Orang Susah Naik Sedan Mercy

2 January 2012 | 7:21 pm | Dilihat : 930

Disuatu sore, beberapa puluh tahun silam, penulis sedang duduk mengobrol dengan Bang Melan, diteras rumahnya di Bendungan Jago, Kemayoran, Jakarta Pusat. Kala itu, jalanan didepan rumah masih tanah, belum diaspal, karena kondisi ekonomi Indonesia sedang morat marit ditengah masa operasi Dwikora. Tiba-tiba datang sebuah sedan Mercy 180, berhenti dan keluarlah seorang lelaki paruh baya. Dengan logat Jawa kental dia bertanya alamat rumah Pak Haji Muhammad Hasan. Beberapa saat setelah dia berlalu, Bang Melan memberi komentar: “Orang Jawa susah tuh”.

Dengan terhenyak agak kaget, penulis langsung bertanya: “Kenape susah? Die kan naek Mercy?”. Dengan entengnya, Bang Melan menjawab: ”Kalo die orang senang, dia tetep di kampungnye, enggak kemari. Karena disane susah, die ke Jakarta tuh”. Inilah sepenggal percakapan penulis dengan Bang Melan. Pola pikir Bang Melan tersebut sederhana sekali, namun bila dihayati, hakikatnya sangatlah dalam, dan masih akurat sampai saat ini, diera ‘digital society’. Untuk memahami teori ini tidak diperlukan pendapat seorang pakar sosial, karena ini kenyataan sosial sehari-hari. Siapapun yang berinteraksi dengan masyarakat luas, pasti sadar akan kenyataan seperti ini.

Dalam konteks urbanisasi, arus pendatang masuk ke kota Jakarta sangatlah deras. Banyak teori, studi dan praktek telah dilakukan untuk menguranginya, namun langkah-langkah yang dilakukan seperti menggarami air laut alias sia-sia. Meminjam istilah si Bungkus, seorang tukang es di Jembatan Haji Ung dikala itu: ”ampe ujan bekelir, enggak bakalan brenti tu’ pendatang”. Hujan bekelir atau hujan berwarna, mengasosiasikan pada hal-hal yang tidak mungkin, mana ada hujan berwarna kuning, merah, hijau atau biru, memangnya warna parpol?

Bagi Jakarta, isu urbanisasi bagaikan buah simalakama. Bila pertumbuhan berhenti otomatis akan timbul masalah. Sebaliknya, perkembangan yang pesat akan menciptakan berbagai problema. Urbanisasi sudah menjadi komponen dari aturan main ekonomi; ‘supply versus demand’. Sebagai gambaran, salah satu sumber urbanisasi adalah permintaaan tentang pengasuh anak atau istilah kerennya ‘baby sitter’. Di kalangan pasangan muda dengan strata sosial ekonomi ABC, ‘demand’ untuk pengasuh anak sangat tinggi.

Hal ini disebabkan bermacam alasan; benar-benar butuh, malas mengurus anak atau sekedar untuk pencitraan. Di mall, restaurant dan tempat-tempat rekreasi, sudah lumrah bila para suami istri dikawal ‘baby sitter’. Dan hebatnya, jumlah mereka proporsional dengan jumlah anak; dua anak ya dua ‘baby sitter’, bukan main!.

Bisakah ini dilarang? Tentu saja tidak, nanti disangka anti HAM. Secara kasar, jumlah ‘baby sitter’ di DKI mudah diprediksi. Dengan penduduk sekitar 9 juta, dan rata-rata setiap rumah dihuni 6 orang, maka ada 1.5 juta rumah. Bila 30% dari rumah tersebut adalah golongan ABC, dan rata-rata memiliki 2 pengasuh anak, maka jumlah mereka sudah sekitar 900 ribu orang, setara dengan sepertiga populasi Singapore.

Berkaitan dengan ini, menjadi mustahil bila Jakarta diharuskan bekerja sendiri untuk menangani isu urbanisasi. Penanganan urbanisasi seharusnya menjadi program nasional yang harus dimotori oleh instansi terkait seperti Kementrian Percepatan Daerah Tertinggal. Indikasinya sederhana, tidak usah jauh-jauh kita ke Pulau Morotai atau Pulau Rote, cukup kita melirik ke daerah di Pantura Jawa.

Bila daerah-daerah diwilayah pesisir utara Jawa Tengah, sejak Cirebon hingga  Semarang berhasil ditumbuh kembangkan dengan berbagai program percepatan pembangunan yang tepat guna, niscaya daerah-daerah tersebut akan menjadi makmur. Kemakmuran lahir dan batin ini akan membuat penduduknya nyaman, karena segala fasilitas hidup yang dibutuhkan sudah tersedia dan bisa dinikmati, dari pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial dan lain-lain.

Bila ini bisa dicapai, maka akan berlaku hukum alam,  bila populasi yang sudah nyaman disatu tempat, orang akan segan meninggalkan kediamannya. Seperti komentar Bang Melan tadi, bila mereka senang dikampungnya, tak akan mereka datang ke Jakarta. Soal dampaknya ke Jakarta dimana pasangan muda akan susah mencari pengasuh anak dari daerah di pantura Jawa, itu isu lain, yang bisa kita ulas dilain waktu. Marilah kita majukan Indonesia, melalui program pembangunan tepat guna yang proporsional dan merata ke semua provinsi.

Sebagai informasi, Bang Melan (alm), lahir pada tahun 1911, nama lengkapnya Haji Ran Ramelan, adalah ayah kandung penulis. Beliau merupakan salah satu tokoh Betawi, pemrakarsa Lembaga Kebudayaan Betawi, pejuang, wartawan tiga jaman, penulis cerita dan film, beberapa diantara hasil karyanya sangat melekat dihati masyarakat, seperti Macan Kemayoran, Lagoa Jago Tanjung, Singa Betina Dari Marunda, Mbah Suro dan Cagar Budaya Condet.

Almarhum memegang teguh jiwa Betawi-nya, tidak keluar kampung tetap berdiam di Bendungan Jago Kemayoran, hingga akhir hayatnya. Beliau wafat tanggal 20 Oktober 1990. Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, http://ramalanintelijen.net

Ilustrasi gambar : kaskus.us

 

This entry was posted in Umum. Bookmark the permalink.