Hati-hati Dengan Syahwat Politik
30 June 2017 | 7:32 am | Dilihat : 1479
Pemilu serentak akan dilaksanakan tanggal 17 April 2019 (foto : Beritabali)
Setelah dilaksanakannya Pilkada DKI 2017 yang memakan energi demikian besar, kini bangsa Indonesia kembali bersiap-siap untuk menghadapi pilkada serentak pada 2018, dan kemudian puncaknya pada tanggal 17 April 2019 akan dilaksanakan pemilu serentak.
Dari uji materi yang dimohonkan oleh Effendi Gazali dari koalisi masyarakat sipil Tahun 2013 terhadap UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilu serentak akan dilaksanakan pada 2019, seperti termuat dalam putusan MK bernomor 14/PUU-XI/2013.
Walaupun pemilu 2019 baru akan dilaksanakan dua tahun lagi, persiapan dari mereka yang akan maju mulai terlihat bermunculan. Keinginan untuk meraih posisi sebagai pimpinan nasional terlihat dari upaya beberapa tokoh, baik dalam mempersiapkan parpol pendukung, menaikkan citra maupun mencari dukungan.
Penulis melihat ada kecenderungan sementara pihak-pihak yang menggunakan strategi dan hasil Pilkada DKI Jakarta sebagai referensi dalam menghadapi Pemilu 2019. Bagi sebagian konsultan politik, boleh dan bisa saja mengukur strategi pemenangan dengan cara-cara seperti itu. Tetapi ada yang dilupakan, kalau ditinjau dari persepsi intelijen, pilkada DKI ibaratnya hanya merupakan salah satu medan tempur dari demikian banyak medan tempur lainnya di propinsi maupun kabupaten yang tersebar luas (yang akan penulis bahas tersendiri). Rasanya tidak terlalu tepat dipergunakan sebagai referensi dalam pemilu 2019.
Ilustrasi, saat Presiden Jokowi membuka Rapim TNI. (Lembaga Segitiga Institute merilis bahwa ada kerinduan publik akan lahirnya pemimpin dari militer, peluang itu, dinilai bisa terjadi pada pemilu 2019). Pengamat politik UIN Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, memang bisa saja figur Panglima TNI Gatot Nurmantyo menyalip sebagai orang yang populer, apakah sudah tepat langkah politik yang kini ditempuh? Sebuah pertanyaan. (foto : Berita Politik)
Nah, yang perlu difahami, bahwa memenangkan pemilu dan pilpres adalah sebuah upaya besar seperti memenangkan sebuah peperangan, sebaiknya politisi lebih berhati-hati dalam menyusun strategi pemenangan. Untuk menang perang, syarat utamanya harus memenangkan dahulu medan tempur. Bagaimana bisa menang perang kalau dalam pertempuran saja kalah? Oleh karena itu agar menang perang, dan kemudian calon pemimpinnya juga menang dalam persaingan, persiapan bisa saja dilakukan jauh hari sebelumnya dengan strategi yang cantik dan pas.
Ilmu intelijen 'conditioning' sangat tepat dipergunakan untuk menang dalam pertempuran, menang perang dan calon pemimpin nasionalnya terpilih. Penggunaan terminologi militer diatas bukan dalam arti sebenarnya, ini dunia politik dimana strategi perangnya harus disesuaikan. Nah, dalam artikel ini penulis akan mencoba membahas 'syahwat politik' dalam menuju ke pesta demokrasi Pemilu 2019.
Pemahaman Syahwat Dalam Islam
Menarik yang ditulis oleh Hakam Abas tentang syahwat. Kalimat syahwat disebut pada al-Qur'an dalam berbagai kata, bentukannya sebanyak tiga belas kali, lima kali di antaranya dalam bentuk masdar, yakni dua kali dalam bentuk mufrad dan tiga kali dalam bentuk jama'. Secara lughawi, syahwat artinya menyukai dan menyenangi, sedangkan maknanya adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya.
Adapun al-Qur'an menggunakan term syahwat dalam kaitannya dengan pikiran-pikiran tertentu, yakni mengikuti pikiran orang karena mengikuti hawa nafsu seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Nisa: 27. Dapat disimpulkan bahwa menurut al-Qur’an, di dalam diri manusia terkandung dorongan-dorongan yang mendesak manusia untuk melakukan hal-hal yang memberikan kepadanya kepuasan seksual, kepuasan kepemilikan, kepuasan kenyamanan dan kepuasan harga diri. Hawa nafsu memang selalu mengajak ke arah maksiat, kesia-siaan dan condong untuk memuaskan diri pada kehidupan duniawi.
Menurut Toto Tasmara, manusia yang kepribadian terlepas dari cahaya qalbu, benar-benar akan menjadikannya tipe manusia yang hanya memburu kekuasaan syahwat, sehingga, banyak kepribadian manusia yang sakit dikarenakan mendewakan dorongan syahwat yang mempresentasikan kepribadian satu dimensi hawaa yang bermuatan energi negatif, di mana potensi shard dan fu'ad mengecil dan didominasi hawaa. Dengan kata lain, hawaa merupakan pusat kekuatan yang menggerakkan nafsu untuk berbuat dengan mengabaikan potensi fusha yang telah dilumpuhkan hawaa. Dia kemudian apabila tidak disadari, seseorang akan terperosok dalam alam gelap.
Syahwat Politik dan Bahayanya
Di negara manapun syahwat meraih kekuasaan ataupun ambisi manusia selalu sama dan ada, yang membedakan hanya tingkat pendidikan serta kedewasaan berfikir semata. Di Indonesia, syahwat meraih kekuasaan merupakan impian seseorang, lebih terkesan dalam lingkup taktis. Syahwat akan lebih besar dan menyeruak bagi mereka yang merasa sudah mempunyai beberapa syarat, seperti harta yang banyak, merasa dirinya sebagai tokoh terkenal, merasa pantas, merasa mampu, merasa mendapat dukungan, dan banyak lagi tokoh tersebut merasanya.
Belum lagi bagi mereka-mereka yang terkompori media, pengamat politik, kelompok tertentu ataupun parpol, ini akan membuat mimpinya menjadi pimpinan nasional makin melambung tinggi. Tetapi yang paling menonjol syahwat akan sangat besar pada saat seseorang sudah menduduki jabatan tinggi atau puncak, dia kemudian merasa pantas, terlebih bila ada yang mau mengongkosi. Nah, disitulah dia bisa terjebak dalam pusaran syahwat emosional.
Ilustrasi gambar gajah yang di cancang (diikat), foto : teleniossiaspis.
Seperti disebutkan diatas, apabila kepribadian seseorang terlepas dari cahaya qalbu, dia akan mengejar syahwatnya. Dalam upayanya meraih kekuasaan, ada yang dengan cara halus dan ada yang nekat. Kemudian tidak peduli, dia menyuarakan dengan tegas memberi gambaran kepada publik akan meraih kekuasaan. Kemudian yang bersangkutan mulai membangun opini, citra, komunitas dan popularitasnya. Ada juga tokoh lainnya yang baru sedikit yakin dan nekat tanpa modal politik kuat menyatakan akan menjadi pemimpin di negeri ini. Inilah yang penulis amati.
Kepemimpinan nasional yang berlatar belakang budaya Jawa di Indonesia masih sangat kental, misalnya kuatnya kepercayaan urutan presiden Indonesia dalam ramalan Joyoboyo, Notonogoro. Dalam budaya Jawa, tingginya derajat seorang raja pada jaman dahulu dikisahkan memiliki gajah, dikenal istilah nyancang gajah (mengikat Gajah) dan juga Raja memiliki weringin kurung (pohon beringin dibentuk seperti kurungan), seperti di muka keraton Jogja. Kini itu adalah kiasan dimana gajah dan weringin adalah simbol kekuasaan raja, yang tidak boleh dimiliki oleh mereka, rakyat kebanyakan atau siapapun yang bukan raja.
Kalau diamati, walau pemilu masih dua tahun lagi, mulai nampak ada yang terjebak syahwatnya dengan menggebu-gebu. Mematut diri, saya pantas menjadi presiden atau wakil presiden, apakah tidak boleh? Ya jelas boleh saja, tetapi mestinya jangan terlalu vulgar dahulu. Sang Raja akan merasa 'risih' atau terganggu. Belum apa-apa kok sudah ada yang berani nyancang Gajah dan membuat Weringin kurung? Sementara si tokoh tadi mungkin hanya berfikir, tidak apa-apa, ini jaman demokrasi, keterbukaan. Maka munculah konflik bathiniah antara budaya Jawa dengan alam demokrasi liberal tadi dibawah permukaan.
Beringin kurung alunalun Keraton Jogja (foto : Liputan6)
Menurut penulis, bagi tokoh yang sudah mulai nyancang Gajah sebaiknya mengukur diri apakah tindakannya merugikan atau menguntungkannya. Mestinya sabar dahulu, begitu kan? Tapi ya itu tadi, karena syahwat politik yang besar, berlomba dengan waktu mungkin, kepribadiannya lepas dari cahaya qalbu. Dia kini harus siap, jauh hari sebelumnya pesta, bisa saja akan dihabisi Sang Raja atau para senapati pendukungnya.
Oleh karena itu, menurut penulis, bagi yang syahwat politiknya terlalu besar sebaiknya lebih berhati-hati, masyarakat lebih cenderung membutuhkan bukti amanah dan bisa menilainya over produktif. Ada plus minus antara urusan amanah dengan kepentingan syahwat. Lebih berat lagi, dia akan berhadapan dengan kekuasaan sang Raja, yaitu 'Sabdo Pandito Ratu' (ketika Raja marah dan mengutuk atau mengucapkan perkataan, maka saat itu juga akan memberikan dampak seperti yang dia inginkan). Raja memiliki kekuasaan dan Raja mempunyai hak prerogatif, kira-kira begitulah bahasa jelasnya. Alur politik saat ini kental budaya Jawanya, jadi jangan main seruduk saja. Kalau mau terus, 'ya monggo,' penulis hanya mengingatkan.
Sebagai penutup bagus juga kata bijak bahasa Jawa tersebut diatas, yang bunyi lengkapnya ; "Aja dadi uwong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya uwong sing bisa lan pinter rumangsa" (Jangan jadi orang yang merasa bisa dan merasa pintar tetapi jadilah orang yang bisa dan pintar merasa). Salam hormat, PRAY Old Soldier.
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net