Capres 2019 : Jokowi, Prabowo, Anies dan Fulan
13 June 2017 | 8:56 am | Dilihat : 2351
Dalam perspektif intelijen, baru tiga tokoh; Prabowo, Anies dan Jokowi yang dinilai berpeluang menjadi capres 2019 (foto : Jejak Malam)
Perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017 baru saja selesai, pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno baru akan dilantik bulan Oktober 2017. Residu terbelahnya masyarakat masih tersisa walau terasa makin menipis. Mengapa penulis membuat artikel tentang pilpres 2019? Penulis menilai stabilitas politik serta keamanan nasional menjelang pemilu dan pilpres mendatang belum tentu lebih baik seperti saat ini.
Kita bersama perlu mendapat informasi intelijen lebih awal dalam menata persiapan pemilu dan pilpres 2019 agar tidak tergelincir seperti pada masa-masa lalu. Apabila tidak disadari, pengaruh medsos bisa merusak dan menghancurkan sistem yang sudah berjalan. Celah dari sistem demokrasi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pemenangan dengan cara-cara yang cerdas tetapi ekstrem. Pada pilkada DKI dan bahkan kini terus berlanjut, dengan kemajuan teknologi yang memungkinkan, penebaran kebencian, hate speech hoax atau fake news diluar media mainstream semakin masif dan tidak terkontrol. Ini yang perlu kita waspadai bersama.
Pada Pilkada DKI Jakarta 2017, Prabowo menjadi King Maker, apakah pada pilpres 2019 dia akan menjadi play maker atau sebagai King Maker? (foto : wartakota)
Kasus pilkada DKI 2017 banyak menguras enersi kita, dimana tingkat ujiannya berbeda dan lebih rumit dibandingkan pilkada daerah lainnya. Masyarakat terus di bombardier dengan isu-isu sensitif dan lebih banyak negatifnya melalui medsos berupa isu agama, etnis, dan ideologi. Perdebatan sengit dan membara terasa membelah masyarakat lebih spesifik kepada anti-nasrani, anti-china, dan komunis. Perhelatan politik menjadi peluang sementara orang untuk mencari uang dan ada yang menghalalkan cara. Karena itu korupsi di politik terlihat kini semakin menggila. Itulah konsep baru yang belum tentu juga konseptornya hanya perencana ahli dari dalam negeri.
Residu persaingan dengan isu SARA kemudian digulirkan menjadi pemikiran pembentukan khilafah, anti Pancasila dan UUD 1945, NKRI serta Bhineka Tunggal Ika. Pada puncaknya black campaign mulai mengarah kepada penurunan citra dan bahkan ada upaya pelengseran Presiden Jokowi. Sangat jelas terlihat pergulatan politik serta ambisi segelintir politikus yang mulai mengganggu semangat persatuan dan kesatuan yang harus kita jaga bersama, dengan resiko yang tidak mereka pedulikan.
Pilkada DKI dan Pilpres 2019
Pilkada DKI Jakarta merupakan pilkada yang terheboh di Indonesia, bahkan menjadi perhatian dunia internasional. Jakarta sebagai ibukota Indonesia menjadi barometer politik Indonesia. Dalam siklus politik, Pilgub Jakarta selalu lebih awal dua tahun dari Pilpres. Pilgub DKI Jakarta 2007 dilakukan berselang dua tahun dari Pilpres 2009, lalu Pilgub 2012 sebelum Pilpres 2014, dan kini Pilgub 2017 lalu ke Pilpres 2019. Posisi Gubernur DKI dikatakan demikian penting, bahkan ada yang berani menyebutkan sebagai RI-3.
Politik bisa berubah karena kepentingan, Anies dahulu jubir Jokowi saat Pilpres 2014 lawan Prabowo. Saat Pilkada DKI, Anies didukung Prabowo. Pada Pilpres 2019 Anies akan melawan Jokowi? (foto : Tribunnews)
Gengsi dan posisi politik Gubernur DKI semakin naik setelah Jokowi menang pada Pilgub 2012, kemudian menjadi presiden melalui Pilpres 2014, disitulah terlihat peta jalan pilgub Jakarta dipercayai sebagai tangga politik ke Istana semakin menjanjikan. Pilgub 2017 lebih hangat, seakan-akan sebagai pemanasan pertarungan politik menuju Pilpres 2019. Ada konsep dan strategi baru yang diterapkan dan bisa dipetik sebagai pelajaran.
Hal yang menarik dari pemilu dan pilpres 2019, akan dilaksanakan secara bersamaan waktunya. Dari Putusan Mahkamah Konstitusi, nomor 14/PUU-XI/2013 menegaskan konstitusionalitas pelaksanaan pilpres dan pileg jika dilaksanakan bersamaan sejak Pemilu 2019, harus dilakukan melalui perubahan UU Pilpres dan Pileg. Inilah yang kini masih dibahas di DPR RI, dan belum juga usai.
Tiga Tokoh Yang Mulai Diamati Publik
Presiden Jokowi saat menemui pendemo gerakan 212 di Monas, dikawan Menkopolhukam Wiranto. Nampak Habib Rizieq
Penulis sementara ini berpendapat, yang berpeluang menjadi calon presiden sementara saat ini tidak jauh dari dua tokoh yang menonjol yaitu Jokowi yang masih menjabat sebagai presiden dan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo. Selain dua tokoh itu, itu penulis melihat Anies Baswedan sedikit banyak juga berpeluang menjadi calon, disamping mungkin saja ada juga calon lain yang penulis sebut sebagai Fulan.
Banyak orang yang menggunakan "Sebut saja Fulan" sebagai protagonis, merupakan seorang pemeran utama, biasanya baik dan tidak jahat. Tokoh protagonis merupakan tokoh yang membawakan misi kebenaran dan kebaikan untuk menciptakan situasi kehidupan masyarakat yang damai, aman, dan sejahtera. Pada saatnya nanti dinamika politik berpotensi akan memunculkan fulan-fulan itu.
Presiden Jokowi lengkap dengan loreng bersama Jenderal Gatot Nurmantyo (foto : Netralnews)
Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo misalnya, mulai disebut sebagai cawapres oleh salah satu tokoh Golkar, disamping secara tersamar nama Agus Harimurti Yudhoyono juga mulai diangkat kepermukaan oleh SBY. Agus pada saatnya oleh SBY akan ikut ditarungkan atau dimatangkan bergabung dengan salah satu kandidat, mengikuti patern ayahnya menjadi anggota kabinet. Mungkin akan banyak lagi nama-nama yang belum dimunculkan, mengingat kemungkinan presidential threshold dalam UU yang baru, dimana pemilu dan pilpres secara bersamaan sulit dipakai.
Dari beberapa nama tersebut, penulis melihat yang cukup populer saat ini disebut sebagai capres adalah Presiden Jokowi dan Prabowo. Selain itu, Anies Baswedan juga mulai diperhitungkan akan didukung kelompok Muslim. Posisi Jokowi kini masih kuat sebagai petahana, walaupun di medsos mulai digempur dengan bermacam isu yang penulis lihat ditimbulkan menjadi terstruktur dan teratur. Masalah utama Pak Jokowi ini posisinya di PDIP kurang mencengkeram, mudah digoyang, dikenal hanya sebagai petugas partai.
Pada perhelatan politik, si tokoh akan lebih kuat apabila dia menjadi Ketua Umum sebuah partai politik. Sebagai contoh, Prabowo aroma politiknya cukup kuat dan disegani sebagai Ketua Umum Gerindra. Sementara Ahok mudah dilumpuhkan karena dia hanya sekedar tokoh yang diusung empat parpol besar. Dia bukan bagian dari parpol.
Dibutuhkan keputusan berani Ibu Megawati menyerahkan tampuk Ketua Umum PDIP kepada Jokowi apabila ingin Jokowi kembali menang pada Pilpres 2019 (foto : Liputan6)
Menuju ke pilpres 2019, apabila Ibu Megawati bersedia, serta para politisi PDIP lebih faham, sebaiknya Jokowi diposisikan menggantikan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP. Posisi Megawati dinaikkan mirip seperti Ketua Dewan Suro parpol Islam. Apabila Jokowi menjadi Ketua Umum, PDIP akan banyak mendapat keuntungan tersendiri. Pada 2018 hingga 2019, para politisi PDIP akan diuji kepiawaiannya dalam berpolitik.
Kegagalan strategi PDIP di Pilkada DKI sedikit banyak akan menerima imbas pada Pilkada di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Menghadapi pemilu dan pilpres 2019, PDIP perlu segera mengambil langkah berani meningkatkan posisi Jokowi. Ini intinya. Jelas konotasi petugas partai di dunia politik agak rendah dari posisi preseance, kalau Ketua Umum itu baru hebat. Apabila tidak segera dirubah maka struktur politik Jokowi akan berada dibawah Prabowo, orang Jawa bilang kalah awu politik.
Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra kini berkibar setelah Anies-Sandi, tokoh yang diusungnya menang dari pasangan Ahok dan Djarot. Apakah semua itu konsep tim Gerindra, nampaknya tidak juga. Naiknya suara pasangan Anies-Sandi karena ada tumpahan eks pendukung Agus Harimurti yang sangat jelas dibelakangnya ada mantan presiden SBY. Berarti di sini tim Cikeas sepakat bekerjasama dengan Prabowo, belum lagi ada peran JK seperti dikatakan Ketua Umum PAN. Menurut penulis Prabowo apabila berkehendak masih memiliki peluang sebagai capres kedua.
Peluang Anies Baswedan
Anies Baswedan, kini mempunyai peluang juga sebagai capres. Latar belakangnya yang berbau Arab merupakan alternatif disaat Pilkada kemarin kekuatan kaum muda Muslimin mengikuti arahan tokoh-tokoh bersorban keturunan Arab seperti Habib Rizieq dan lain-lainnya. Setelah nanti dilantik sebagai Gubernur DKI, aura politik Anies akan ditentukan oleh nilai kepemimpinannya di DKI Jakarta.
Anies Baswedan dan Mantan Menlu Australia Julie Bishop di Jakarta Maret 2016 (foto : SMH)
Beranikah Anies menentang arus? Karena Ahok telah melakukan kinerja yang dirasakan masyarakat. Apabila Anies tergelincir disitu, maka dia hanya akan cukup menjadi Gubernur saja. Politik itu kejam, dan Anies seperti Ahok, bukan anggota atau tokoh parpol. Kalau Anies konsisten, maka dia bisa dilirik king maker, parpol Islam dan mungkin juga parpol nasionalis lainnya untuk maju sebagai capres. Gerakan kaum muda muslimin yang mencengangkan pada Pilkada DKI menggambarkan keinginan kuat mereka menjadikan salah seorang tokoh muslim menjadi presiden. Sesuatu yang serius, dimana muslim mulai menggeliat dan mampu mematahkan dominasi nasionalis di Pilkada Jakarta.
Anies bisa menjadi pesaing berat Jokowi dan Prabowo apabila dia siap atau memang dia dipersiapkan. Anies, yang dilahirkan tanggal 7 Mei 1969, adalah alumnus UGM, satu almamater dengan Jokowi. Anies meraih gelar master dan doktor dari Amerika. Dia dikenal santun, bersih, muslim, faseh berbahasa Inggris, suku Jawa, dan berpengalaman memimpin sebagai rektor, pernah menjadi Menteri Pendidikan. Anies merupakan cucu dari pejuang kemerdekaan Abdurrahman Baswedan. Ia menginisiasi gerakan Indonesia mengajar dan menjadi rektor termuda yang pernah dilantik oleh sebuah perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 2007, menjadi Rektor Universitas Paramadina pada usia 38 tahun.
Dalam kondisi hausnya umat muslim menjadi pemimpin, kaum intelektual muslim nampaknya tidak ragu akan mendukungnya. Kaum muslimin di lapisan bawah umumnya taat mendukung ulama, jadi apabila ulama mendukung Anies, maka dia bisa meraih keduanya. Itu kekuatan Anies yang harus diperhitungkan oleh Jokowi.
Gerakan solidaritas umat muslimin pada aksi 411 dan 212 dengan tag line "bela Islam" bisa memengaruhi Pilpres 2019, ini kekuatan positif tinggal bagaimana kecerdasan dan kecerdikan meraih mereka (foto : Arah)
Bagaimana dengan Fulan-Fulan? Beberapa tokoh diperkirakan akan muncul, sementara ini nama yang mulai diangkat adalah Gatot Nurmantyo, Panglima TNI. Menurut penulis wajar-wajar saja, karena nasionalis muda melihat Gatot sebagai orang yang faham dengan situasi dunia dan nasional serta ancamannya. Dalam pilkada DKI, Gatot terlihat juga cukup menarik hati kaum muslimin muda dengan beberapa statementnya. Persoalannya, Gatot baru pensiun 2018 dan agak terlalu pendek dalam bergabung dengan parpol dalam menghadapi pilpres 2019.
Nah, itulah kira kira gambaran pilpres 2019 menurut kacamata penulis dari sisi intelijen. Konsep dan strategi pemenangan pilpres nampaknya tidak akan jauh dari pilkada DKI, akan muncul tiga kubu yang akan mengusung capres, dua nasionalis dan satu calon muslim. Apabila kaum muslimin moderat bersatu dengan aliran radikal dan konservatif, maka Jokowi dan Prabowo benar-benar harus berhitung mulai kini. Uang tidak akan ada gunanya, karena yang akan disentuh pada saatnya nanti adalah hati.
Foto Jokowi dan Anies Baswedan, dua tokoh berpeluang sebagai pesaing pada Pilpres 2019 (foto : Kumparan)
Perkiraan yang paling mungkin ; Jokowi akan tetap didukung Megawati dengan PDIP, lawannya adalah Anies Baswedan yang akan didukung oleh Prabowo, SBY, JK serta beberapa parpol Islam. Prabowo akan beralih tidak menjadi play maker tetapi akan menjadi King Maker. Yang akan diperebutkan sebagai partai kunci adalah Golkar. Oleh karena itu Golkar harus ditata oleh para king maker mulai saat kini. Posisi Golkar masih semu saat ini dengan kasus Ketua Umumnya, Jokowi akan berat apabila Golkar lepas dan berada di kubu Prabowo atau JK. Lebih ideal apabila Ketum Golkar diduduki oleh kader Golkar yang dikenal dekat cukup lama dengan Megawati.
Demikian kira-kira sebuah analisis yang dipercaya akan berakhir menjadi sebuah prediksi intelijen. Cepat atau lambat demam Pilpres 2019 mulai terasa. Bagi para tokoh, ambisi boleh-boleh saja, tetapi apabila terlalu cepat dan terlalu kasat mata, reaksi publik justru negatif, bahasa kerennya kontra produktif. Kira-kira begitu.
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net