Jokowi Akan Aman Pada Pilpres 2019 Bila IBU Menjadi Ketum Golkar

19 November 2017 | 9:27 pm | Dilihat : 2119

caketum golkar

Indra Bambang Utoyo (jaket kuning) mencalonkan diri pada pemilihan Ketua Umum Golkar pada awal 2016 (foto : Kompas.com)

Setelah beristirahat menulis sekian lama, penulis mencoba menganalisis kondisi perpolitikan di Indonesia dari sudut pandang komponen politik  intelijen strategis. Sistem politik di Indonesia akan melaksanakan Pilkada serentak pada tanggal 27 Juni 2018, dan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 akan digelar serentak pada 17 April 2019.

Rancangan Undang Undang (RUU)  Pilpres 2019 sudah disahkan DPR menjadi Undang Undang (UU) pada Sidang Paripurna ke 32 (20/7) yang mengatur bahwa Pasangan Capres-Cawapres diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang pada Pemilu 2014 mendapatkan kursi DPR sebanyak 20 persen atau mendapatkan suara nasional 25 persen. Ada 10 parpol yang punya wakil di DPR yang bisa ikut serta mengusung Capres-Cawapres jika merujuk ke angka 20 persen,untuk sementara Pilpres 2019 berpotensi diikuti tiga pasangan Capres-Cawapres.

PDIP memperoleh suara 18,95 persen, Golkar 14,75 persen, Gerindra 11,81  persen, Demokrat 10,19 persen, PAN 7,59 persen, PKB 9,04 persen, PKS 6,79 persen, PPP 6,53 persen, NasDem 6,72 persen dan Hanura 5,26 persen. Mengacu perkembangan situasi politik, maka Pilkada DKI Jakarta dapat menjadi studi kasus, demikian juga kemungkinan pilpres 2019 akan terbentuk tiga poros, yaitu poros Jokowi, poros Prabowo dan poros SBY. Hanya kalau pada pilkada DKI yang bertanding kelas burung emprit, maka pada 2019 yang bertarung kelas burung garuda.

Sementara ini kubu  Jokowi sebagai Capres jelas akan didukung PDIP,  Partai Golkar dibawah kepemimpinan Setya Novvanto sudah menyatakan di Rapimnas akan mencalonkan Jokowi. Sementara Ketua Umum NasDem, sudah memastikan akan mengusung Jokowi sebagai Capres. Total kursi tiga parpol tersebut adalah 40,42 persen akan lebih kuat menjadi 45,68 persen, apabila Hanura dibawah OSO dengan prosentase kursi 5,26 persen bisa menambah kekuatan, walau bisa juga pindah ke  poros lain.

tiga poros

Pada Pilpres 2019 diperkirakan akan terbentuk tiga poros, poros Jokowi, Prabowo dan SBY (foto ; Merdeka.com)

Empat parpol yang melakukan aksi walk out (WO) saat pengesahan RUU Pemilu (Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS) nampaknya tidak akan mencalonkan Jokowi sebagai Capres 2019. Poros kedua diperkirakan akan terdiri dari Gerindra,  PKS dan PAN , total 26,19 persen. Sampai disini sudah ada dua pasangan Capres-Cawapres.

Bagaimana dengan kemungkinan adanya pasangan ketiga? Kuncinya ada di Demokrat dan PKB. Lukman Edy setelah RUU Pemilu disahkan menyatakan kepada media bahwa PKB hanya punya kontrak mengantarkan Jokowi-JK sampai akhir periode, sementara untuk Pilpres 2019 PKB belum menentukan sikap. Apabila Demokrat berhasil menggandeng PKB dan PPP maka prosentase suaranya berjumlah 25,76 persen cukup untuk mengajukan pasangan capres-Cawapres. Mengacu pilkada DKI 2017, Demokrat berhasil menarik PKB, PPP masuk di kubunya.

Itulah perkiraan terbentuknya poros pada pilpres 2019, walaupun politik di Indonesia sangat dinamis. Nah, penulis mencoba menganalisis situasi dan kondisi pada Partai Golkar yang kini dilanda kemelut dengan dinyatakannya Ketua Umum Golkar Setya Novanto sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus korupsi e-KTP. Kini, sedang bergulir wacana penggantian Ketua Umum Golkar, dimana penulis melihat apabila terpilih penggantinya tokoh yang tidak pro Jokowi, maka sangat mungkin dukungan Golkar bisa berpindah.

Kondisi Terakhir Partai Golkar

Pada beberapa waktu terakhir, Partai Golkar dilanda angin puting beliung, dimana Ketua Umumnya dijadikan tersangka oleh KPK terkait tuduhan korupsi proyek e-KTP. Cepat atau lambat, maka elektabilitas partai senior ini akan terus merosot, terlebih kasus penangkapan Ketua Umumnya menjadi viral bak komedi.

Survei CSIS  tahun 2017 dilakukan pada tanggal 23-30 Agustus dengan 1.000 responden secara acak (probability sampling) dari 34 provinsi di Indonesia. Responden adalah masyarakat Indonesia yang sudah memiliki hak pilih. Margin of error dari survei ini sebesar 3,1 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.  Elektabilitas PDIP  paling tinggi,  35,1 persen, Gerindra, 14,2 oersen dan Golkar 10,9 persen.

Lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyampaikan hasil survei elektabilitas yang dilakukan pada 3-10 September 2017. Sampel berjumlah 1.220 dan dipilih secara acak (multistage random sampling). Sedangkan, margin of error dari survei sebesar +/- 3,1 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.  PDIP unggul dengan angka 27,1 persen disusul Golkar 11,4 persen dan Gerindra 10,2 persen.

Menurut Ketua Dewan Pakar Golkar, Agung Laksono, di Hotel Kartika Chandra, Jakarta Selatan, Kamis (19/10/2017), berdasarkan hasil survei yang dilakukan pada Oktober 2017, Golkar berada di belakang PDIP. Golkar 12 persen, sedangkan PDIP 23 persen. Untuk itu, diperlukan revitalisasi di tubuh Partai Golkar, bukan hanya melakukan perombakan pengurus tapi juga meningkatkan kinerja, posisi, kedudukan, pengurus harus dioptimalkan.

Pada hari Minggu (19/11/2017), Nurdin Halid sebagai Ketua Harian Golkar menyatakan bahwa karena kondisi Setya Novanto dikategorikan berhalangan tetap sebagai Ketua Umum, maka dia mengambil alih seluruhtanggung jawab Novanto sebagai pimpinan, " saya yang mengendalikan organisasi', tegasnya. Pada hari Selasa (21 November 2017), akan dilaksanakan rapat pleno untuk membahas Munaslub. Ketua Dewan Pakar Golkar, Agung Laksono mengatakan pada media di Bojonegoro (19/11/2017) berharap Munaslub dapat dilaksanakan akhir tahun ini.

Dari beberapa informasi yang beredar, apabila dilaksanakan Munaslub untuk memilih pengganti Novanto, diantaranya muncul beberapa nama tokoh  seperti  Airlangga Hartarto, Indra Bambang Utoyo, Agus Gumiwang, Erwin Aksa.

Analisis

Dari sudut pandang komponen politik intelstrat, Partai Golkar adalah parpol senior yang kemudian beberapa tokohnya membentuk partai sempalan yang menguat dan menjadi kompetitornya. Walaupun demikian, penulis tetap berpendapat bahwa PDIP serta Golkar adalah dua partai anker (jangkar) Indonesia. Oleh karena itu kondisi Golkar perlu mendapat perhatian khusus dari sisi intelijen.

Dari sisi komponen politik, sosial budaya, biografi, serta sejarah, partai politik Indonesia akan kuat apabila pemimpinnya dipercaya kader dan simpatisannya. Sebagai contoh, PDIP militan dan solid karena Megawati, Gerindra menguat karena peran Prabowo, NasDem parpol baru juga karena pengaruh Surya Paloh, PKB survive karena Cak Imin, Demokrat karena kharisma SBY. Nah, kini Golkar akan runtuh karena kelemahan kepemimpinannya selain itu terjadi konflik antara Aburizal Bakrie dengan Agung Laksono. Golkar menjadi tidak solid, terjadi faksi-faksi yang merugikan diri sendiri. Banyak tokoh Golkar yang mulai  melupakan ruh dan jiwa Golkar yang diinginkan para pendirinya, agar para elit menjaga harkat dan martabat partai.

Dari sisi kepentingan politik Pak Jokowi, Golkar yang sudah menyatakan sebagai pendukung utamanya akan memperkuat peluangnya kembali menang pada pilpres 2019. Apabila Golkar lepas libat, dimana pengurus barunya mengalihkan dukungan terhadap Jokowi pada pilpres 2019, maka kekuatannya tersisa 25,67 persen, belum termasuk Hanura.

Apakah kerugian bagi Jokowi apabila Golkar lepas? Sebagaimana diketahui, pada pilpres dukungan parpol sangat penting dalam mengumpulkan suara. Poros Jokowi yang hingga kini dinilai banyak fihak demikian kuat, bukan tidak mungkin akan menjadi pihak yang tertekan apabila pada putaran kedua poros Prabowo dan SBY bersatu. Konsep Pilkada DKI nampaknya masih menjadi konsep beberapa ahli strategi lawan politik  Jokowi untuk mengalahkannya. Selain Prabowo, kemungkinan akan muncul tokoh-tokoh yang mampu menarik konstituen Muslim, seperti Jenderal Gatot Nurmantyo apabila sudah purna atau Anies Baswedan ke kubu lawan Jokowi.

IBU

Politikus senior dari Partai Golkar, Indra Bambang Utoyo. (dok. Indrabambangutoyo.com)

Nah, oleh karena itu, poros Jokowi sebaiknya menjaga agar Golkar jangan berpindah hati. Caranya, adalah memberi signal dukungan terhadap caketum yang dikenal dan diketahuinya bersih, dan diyakini tetap mau mendukungnya serta berkoalisi dengan PDIP. Pada judul penulis menuliskan nama IBU (Indra Bambang Utoyo) sebagai  calon yang diyakini akan tetap membawa gerbong Golkar dalam mendukung Jokowi.

Point penting pada pilpres 2019, konstituen akan cenderung mendukung capres yang bersih, berintegritas tinggi, oleh karena itu dia harus didukung parpol dimana pemimpinnya bersih. Nah, IBU ini penulis amati sebagai anak kolong yang berpengalaman di politik, berpengalaman sebagai mantan anggota DPR, berintegritas tinggi, mempunyai hubungan dekat dengan Ibu Megawati serta Menhan, Jenderal Purn Ryamizard Ryacudu, tokoh  FKPPI dan  bisa dipercaya. Karena bersih, memang IBU ini kantongnya tidak tebal, justru disitu kekuatannya.

Kepemimpinan Golkar sebaiknya kolektif, artinya antara Ketua umum serta pengurus lainnya tetap sehati dan seirama. Di sisi lain Golkar sendiripun akan beruntung karena sulit saat ini memilih pemimpin yang tidak terkontaminasi. Penilaian publik tetap akan kurang baik apabila pengganti Novanto nantinya bukan sosok yang bersih dan mempunyai masalah. Golkar pasti akan diinfiltrasi dan mudah digerogoti parpol sempalannya sendiri. Kesimpulannya Pak Jokowi akan aman pada pilpres 2019 apabila mendukung IBU menjadi calon Ketua Umum Golkar, kira-kira begitu. PRAY.

Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net  

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.