi kini nampaknya pertarungan dalam pilpres akan sangat tergantung kepada tiga hal yaitu elektabilitas figur, konsep dari koalisi tentang masa depan negara serta kemampuan meraih swing voter atau meminimalkan golput dibasisnya masing-masing. Walaupun kini elektabilitas SBY tertinggi, apabila konsepnya kalah oleh konsep ekonomi Blok Teuku Umar serta kemampuan menarik hati swing voters-nya lemah, SBY masih berpeluang untuk dikalahkan.

Kebesaran nama SBY yang berubah dari "anak kecil" menjadi raksasa politik, harus dijaga secara hati-hati oleh elit Demokrat yang kadang suka salah omong. Jangan sampai nanti SBY dinilai besar seperti "Rahwana" yang akan diantipati oleh konstituen. Biarkanlah dia tetap menjadi figur Batara Wisnu, tokoh kebaikan, santun, tetapi yang bisa berubah menjadi Raksasa sakti apabila dibutuhkan untuk membela kebenaran. Inilah tugas berat dari para elit Partai Demokrat. Terakhir, manusia harus berusaha tetapi Tuhan yang akan menentukan, karena itu jangan lupa kita harus banyak berdoa. Demikian sedikit sumbang pendapat dari  "Old Indie Blogger", semoga ada manfaatnya. Maaf kalau ada kekurangan.

PRAYITNO RAMELAN, Guest BLogger Kompasiana

Sumber : http://umum.kompasiana.com/2009/04/25/masih-mungkinkah-sby-kalah/(Dibaca: 4275 kali)

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.