PDIP Harus Mulai Berhitung

23 July 2014 | 2:58 pm | Dilihat : 662

tjahyo kumolo

Tiga Tokoh Utama PDIP , Puan, Mega dan Tjahyo, (Foto: metronews.com)

Pasangan Jokowi dengan JK kini sudah dipastikan akan menjadi pimpinan nasional bangsa Indonesia periode 2014-2019, menunggu pelantikan tanggal 20 Oktober 2014. Apabila kompetisi pilpres diterapkan dengan teori kemiliteran, maka langkah yang digunakan adalah langkah taktis, karena pilpres adalah sebuah pertempuran. Menang dan kalah banyak ditentukan dengan memainkan kekuatan yang ada, menumbuhkan kemampuan mempengaruhi masyarakat yang akan menjadi konstituen.

Dengan kekuatan (jumlah) yang relatif lebih sedikit, kubu Jokowi-JK dengan langkah taktisnya mampu menang dalam kompetisi (bak pertempuran, bukan perang yang sesungguhnya). Inilah awal yang baik, dengan dukungan kekuatan lima parpol mampu menang melawan enam parpol pendukung Prabowo-Hatta. Pasangan Jokowi-JK akhirnya menang dengan posisi 53,15 persen, (70.997.883 suara), sedang Prabowo-Hatta mendapat 46,85 persen (62.576.444 suara). Ini menunjukkan bahwa medan tempur itu cukup berat karena perbedaan suara 8.421.439 suara.

Kekuatan Jokowi terutama didukung oleh parpol pengusungnya PDIP, kemudian muncul empat parpol pendukung (NasDem, PKB, Hanura dan PKPI). Dari sinilah kita mulai bahas dinamika politik internal kubu sang pemenang. Yang memainkan kartu politik adalah PDIP pastinya, karena yang harus di hitung untuk mendukung Presiden Jokowi adalah kekuatan di parlemen.

Pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan yang mendapat dukungan di parlemen paling tidak 50 persen plus satu. Artinya dari 560 kursi di DPR, kubu PDIP akan lebih aman apabila mendapat 281 kursi pendukung. Saat ini dengan dukungan tiga parpol yang lolos ke DPR (PKPI tidak lolos), jumlah kursinya 207 (PDIP 109, NasDem 35, PKB 47 dan Hanura 16). Sementara kubu yang berkoalisi dengan Gerindra kini memiliki 253 kursi (Gerindra 73, Golkar 91, PKS 40, Demokrat 61, PAN 49 dan PPP 39).

Langkah pertama bagi PDIP jelas menerima keinginan parpol yang tadinya berada dalam koalisi Gerindra untuk memperkuat koalisi yang dibangunnya. Dalam politik adalah suatu hal yang lumrah bagi parpol untuk bergeser koalisi. Masalah yang bisa menjadi hambatan, adalah bahwa PDIP dan Jokowi sejak awal sudah menentukan bahwa koalisi harus tanpa syarat. Biasanya koalisi bak dagang sapi, saya dukung tapi minta jatah kursi menteri. PDIP menginginkan menyusun Kabinet Profesional, dimana Menteri yang ditunjuk sesuai dengan keahliannya.

Ini bagus sekali, karena seseorang apabila menduduki jabatan dan dia tidak berpendidikan di bidangnya, tidak pernah menduduki jabatan serupa, maka dipastikan dia tidak mempunyai "sense." Misalnya sense of economic, sense of communication, sense of energy dan seterusnya. Akan lebih berat lagi apabila elit parpol yang tidak mempunyai basic pengetahuan menduduki jabatan karena kekuatan politisnya, dipastikan akan amburadul.

Itulah hitungan pertama dari PDIP. Pesaing PDIP adalah lawan politik external, artinya ini lawan nyata, mudah dibaca dan bisa diukur, murni demi kebaikan bangsa atau ada kepentingan lainnya. Jadi entah bagaimana nantinya PDIP dan Presiden Jokowi memilih pejabat tinggi negara itu?. Presiden SBY yang dapat dikatakan kokoh dengan dukungan koslisi  parpol kuat serta partainya Demokrat sebagai the rulling party sangat besar di DPR, justru menghadapi hambatan di jajaran eksekutif.

Sementara langkah lainnya yang sangat penting adalah bagaimana PDIP dan Presiden Jokowi mampu memenangkan perang yang sesungguhnya. Perang disini adalah bagaimana Jokowi mampu memimpin Indonesia dalam lima tahun dengan sukses, yang saat ini nampak menonjol adalah perkembangan perekonomian Indonesia yang diakui oleh negara-negara lain di dunia.

Pemerintahan dibawah kepemimpinan Presiden SBY dalam sepuluh tahun telah menunjukkan sebuah prestasi yang sangat baik apabila dilihat dari sisi komponen ekonomi. Penulis akan membahas intelijen strategis dari komponen ekonomi ini pada artikel lainnya. Sepintas, Jokowi kini menjadi pemimpin di negara dengan populasi ke-empat terbesar di dunia (248 juta/2013), Indonesia yang luas terdiri dari 17.508 pulau. Menurut Moody's, Fitch and R&I, Indonesia is the 16th World's Largest Economy, dengan 1 trillion USD GDP (PPP), dimana  GDP per capita (PPP) US$4,876.

Sebagai  negara anggota G20, Indonesia menduduki posisi negara ke dua yang tercepat pertumbuhan ekonominya diantara 20 anggota G-20, hanya kalah dari Tiongkok (China) pada tahun 2013. GDP Growth Indonesia pada tahun 2014 adalah 5,8 persen. Blomberg (Indonesia's Growth Beats Estimates ..." 2014), Indonesia's GDP growth in 2013 beats all estimates in Blomberg News survey of 25 economists, where the median was 5,34 percent.

Nah, itulah sepintas salah satu kesuksesan kepemimpinan Presiden SBY yang akan diwariskan kepada Jokowi. Kerja keras, itulah yang kita harapkan dari kabinet yang disebutkan sebagai kabinet profesional.

Lantas, bagaimana menyusun kabinet profesional itu? Di kubu PDIP kini duduk tiga parpol lainnya yang akan membantu menjaga suksesnya kiprah Jokowi dalam lima tahun. Selain PDIP harus menghitung kemungkinan hambatan dari oposan, juga harus mampu menata perasaan para elit parpol anggota koalisi. Apakah mereka akan menerima begitu saja, 'tanpa apa-apa?' Menurut penulis tidak begitu.

Dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia, tidak ada yang setia dalam pertemanan politik. Yang ada adalah bagaimana kepentingan kami terakomodasi, itu sebuah ungkapan  di dunia politik. Yang jelas PDIP benar-benar harus menghitung dan berhitung dengan parpol lainnya. Manis didepan belum tentu manis dibelakang. Sejarah pernah menunjukkan bahwa dalam perebutan kekuasaan di PKB, Cak Imin pernah menelikung Gus Dur, pamannya dalam menguasai parpol bentukan Gus Dur itu. (Baca artikel penulis "Sudah Kalahkah Gus Dur", 12/9/2008, http://ramalanintelijen.net/?p=197).

Itu hanya `sebuah contoh betapa kejamnya dunia politik. Kini elit PDIP paling tidak mewaspadai kemungkinan timbulnya perebutan kekuasaan di internal parpol koalisi. PDIP harus mulai menempatkan Jokowi sebagai sosok kuat, karena kalau boleh jujur, pijakan politik dan sumber daya politiknya terlihat terbatas. Dengan kata   kerja keras untuk dengan optimal mengakomodasikan kepentingan rakyat dan kepentingan lain yang berpengaruh. Sejarah jatuhnya Presiden Abdurachman Wahid juga karena pekerjaan mereka yang dulu menudukungnya. Disamping itu PDIP benar-benar harus mengawal, karena ekspektasi rakyat terhadap Jokowi, apalagi pendukungnya sangat besar.

Nah, apa yang perlu dilakukan? PDIP sebaiknya melakukan pemeriksaan sekuriti dan status koalisi, disamping menata parlemen agar tidak menjadi ganjalan. Pengalaman sebagai Gubernur DKI, Jokowi juga diganjal anggota Dewan, tetapi dengan kekuatan dukungan rakyat semua dapat teratasi. Kini posisinya jelas berbeda, sebagai presiden jelas tidak bisa selalu mengharapkan dukungan 148 juta rakyat setiap saat yang tersebar di wilayah yang sangat luas. Situasinya jelas berbeda.

Semua harus diselesaikan dengan langkah brilian di parlemen, di eksekutif dengan sasaran kesejahteraan rakyat. Jokowi dan PDIP bukan hanya akan menghadapi jeger-jeger di tanah air, tetapi juga kelompok kepentingan dari luar negeri. Apakah bisa? Jelas bisa apabila ketulusan dan kejujuran terus dipelihara. Oleh karena itu penulis menyarankan mulai menghitung, dengan kecerdasan, kecerdikan dan kearifan. Sekali lagi selamat kepada Jokowi dan PDIP, semoga masukan ini ada manfaatnya.

Oleh : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.