Siapa Capres Dari Partai Golkar ?
7 December 2008 | 10:44 pm | Dilihat : 358
Hingga kini banyak masyarakat yang selalu bertanya siapa calon presiden dari Golkar, belum ada jawaban pasti terhadap hal yang satu ini. Sementara ini kelihatannya ada dua pendapat diinternal Golkar, Golkar mengajukan capres dan Golkar tetap melanjutkan berkoalisi dengan SBY. Hal yang pasti Golkar baru akan menentukan capresnya hingga selesainya pelaksanaan pemilu legislatif 2009. Kasus ini cukup menarik untuk dibahas karena Partai Golkar adalah peraih suara terbanyak pada pemilu 2004, menguasai 128 kursi dari 550 kursi di parlemen, tetapi kini belum mempunyai tokoh unggulan capres.
Ada berita yang menarik dari kota Balikpapan pada tanggal 7 Desember 2008 lalu, pada acara silaturahmi DPD Golkar Kalimantan Timur dengan Dewan Penasehat Partai Golkar Surya Paloh. Bang Sur (Surya Paloh) menegaskan bahwa Golkar tidak akan menggelar konvensi. Dikatakannya tidak digelarnya konvensi untuk menghindari perpecahan di tubuh Golkar yang justru akan merugikan. "Dari pengalaman tahun 2004 kemarin, konvensi ini berpotensi memicu perpecahan, ini yang harus dihindari" katanya.
Dengan dihapusnya konvensi, kata dia, tidak menutup kemungkinan bagi Golkar untuk mengusung Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla sebagai calon presiden tunggal. "Semua kemungkinan bisa terjadi, termasuk soal Pak Jusuf kalla sebagai capres, apalagi dia Ketua Umum," katanya. Golkar juga akan mencari formula dan sistem lain untuk penjaringan calon presiden agar aspirasi kader bisa terserap dan terakomodir. Metode survei dan skoring dapat digunakan terhadap kader yang berminat maju. Tokoh-tokoh yang akan masuk bursa Capres Golkar dalam survei tersebut tidak hanya untuk kader internal tetapi juga untuk tokoh diluar partai. "Tidak menutup kemungkinan kita usung tokoh non kader, makanya kita lihat hasil pemilu legislatif dulu," kata Surya Paloh.
Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Sumarsono menyatakan, penentuan capres harus melalui berbagai pertimbangan. Golkar banyak belajar dari pengalaman pemilihan umum kepala daerah (pilkada) di sejumlah daerah. “Banyak kader internal justru kalah di pilkada karena tingkat elektabilitasnya rendah".
Dengan penegasan Surya Paloh dan Sekjen Golkar Soemarsono, kelihatannya Partai Golkar sudah lebih fokus dalam penentuan calon presidennya pada pilpres 2009. Calon yang akan dipilih tidak akan melalui jalur konvensi, tetapi melalui "survei" dan skoring di internal. Penghilangan pola konvensi dinilai realistis, karena dalam konvensi yang menentukan adalah suara dari pengurus, kemenangan calon diperkirakan mudah dimanipulasi, calon terpilih belum tentu merupakan calon unggulan di tingkat nasional. Golkar kelihatannya telah banyak belajar dari pengalaman pemilu dan pilpres 2004 hingga beberapa pilkada. Kegagalannya pada 2004 disebabkan kurang dikuasainya "ruh" pilpres langsung, khususnya dalam menilai perilaku konstituen yang tidak bisa dikontrol oleh jejaring partai.
Dari penilaian calon yang akan dipilih melalui pola "survei", Golkar akan memilih dari sumber internal maupun tokoh luar. Beberapa hasil survei menggambarkan elektabilitas para calon-calon unggulan terlihat mulai lebih stabil. Lembaga Survei Indonesian Research and Development Institute (IRDI) pada bulan Oktober 2008 mengeluarkan hasil tingkat keterpilihan atau elektabilitas (jika pemilihan dilakukan hari ini), SBY (33%), Megawati (17,9%), Wiranto (5%), Prabowo Subianto (4,7%), Hidayat NUr Wahid (2,8%), Amin Rais (2,65%), Abdurrahman Wahid (2,45%), Sri Sultan HB-X (1,6%), Yusril Ihza Mahendra (1,4%), Sutrisno Bahir (0,6%), Sutiyoso (0,45%), Rizal Malarangeng (0,15%), sebanyak 0,75% nama-nama lainnya dan 26,85% belum menentukan pilihannya.
Untuk calon wakil presiden yang cocok mendampingi SBY, 15,2% responden memilih Jusuf Kalla, dan menempati nomor urut dibawahnya Hidayat Nur Wahid, Sultan HB-X, Andi Malarangeng, Akbar Tanjung dan Fadel Muhammad. Survei terakhir Lembaga Survei Center for Indonesian Regional and Urban Studies (CIRUS) Surveyor Group menyebutkan SBY masih diunggulkan dengan 37% dukungan suara, Megawati (16,2 %), Sri Sultan HB-X (6,74 %), Prabowo Subianto (5,20 %), Wiranto (4 %).
Dari hasil survei tersebut, maka tokoh internal Golkar yang sudah mempunyai nilai elektabilitas hanyalah Sri Sultan HB-X dengan nilai 6,74%, sementara Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla namanya tidak muncul sebagai capres unggulan, hanya muncul sebagai cawapres terunggul dengan angka 15,2%. Ini berarti memang Golkar hanya memiliki Sri Sultan sebagai capres unggulan, tapi itupun masih kalah jauh dibandingkan Megawati, terlebih dengan SBY. Masih tersisa waktu bagi Sultan untuk meningkatkan elektabilitasnya dengan melakukan langkah-langkah positif agar dapat bersaing dengan dua pesaingnya itu.
Apabila memilih tokoh diluar Golkar, maka pilihan pertama adalah SBY, disusul Megawati, Prabowo, Wiranto dan Hidayat Nur Wahid. Terhadap SBY sementara tidak ada masalah dalam berkoalisi, karena JK sudah faham menjadi wapresnya. Yang perlu dipikirkan adalah pendapat SBY bahwa koalisi adalah "power sharing" artinya Golkar harus mampu meraih suara banyak dahulu untuk berkoalisi dengan Demokrat. SBY kelihatannya ingin membangun koalisi mayoritas, mengingat selama ini merasakan kesulitan, kurang leluasa bergerak, tertekan di parlemen.
Megawati adalah pilihan kedua, apabila Golkar merasa lebih nyaman Mega menjadi presiden dan JK menjadi Wapres, koalisi ini akan kuat di parlemen, lagipula koalisi ini pernah disuarakan oleh beberapa tokohnya. Duet Mega-JK diperkirakan akan dapat mengimbangi SBY, karena JK selama ini dikenal sebagai "bumper" yang tegas, cepat dan berani pengisi kekurangan SBY, nilai elektabilitasnya tinggi. Kemungkinan lainnya adalah mengambil salah satu calon Wiranto, Prabowo atau Hidayat Nur Wahid sebagai capres, dengan catatan apabila setelah selesai pemilu legislatif perolehan partai ketiganya cukup tinggi dan tingkat elektabilitasnya dipandang dapat disandingkan dengan SBY dan Mega. Kira-kira hanya itulah pilihan yang paling realistis dari Golkar, walau demikian masih tersisa waktu dan peluang terjadinya perubahan, karena dinamisasi politik kini sangat cepat.
Jadi bagaimana kira-kira nanti akhirnya? Yang terpenting Golkar harus teguh berpegang pada keputusannya. Untuk apa mengajukan calon atau tetap berhasrat menjadi nomor satu kalau toh nanti kalah. Lebih baik menjadi nomor dua tetapi mempunyai "bargaining power" yang besar. Golkar kini beruntung mempunyai modal tokoh JK sebagai cawapres terunggul dan layak dijual. Mungkin arahnya, tokoh Golkar tetap duduk sebagai bagian dari pimpinan nasional, didukung koalisi parpol mayoritas, pembagian jatah di Kabinet jelas dan adil, ini akan jauh lebih bermanfaat bukan. Kalau hanya mengikuti nafsu segelintir orang dan kalah, apakah akan menjadi oposisi? Kurang elok rasanya. PRAYITNO RAMELAN.
Sumber: http://www.kompasiana.com