Seberapa Gentingkah Situasi?

23 May 2017 | 4:56 am | Dilihat : 2130

1233604184

Presiden Joko Widodo saat memberikan pengarahan kepada 1.500 prajurit TNI di Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (19/5/2017).(Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden)

Kalau kita membaca medsos, nampak adanya upaya memecah belah diantara pemimpin, pembesar negara, politisi dan bahkan tokoh-tokoh berpengaruh. Berita-berita palsu (fake news)  dan kabar bohong (hoax) terus bertebaran dengan tujuan satu, mengaduk-ngaduk masyarakat agar kita mau diadu domba.

Presiden Jokowi dan aparat intelijen serta keamanan jelas mampu membaca dan melakukan mapping seberapa genting sebenarnya situasi tersebut. Penulis mencoba menganalisis masalah situasi keamanan dan politik dari sudut pandang intelijen.

Perkembangan Situasi Politik dan Keamanan

Residu dari Pilkada DKI masih menyisakan gelontoran berita-berita yang mencoba memanfaatkan informasi konflik terkait isu SARA. Berkembang berita  adanya upaya untuk menurunkan presiden secara inskontitusional dengan menciptakan konflik, terakhir berita hoax antara suku Dayak dengan FPI di Kalimantan Barat. Foto-foto dan video bertebaran sepertinya akan terjadi perang seperti yang pernah terjadi dahulu  antara suku Dayak dengan Madura. Memang ada pergerakan massa, tetapi semua dapat diatasi dengan penjelasan aparat keamanan dan pejabat daerah, karena inti konflik bukan disitu letaknya.

Berkembang berita (fake news) bahwa adanya keinginan beberapa tokoh yang melibatkan tokoh-tokoh dan nama besar seperti Wapres Jusuf Kalla, Amien Rais, Aburizal Bakrie, katanya merapat ke kubu Prabowo Subianto untuk menentang Presiden Jokowi.

Berkembang juga berita upaya melindungi Ketua DPR Setya Novanto (SN) dari kasus e-KTP dengan perlindungan Menko Maritim Luhut Panjaitan (LBP). Bahkan yang lebih parah dikabarkan  presiden akan menyelamatkan SN. Lebih gawat, diberitakan bahwa LBP mengatakan di muka Rapimnas Golkar bahwa KPK bisa diurus. Juga diisukan (hoax) bahwa jaringan SBY ikut merapat ke Prabowo. Juga dimunculkan berita hangat soal khilafah, gerakan politik Hizbut Tahrir Indonesia serta ormas lainnya yang akan mengganti Pancasila dan UUD 1945. Intinya semua dihadapkan kepada presiden sebagai musuh.

Nah, apakah kita percaya dengan berita-berita atau isu-isu tersebut? Dalam teori intelijen, apabila kita terkena isu hanya ada dua jalan mengatasinya, pertama apabila mampu  jelaskan kepada semua yang terkena isu dan kedua diamkan saja, isu tersebut akan menguap dengan sendirinya. Pada era digital masa kini dimana internet, gadjet sebagai alat komunikasi dan mudah membaca informasi, tidak disadari juga mencerdaskan rakyat yang semakin mampu berfikir jauh, walaupun sumbu pendek tetap ada. Presiden memilih menjelaskan dengan tegas beberapa isu yang beredar.

Ketegasan Presiden Jokowi

Presiden Jokowi menggunakan kosa-kata "gebuk dan tendang" pada dua acara, pertama  saat bersilaturahmi dengan para pemimpin redaksi media massa di Istana Negara, Rabu (17/5/2017). Kedua, saat memberikan arahan di depan 1.500 prajurit TNI usai menunaikan salat Jumat dan santap siang di Aula Kartika, Tanjung Datuk, Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (19/5/2017).

Jelas dan tegas pesannya, Jika ada organisasi masyarakat yang ingin mengganggu ideologi Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, dianggap bertentangan dengan hal yang sangat fundamental bagi bangsa Indonesia akan di-gebuk dan ditendang. Juga apabila PKI muncul akan di gebuk. "Sekali lagi, negara Pancasila itu sudah final. Tidak boleh dibicarakan lagi," ujar Jokowi.

Ketika ditanya apakah penggunaan kata 'gebuk' pas digunakan, Presiden menyatakan, "Nanti kalau pakai kata jewer nggak tegas. Ya, nggak apa-apa memang kita tegas untuk siapa pun yang akan merubah Pancasila."

Setelah presiden mengeluarkan pernyataan, walau banyak kritik, tetapi dilain sisi, pesan yang lebih bermuatan psikologis tersebut membuat mereka yang anti Jokowi menjadi tersentak dan berfikir ulang. Gaya cowboy-nya di Natuna, berbaju putih dengan celana jeans menunjukkan bahwa presiden tidak main-main menjaga dasar negara. Ketegasannya saat berbicara, tanpa beban  dan penampilan masa kininya di muka prajurit menunjukkan bahwa presiden itu berani dan tidak bisa dianggap menyek-menyek. Tegas, jangan main-main dengannya, itu intinya.

Yang menjadi pemikiran penulis, sementara ini, walau kendali terhadap aparat pertahanan keamanan  baik, titik rawannya berada pada seberapa besar dukungan politik dari parpol koalisi pemerintah? Serangan kepadanya pada masa mendatang akan lebih diarahkan ke bidang politik. Memang hingga kini setelah Pilkada DKI, tidak ada momentum yang dapat dimainkan oleh si perencana untuk menjatuhkannya.

Persoalan serius yang dihadapi Presiden dan perlu diwaspadainya justru berada di internal, yaitu para pembantunya. Sejarah turunnya Bung Karno, diawali suksesnya PKI melakukan kompartmentasi presiden dengan jajaran dibawahnya dengan pola insurgency. Kejatuhan Pak Harto diawali mundurnya pembantu-pembantunya (menteri) sebagai penghianat. Gus Dur jatuh karena mereka yang awalnya mengusung dan mendukung kemudian justru menjadi lawan politiknya. Dari tiga kasus, nampak kemiripan, yaitu penghianatan. Ini yang perlu diwaspadai Presiden Jokowi.

Kesimpulan dan Saran

Perintah gebuk dan tendang lebih merupakan pesan psikologis dari Presiden Jokowi, bahwa pemerintah serius membaca situasi dan kondisi tentang upaya yang akan merubah dasar negara. Lebih spesifik pesannya, jauhi pelanggaran terhadap konstitusi. Dia akan menindak tegas upaya inskonstitusional dalam bentuk apapun. Ketegasan presiden sedikit menunjukkan bahwa situasi memang tidak baik, tetapi tidak terlalu genting.

Menyikapi perintah keras tersebut, mohon aparat keamanan lebih berhati-hati dalam implementasi pelaksanaan perintah. Apabila jajaran bawah keliru dalam menerjemahkan  perintah keras tersebut,  justru bisa menjerumuskan bangsa kedalam konflik yang jauh lebih berbahaya.

Berdasarkan sejarah masa lalu, Presiden Jokowi perlu segera melakukan pemeriksaan sekuriti, melakukan reshuffle mereka-mereka yang dianggap tidak bermanfaat dalam jabatannya. Dengan hak prerogatifnya, pejabat-pejabat yang merugikan pemerintah atau tidak sejalan dengannya dan bahkan sudah nekat membela  koruptor sebaiknya segera disingkirkan. Presiden perlu lebih tegas mendukung KPK, karena di situ kunci dukungan rakyat terbesar kepadanya.

Presiden tidak perlu ragu-ragu dalam bertindak, beliau adalah pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat. Seperti saran penulis beberapa waktu lalu, dalam menghadapi jeger-jeger itu, presiden perlu ujung tombak seorang tokoh yang disegani mereka. Seseorang itu hebat kalau masih menjabat, tetapi kalau sudah diluar sistem dia akan lemah dengan sendirinya. Paling bisa ya berteriak-teriak, mengompori dan menebar racun. Mereka lupa, sulit menembus  konstitusi yang melindungi presiden itu.

Kalau tetap ada yang nekat ya siap-siap, memang mau di cap makar? Bukan soal di penjaranya tetapi malunya  itu. Sudahlah sabar untuk mereka yang anti Jokowi,  perangnya nanti saja di 2019, tidak usah bertempur sekarang, kita akan susah bersama. Jangan mau diperalat oleh kekuatan asing, itu jelas ada. Semoga bermanfaat.

Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan,  Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net

This entry was posted in Hankam. Bookmark the permalink.