Pemilih Rasional akan Menentukan Foke atau Jokowi

14 September 2012 | 12:48 pm | Dilihat : 801

Pada putaran pertama Pemilukada DKI Jakarta, perolehan suara Jokowi-Ahok yang merupakan pemenang mencapai angka 1.847.157 atau 42,59 persen.  Pasangan nomor urut satu Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli meraup 1.476.648 suara atau 34,05 persen. Sementara itu dari hasil rekapitulasi penghitungan suara pada tingkat provinsi, jumlah warga Jakarta yang tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT), tetapi tidak menggunakan hak pilihnya, tercatat sebanyak 2.555.207 pemilih. Ini berarti jumlah warga yang Golput jauh lebih besar dibandingkan perolehan suara pasangan Jokowi-Ahok sebagai pemenang putaran satu tersebut.

Jika dikaji, semua proporsi tersebut tidak banyak berbeda dibandingkan dengan pilkada DKI tahun 2007. Saat itu, tercatat sebanyak 34,6 persen atau sekitar 1,9 juta pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilih dengan berbagai alasan.

Kini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta telah menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua sebanyak 6.996.951. Angka ini bertambah 34.603 dibandingkan jumlah pemilih pada putaran pertama. Daftar pemilih pada putaran pertama berjumlah 6.962.348. Apabila jumlah DPT dikurangi dengan Golput pada putaran pertama maka bisa diperkirakan konstituen yang akan memilih akan berjumlah sekitar 4.441.744. Itulah perkiraannya.

Nah, beberapa pakar politik banyak yang menyebutkan bahwa baik Jokowi-Ahok ataupun Foke-Nara kemenangannya akan ditentukan oleh mereka (konstituen) yang disebut sebagai pemilih rasional. Apa dan siapakah mereka itu. Itulah sebenarnya sasaran yang harus digarap oleh Tim sukses kedua kubu. Pemilih Foke ataupun Jokowi nampaknya sudah cukup masif dan terbentuk (dalam terminologi intelijen sudah terkondisikan). Nah kini kita lihat pemilih rasional itu. Tanpa pengetahuan mendasar tentang  konstituennya khusus ini, perolehan suara akan sulit terangkat dengan signifikan.

 

Pemilih Rasional

 

Para pakar politik jelas faham siapa dan apa pemilih rasional ini. Sebuah bahasan oleh Sunny Tanuwijaya, peneliti di Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS menuliskan tentang mitos pemilih rasional terkait dengan Pemilu Tahun 2009. Dikatakannya pada Suara Pembaharuan (27/10/2008), bahwa pemilih Indonesia belum bisa dikatakan rasional karena pilihan yang tersedia buat mereka belum memiliki diferensiasi yang jelas.

Pemilih rasional adalah orang yang menentukan pilihan politiknya berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Pemilih rasional akan memilih partai politik, anggota legislatif, dan pasangan presiden/wakil presiden, pasangan Cagub/Gub, yang menurut perhitungan pribadinya akan membawa keuntungan baginya di masa depan, apa pun bentuk keuntungan itu. Menyebut bahwa pemilih sudah rasional paling tidak mengandung dua asumsi mendasar. Pertama, objek pilihan mempunyai diferensiasi. Kedua, pemilih itu terdidik. Terdidik di sini berarti tahu atau mempunyai kemampuan untuk mengakses informasi mengenai pilihannya. Sayangnya, kedua asumsi ini tidak tepat dalam menggambarkan kehidupan politik Indonesia, sehingga kita tidak bisa menyimpulkan bahwa pemilih Indonesia sudah rasional.

Nah, menerjemahkan yang disampaikan oleh Sunny, dikaitkan dengan Pemilukada DKI putaran kedua, apabila pasangan Cagub tidak memiliki perbedaan yang signifikan sepertinya sulit untuk mengatakan bahwa pilihan para pemilih Jakarta tanggal 20 September mendatang  merupakan pilihan rasional, karena pemilih tidak mempunyai pilihan yang bervariasi untuk ditimbang, mana yang akan memberikan keuntungan optimal. Dengan kata lain, ada dua kemungkinan dalam situasi ini. Pertama, pemilih tidak menentukan pilihannya berdasarkan rasionalitas karena mereka memilih bukan berdasarkan perbedaan kedua calon.

Kedua, pemilih memilih dalam bounded rationality atau dengan modal pengetahuan yang (sangat) terbatas mengenai pilihan yang ada. Jadi, pilihan yang dijatuhkan pada satu pasangan Cagub bukan karena pertimbangan rasional, tapi didasarkan pada kekurangtahuan tentang perbedaan diantara keduanya. Misalnya, apakah penduduk Jakarta faham apabila ditanya, siapa yang lebih menguasai persoalan serta pembenahan Jakarta? Kata kuncinya adalah perubahan dan harapan, siapa yang lebih dominan.

Pemilih rasional akan memilih Cagub yang bukan hanya mereka kenal, tapi juga berkualitas, karena cagub yang berkualitas dan bukan cagub yang populer yang akan memberikan keuntungan buat pemilih. Tanpa kapabilitas dan kapasitas yang tinggi, hampir tidak mungkin si calon Gubernur dan wakilnya apabila menang nanti mampu membawa keuntungan buat pemilihnya.

Sementara itu, pemilih yang kekurangan akses informasi mengenai kualitas pasangan Cagub-Cawagub  akan cederung memilih  yang mereka kenal saja. Situasi di mana pemilih masih belum rasional dan mempunyai akses informasi dan pengetahuan politik yang sangat terbatas membuka kesempatan dan mendorong para cagub dan cawagub itu untuk mencari jalan pintas dan mudah untuk menang dalam Pemilukada mendatang.

Pemilih bisa dikatakan rasional jika dia memiliki informasi yang cukup untuk menentukan pilihan. Pilihannya bisa dikatakan rasional jika pilihan yang tersedia bervariasi. Tanpa variasi dari pilihan yang tersedia, sulit untuk mengatakan bahwa keputusan atau pilihan pemilih bersifat rasional.

Nah, pertanyaannya, apakah konstituen Jakarta itu yang katanya 30 persen adalah pemilih rasional,  sudah diberi informasi yang cukup dan akan menguntungkan mereka? Seberapa jauh kondisi mereka sudah diukur? Nampaknya beberapa Lembaga survei yang selama ini kredibel tidak berani mengeluarkan prediksinya tentang persepsi publik. Ada sesuatu yang tidak terbaca dalam survei, yang menurut penulis adalah kemajuan cara berfikir masyarakat Jakarta yang semakin pintar dan semakin rasional, inilah kelebihan masyarakat kota metropolitan yang berani menerapkan demokrasi keterbukaan. Ternyata kebebasan membuat masyarakat ikut berfikir dengan lebih berani.

Masyarakat Jakarta terlihat akan menentukan pilihan "bak" (seperti)  pemilih rasional, yaitu akan memilih Gubernur dan wakil Gubernurnya  yang mereka nilai akan mampu menguntungkan mereka. Berdasarkan teori Sunny, mari kita lihat gambaran pilihan responden DKI Jakarta yang melek media dan melek dunia maya. Daripada kita menunggu lembaga survei yang takut salah lagi, kita bahas saja hasil survei yang mungkin tingkat margin of error-nya lebih tinggi.

 

Hasil Survei Portal Berita

 

Inilah hasil survei yang dilakukan oleh media atau portal berita kenamaan :

Hasil Survey/poling Pilkada DKI putaran ke 2 versi Jak TV, Foke-Nara : 34.81% (130,926 suara), Jokowi -Ahok : 65.19%  (245,237 suara).

Hasil Survey/poling Pilkada DKI putaran ke 2 versi Detik :  Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahja Purnama (Ahok) 52.33% (17.196 suara), Fauzi Bowo (Foke) - Nachrowi Ramli (Nara) 47.67%  (15.666 suara).

Hasil Survey/poling Pilkada DKI putaran ke 2, Versi Koran Republika, Saya warga Jakarta dan menjagokan Jokowi-Ahok, 83.59% (158.567 votes). Saya warga Jakarta dan menjagokan Foke-Nara, 14.66% ( 27.815 votes).

Hasil Survey/poling Pilkada DKI putaran ke 2 versi Okezone.com, Foke-Nara : 8 %, Jokowi-Ahok : 92 %.

Hasil survei versi Litbang Kompas, pra-Pilkada DKI Jakarta menjelang putaran kedua yang diselenggarakan Litbang Kompas pada 31 Agustus-6 September menunjukkan hasil survei, dari keseluruhan responden yang mengaku memilih Foke-Nara dalam putaran pertama, mayoritas di antara mereka (84,3 persen) menyatakan bahwa pada putaran kedua nanti juga akan tetap memilih pasangan ini. Suara yang relatif sama diungkapkan para pendukung Jokowi-Ahok. Mayoritas (85,2 persen) responden pada putaran kedua nanti menyatakan akan tetap memilih pasangan ini.

Dari hasil survei ini terungkap bahwa pemilih tipe ini dukungannya telah terdistribusi kepada setiap calon, dengan porsi yang sama besar (37,8 persen). Sisanya, kelompok pemilih yang hingga kini belum tampak jelas ke mana arah pola dukungannya. Apabila dikalkulasi, tidak kurang dari 11 persen dari keseluruhan responden yang terkategorikan pada kelompok ini. Dari sisi keterkenalan, skor pengenalan pemilih terhadap pasangan Foke-Nara lebih tinggi dibandingkan dengan Jokowi-Ahok.

Tingkat pengenalan responden terhadap pasangan calon gubernur ini diukur dengan pengetahuan mereka tentang status jabatan tiap-tiap calon hingga latar belakang pendidikan, partai pendukung, dan ikon kampanye yang digunakan. Tampak bahwa penilaian yang relatif lebih tinggi ditujukan oleh kalangan berpendidikan ataupun berstatus ekonomi menengah atas kepada pasangan Jokowi-Ahok ketimbang kepada Foke-Nara.

 

Kesimpulan Sementara

 

Dari beberapa informasi tersebut diatas, nampaknya telah terbentuk arah kemana konstituen akan menentukan pilihannya. Jokowi-Ahok sementara ini diramal akan menang. Betulkah demikian? Kini survei media yang mengambil responden dari pembaca yang terdidik/agak terdidik (ukuran pemilih rasional) nampaknya sudah mengarah ke pasangan Jokowi-Ahok. Bahkan beberapa peneliti mengekspektasi Jokowi akan mampu meraih suara diatas 60 persen. Akan tetapi pemilukada DKI Jakarta ini dilakukan secara langsung dan rahasia.

Kita tunggu saja apakah data perkiraan media akan bernasib sama dengan lembaga-lembaga survei itu yang kini dalam bahasa intelijennya "menyelam." Tinggal beberapa hari lagi sebuah pesta demokrasi  akan berlangsung di Jakarta dengan meriah dan mungkin dramatis bagi mereka yang terlibat. Semoga yang kalah serta pendukungnya bisa menerima dengan lapang dada, tidak usah rusuh-rusuh, begitu bukan?  Toh, Bang Foke dan Mas Jokowi  sama-sama orang Indonesia, kita doakan saja yang menang semoga tetap berpegang kepada sifat Rasulullah yakni, siddiq, amanah, tabligh dan fatanah. Selamat mencoblos bagi pembaca Jakarta.

Prayitno Ramelan. www.ramalanintelijen.net

 

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.