Meredam Agresivitas Manusia
13 November 2008 | 4:07 am | Dilihat : 61
Beberapa hari yang lalu saya baru menyelesaikan membaca buku biografi Matori Abdul Djalil, Menteri Partahanan Kabinet Gotong Royong (10 Agustus 2001-21 Oktober 2004), dengan judul Pergulatan Membela Yang Benar. Pak Matori Almarhum adalah salah satu warga Nahdliyin yang patut dibanggakan. Santri yang mampu "go international" pada saat menjadi Menteri Pertahanan. Selama tiga tahun penulis aktif mendampingi beliau di Departemen Pertahanan sebagai Staf Ahli dan kemudian menjadi salah satu penasihatnya.
Menyesal dan sedih sekali terasa saat beliau terserang "stroke" hingga akhir hayatnya, hanya keikhlasan, kesabaran dan kesadaran yang merelakannya, semuanya sudah menjadi bagian dari sebuah takdir. Semoga beliau mendapat kemuliaan dan tempat terbaik sisi Allah Swt, diampuni segala kesalahannya dan dimasukkan kedalam surga.Amin.
Pada buku tersebut saya tertarik dengan kata pengantar salah satu sahabatnya Harry Tjan Silalahi dari CSIS yang mengupas "meredam agresivitas". Ini saya angkat, karena kini semakin banyak warga negara Indonesia yang entah mengapa menjadi lebih agresif, berani, destruktif, nekat, merusak dan banyak kata negatif lainnya yang bisa dilekatkan. Kata teror merupakan kata yang sangat populer di masyarakat , mempunyai hubungan darah yang sangat erat dengan agresivitas manusia.
Harry Tjan yang saya kenal sebagai intelektual santun menyampaikan "Mana yang lebih kejam manusia atau singa?". Ini dilihatnya melalui film flora dan fauna. Terlihat serbuan segerombolan singa yang berburu mangsa dibandingkan dengan sebuah perang terbuka. Langsung disimpulkan, manusialah yang lebih kejam. Kesimpulan mudah difahami seperti apa yang juga diuraikan oleh Erick Fromm dalam bukunya On Agression (1963).
Pertama, manusia mampu melihat bahaya-bahaya yang akan muncul nanti, ancaman pada singa adalah langsung, bagi manusia ancaman adalah masa depan. Kedua, manusia menciptakan berbagai simbol dan nilai yang identik dengan dirinya, dengan seluruh eksistensinya. Serangan terhadap simbol dan nilai-nilai dianggap serangan terhadap kepentingan hidupnya yang vital. Binatang tidaklah mempunyai simbol dn nilai seperti manusia.
Ketiga, manusia menciptakan bagi dirinya "dewa" yang sering tidak disadarinya disembah dan diagungkan. Tanpa itu ia merasa tak dapat hidup, tidak dapat mengembangkan diri, bahkan menjadi gila atau hidupnya akan hancur. Keempat, manusia dapat dipersuasi, disugesti sehingga menjadi mudah terhasut bahwa kepentingan vital mereka terancam, padahal sebenarnya tidak.
Apakah benar kepentingan vital orang sungguh terancam, atau sungguh ada, secara subyektif reaksinya sama saja. Reaksi destruktif-agresif manusia pada prinsipnya sama saja dengan binatang, tetapi agresif manusia dapat jauh lebih dahsyat daripada agresivitas hewan.
Dengan kata lain, ketergantungan manusia pada "dewa-dewa", kurangnya sikap kritis, mudah terpengaruh sugesti dan kurangnya perkembangan spiritual manusia dibarengi dengan struktur masyarakat yang didasarkan pada prinsip eksploitasi dan kekuasaan dapat menimbulkan agresivitas.
Bagaimana cara meredam agresivitas tadi?. Disini Harry Tjan mengambil prinsip dasar dan pandangan Almarhum Matori tentang agama. Bahwa penghayatan hidup beragama mengantar orang untuk bertindak lebih manusiawi dengan meredam kecenderungan orang untuk melakukan agresi dan destruksi.
Agama disamping aturan hidup ritual dan sosial juga menyediakan visi untuk hidup di dalam dan bersama manusia-manusia lain dalam masyarakat sehingga semakin memuliakan manusia hingga pantas disebut "khalifah" Sang Pencipta.
Kepercayaan akan ke-Esaan Tuhan Allah (tauhid) sekaligus membuat manusia menemukan batas-batas kekuasaannya. Penghayatan agama yang benar mendorong manusia untuk memuliakan hidup di dunia, dengan mengusahakannya menjadi lebih hormat kepada kehidupannya, lebih adil dan merdeka, serta lebih sejahtera.
Sumber: http://umum.kompasiana.com/2008/11/13/meredam-agresivitas-manusia/ (Dibaca: 717 kali)