Kasus Lion Air JT-610 dari Perspektif Old Soldier

21 November 2018 | 7:53 am | Dilihat : 1193

Lion-Air-Airplanes-in-Airport-600x330 (1)

Maskapai Penerbangan Lion Air menjadi pengangkut penumpang terbanyak dalam negeri, mampu mengungguli Garuda (foto :Airport.id)

Sebagai member of the Blues (Insan Udara Militer), Old Soldier terus mengikuti perkembangan kasus kecelakaan pesawat modern Boeing 777 Max 8 dari maskapai Lion Air, flight number JT 610 (Registrasi PK-LQP) yang menerbangi rute Jakarta-Pangkalpinang. JT 610 diketahui jatuh di Laut Tanjung Pakis, Karawang tak lama setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta Indonesia, pada 28 Oktober 2018. Semua, 189 orang penumpang serta awak pesawat di dalam pesawat itu tewas. Penerbangan JT 610 oleh para analis penerbangan, Boeing serta FAA dikatakan menandai kecelakaan fatal pertama yang melibatkan model pesawat Boeing 737 Max.

Setelah menerima berita kecelakaan, Basarnas dibawah Marsdya TNI M Syaugie dibantu demikian banyak instansi termasuk bantuan TNI atas arahan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahyanto mengerahkan penyelam TNI yang handal, berhasil mengangkat sebagian korban yang tercecer serta pada hari Kamis (1/11/2018), penyelam dari Batalyon Intai Amfibi TNI AL berhasil menemukan Flight Data Recorder di kedalaman 35 meter diantara reruntuhan pesawat.

FDR yang sudah ditemukan tersebut sangat penting karena berisi data-data teknis penerbangan pesawat seperti altitude, air speed, angle of attack,, radar, auto pilot dan lain-lain. Ada 5 sampai 300 parameter data penerbangan yang direkam dalam black box FDR ini. KNKT yang dibantu tenaga ahli dari Australian Transport Safety Bureau (ATSB) berhasil mengunduh data FDR.

68blaxkbox lion air (1)

Kepala Basarnas Marsdya TNI M Syaugi memegang FDR dari JT 610 yang ditemukan (Foto : toRiau)

Penjelasan Sementara Ketua KNKT Indonesia

Sebelum memberikan data teknis dari temuan FDR, Ketua Komite Keselamatan Transportasi Nasional Indonesia (KNKT), Soerjanto Tjahjono Senin (5/11), menyampaikan analisa, saat menyampaikan perkembangan evakuasi pesawat Lion Air di hadapan keluarga korban di Hotel Ibis Cawang, Jakarta Timur, Senin (5/11/2018). "Pesawat mengalami pecah ketika bersentuhan dengan air, pesawat tidak pecah di udara," katanya.

Lebih lanjut, Soerjanto menjelaskan bahwa pesawat Lion Air PK-LQP menghantam perairan Tanjung Pakis, Karawang dalam kecepatan yang cukup tinggi. "Saat mesin ini menyentuh air ini dalam keadaan hidup. Hal ini ditandai dengan hilangnya semua ujung turbin maupun kompresor. Menandakan pada saat impact pada air mesin ini dalam keadaan hidup, dalam keadaan putaran yang cukup tinggi," ujarnya.

Dalam penjelasan tehnis Soerjanto menjelaskan bahwa dalam empat penerbangan terakhir pada PK-LQP ditemukan adanya kerusakan pada Air Speed Indicator. Dua penerbangan terakhirnya, rute Denpasar-Jakarta JT43 , Minggu (28/10) dan terakhir yang mengalami kecelakaan, rute Jakarta- Pangkalpinang flight number JT 610, Senin (29/10/2018).

Saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (7/11), Soeryanto mengatakan bahwa KNKT menemukan masalah pada indikator Angle of Attack (AoA) pada PK-LQP. Masalah pada indikator AoA pesawat PK-LQP juga terjadi pada penerbangan dari Denpasar ke Jakarta pada Minggu (28/10). Berdasarkan investigasi KNKT, dalam penerbangan tersebut AoA bagian kiri (pilot) berbeda 20 derajat dengan bagian kanan (co-pilot). "Ini masih terkait kerusakan penunjuk kecepatan (speed indicator)," katanya. Oleh sebab itu, perangkat sensor AoA disebutkan telah diganti oleh tehnisi Lion Air.

sinyal-melemah-knkt-akan-terus-genjot-cari-cvr-lion-air-jt-610

Ketua KNKT Soerjamto Tjahjono saat menjelaskan kronologis JT610 (foto : Breakingnews)

Sensor AoA yang rusak telah berada di kantor KNKT dan akan diserahkan ke pabrik pembuatannya di Chicago, Amerika Serikat, guna mencari tahu duduk perkara kerusakannya. Meski belum disimpulan masalah AoA ini yang jadi penyebab kecelakaan, KNKT juga berencana melihat dampak yang timbul dari kerusakan alat ini. Hal ini akan dilakukan melalui engineering simulator di fasilitas yang dimiliki oleh Boeing di Seattle, AS.

Menurut KNKT, Lion Air JT610 mengalami pembacaan data Angle of Attack (AoA) yang berubah-ubah (mengacau) sesaat sebelum jatuh. Temuan awal KNKT, berdasarkan catatan kerusakan di pesawat 737 MAX 8 (PK-LQP) sebelumnya, sensor yang tidak bekerja sebagaimana mestinya ini menyebabkan sejumlah indikator kerusakan pesawat di kokpit menyala. Jenis indikator kerusakan yang bisa menyala, menurut buletin dari Boeing, antara lain indikator kecepatan (air speed) yang berbeda-beda, ketinggian (altitude) yang berbeda dan tekanan diferensial hidrolik yang berlebihan di komputer elevator.

Rekomendasi yang dikeluarkan Boeing dan FAA ini hanya menunjukkan indikasi masalah yang dialami oleh PK-LQP dalam penerbangan JT 610, dan tidak bisa disebut sebagai penyebab jatuhnya pesawat. Investigasi oleh KNKT masih berlangsung. Masih ada data yang belum ditemukan, yang nilainya sangat penting untuk menajamkan penyelidikannya, yaitu cockpit voice recorder (CVR) yang bisa membantu menyingkap tabir kelam penerbangan JT610.

Buletin Boeing dan Emergency Airworthiness Directive FAA

Mengacu beberapa informasi yang dikumpulkan oleh KNKT serta hasil pembacaan FDR oleh KNKT yang dibantu Australian Transport Safety Bureau (ATSB), Boeing sebagai pabrik pembuat pesawat tanggal 6 November 2018 mengeluarkan Operasi Manual Bulletin (OMB) yang mengarahkan operator tentang prosedur awak pesawat untuk mengatasi keadaan bila terjadi masukan yang salah dari sensor AoA. Buletin dengan nomor TBC-19 berjudul “Uncommanded Nose Down Stabilizer Trim Due to Erroneous Angle of Attack (AoA) During Manual Flight Only.”

pabrik-boeing_20151009_131104

Pabrik Boeing yang demikian besar (Foto : Tribunews)

Buletin tersebut menyatakan bahwa Angle of Attack sensor yang bermasalah dapat memicu sistem pitch pitch otomatis 737 MAX yang akan mendorong hidung ke bawah selama 10 detik. Jika pilot menarik hidung secara manual, sistem dapat melakukan re-engage setelah lima detik, kemudian system akan mendorong hidung ke bawah lagi, kecuali jika dinonaktifkan. Pembacaan (error) dari salah satu sensor pesawat dapat menyebabkan pesawat masuk ke posisi menukik. Angle of Attack yang dimaksud adalah Sudut serang Sayap Pesawat Terhadap Badan Pesawat dan Terhadap Datangnya Udara Dari Depan. Secara teori, perubahan AoA mempunyai hubungan secara langsung dengan perubahan kecepatan (Indicated Air Speed).

Terlepas dari tragedi itu, analis industri dan investor Boeing tetap percaya diri di perusahaan. "Ini adalah tragedi, tetapi (buletin keamanan) sama sekali tidak mengatakan tentang desain pesawat dan subsistem utamanya," kata analis penerbangan TEAL Group Richard Aboulafia kepada Business Insider. Saham Boeing ditutup naik 1,51% pada hari Rabu (7/11).

Sementara itu FAA (US Federal Aviation Administration) satu hari kemudian setelah Boeing mengeluarkan bulletin (OMB), pada tanggal 7 November 2018, mengeluarkan petunjuk kelaikan udara darurat atau Emergency Airworthiness Directive (AD) dengan nomor 2018-23-51 yang dikirimkan kepada pemilik serta operator pesawat Boeing Model 737-8 dan 9. Secara lengkap directive tersebut berbunyi sebagai berikut.

Background : This emergency AD was prompted by analysis performed by the manufacturer showing that if an erroneously high single angle of attack (AOA) sensor input is received by the flight control system, there is a potential for repeated nose-down trim commands of the horizontal stabilizer. This condition, if not addressed, could cause the flight crew to have difficulty controlling the airplane, and lead to excessive nose-down attitude, significant altitude loss, and possible impact with terrain.

FAA’s Determination; We are issuing this AD because we evaluated all the relevant information and determined the unsafe condition described previously is likely to exist or develop in other products of the same type design. Due to the need to correct an urgent safety of flight situation, good cause exists to make this AD effective in less than 30 days.

AD darurat FAA memperkuat peringatan keamanan yang dirilis oleh Boeing. FAA memerintahkan maskapai penerbangan pengguna model 737 Max untuk memperbarui prosedurnya, dimana pilot diinstruksikan dengan benar tentang bagaimana bereaksi ketika sensor yang salah menyebabkan pesawat dapat jatuh. FAA sementara berkesimpulan dari beberapa informasi yang disampaikan oleh pemerintah Indonesia (KNKT) bahwa kondisi ini mungkin yang menyebabkan JT610 jatuh .

Dalam arahannya, FAA menjelaskan, “This emergency AD was prompted by analysis performed by the manufacturer showing that if an erroneously high single angle of attack (AoA) sensor input is received by the flight control system, there is a potential for repeated nose-down trim commands of the horizontal stabilizer.” Kondisi ini, jika tidak ditangani, dapat menyebabkan awak pesawat mengalami kesulitan dalam mengendalikan pesawat, dan menyebabkan kecelakaan. Selain itu, lembaga itu menemukan bahwa cacat yang berpotensi mematikan memanifestasikan dapat juga terjadi pada pesawat Boeing 737 MAX lainnya.

Peringatan FAA sama dengan MOB Boeing, dimana jika sensor AoA membaca sudutnya terlalu besar, maka komputer di pesawat 737 MAX 8 akan memerintahkan stabilizer trim berputar, ini akan membuat hidung pesawat menjadi turun, mengurangi AoA, sehingga airspeed akan bertambah dan pesawat keluar dari kondisi stall. Stabilizer trim bisa digunakan untuk membuat pesawat terbang stabil secara horizontal.

Oleh karena itu , FAA telah memerintahkan maskapai penerbangan untuk merevisi manual penerbangannya untuk memberi pilot prosedur khusus tentang bagaimana bereaksi ketika kondisi ini terjadi. Maskapai diminta untuk membuat perubahan yang ditentukan oleh FAA dalam tiga hari sejak diterimanya arahan. Langkah cepat Boeing maupun FAA ditujukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya lagi kasus serupa pada model 737 Max. FAA menegaskan, karena kebutuhan untuk memperbaiki situasi penerbangan yang mendesak, cukup alasan untuk membuat AD ini efektif dalam waktu kurang dari 30 hari.

Berapa Produksi Boeing 737 Max?

Boeing 737 Max, adalah model pesawat dengan penjualan terlaris dalam sejarah Boeing, merupakan versi terbaru dari keluarga Boeing 737 dan memiliki lebih dari 4.500 pesanan yang belum terpenuhi pada pembukuannya. Ini adalah generasi terbaru Boeing 737, sejenis pesawat yang terbang sejak tahun 1960-an. Ada empat jenis Maxes dalam armada 737, bernomor seri 7, 8, 9, dan 10. Seri 8, yang terlibat dalam kecelakaan di Indonesia, telah terbang paling lama, yang pertama dioperasikan pada bulan Mei 2017. Model Max 9 juga sekarang sudah dioperasikan untuk menerbangkan penumpang, tetapi seri Max 7 dan 10 masih dalam tahap pengembangan.

Boeing 737 Max kebanyakan digunakan untuk penerbangan jarak pendek dan menengah, tetapi beberapa maskapai penerbangan juga menggunakan untuk operasi penerbangan jarak medium antara Eropa Utara dan Pantai Timur Amerika Serikat. Pesawat ini sangat disukai maskapai penerbangan di dunia, karena lebih efisien dalam penggunaan bahan bakar, tetapi memiliki jangkauan yang lebih panjang dari versi-versi sebelumnya.

Para Pengguna 737 Max 8 dan 9

Sebagai pesawat Boeing terlaris, tentu saja, banyak perusahaan-perusahaan yang memilikinya, seperti di Amerika Serikat yaitu American Airlines, Southwest Airlines, dan United Airlines adalah semua operator yang menggunakannya di rute Miami-New York dan Dallas Chicago. Maskapai lainnya di Kanada dan Meksiko serta sekitar dua lusin maskapai penerbangan di seluruh Eropa, Amerika Selatan, Asia (Lion Air) dan Afrika (termasuk Icelandair, Aerolíneas Argentinas, LOT Polish Airlines dan Air China), memiliki Maxes dalam armada mereka.

Penutup

Kasus kecelakaan pesawat Boeing 737 Max8 PK-LQP, flight number JT610 belum dapat disimpulkan secara resmi penyebabnya. Walaupun demikian, dari hasil investigasi KNKT yang dibantu oleh para ahli pesawat dari Australia dan Amerika paling tidak telah ditemukan indikasi kemungkinan penyebab kecelakaan dalam kasus tersebut.

Selain masalah tehnis seperti yang disebutkan KNKT serta langkah antisipasi dari Boeing, ada hal-hal sensitif yang belum dapat dipastikan yaitu kemungkinan  human error dan penyebab non tehnis. Human error bisa sangat terkait dengan teknologi modern pada model Max8, berupa kemampuan mereka yang terkait menanganinya. Dalam hal ini seberapa jauh KNKT dan Boeing dapat menentukannya. Penulis agak concern masalah non tehnis yang walaupun semua terbaca dalam keadaan standard, tetap dibutuhkan penelitian security internal dari aspek intelijen, sehingga operator mampu mengantisipasi dan menerbangkan pesawat dengan aman dan selamat.

Sebagai penutup, banyak yang memberikan pandangan tentang kasus kecelakaan JT610, tetapi penulis menyarankan, kita serahkan saja kepada para ahlinya, yaitu KNKT, Boeing, FAA dan lain-lainnya agar hasilnya tidak bias. Suatu hal yang perlu difahami, bahwa di Indonesia, jasa angkutan pesawat terbang kini sudah merupakan kebutuhan sehari-hari. Manusia tidak suka terhadap hal-hal yang tidak jelas, terlebih menyangkut keselamatan dirinya. Ini tugas pemerintah sebagai regulator dan maskapai penerbangan sebagai operator dalam menjaga citra keamanan dan keselamatan terbang. Kunci akhirnya serius dan tidak asal-asalan. Semoga bermanfaat. Pray the Blues.

Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, (Old Soldier Never Die, JUst Fade Away), www.ramalanintelijen.net

This entry was posted in Kedirgantaraan. Bookmark the permalink.