Presiden Jokowi Akan Dihabisi di Killing Ground
19 May 2017 | 7:39 am | Dilihat : 7173
Presiden Joko Widodo di acara JBMI di Pesantren Mustofhawiyah Purba Baru, Kabupaten Madina (foto : jogja Tribunnews)
Sejak mengikuti pendidikan intelijen penggalangan di Pusdik Intel ABRI Tahun 1977, penulis mendapat pelajaran tentang salah satu fungsi pengamanan yaitu kewaspadaan terhadap kelemahan diri sendiri berupa titik rawan, yang apabila diekploitir lawan akan menyebabkan kelumpuhan, bahkan kelumpuhan permanen.
Melihat situasi dan kondisi yang berlaku saat ini, penulis melihat bahwa setelah serangan gencar terhadap Ahok sebelum, saat pilkada maupun setelahnya, hingga dia di vonis dua tahun (putusan pengadilan saat ini belum mempunyai keputusan hukum yang tetap). Menurut penulis, Ahok hanyalah sasaran antara yang sebelumnya bernilai penting tetapi kini nilainya sudah tidak penting lagi, karena momentum sudah lewat.
Kini yang menjadi sangat penting bagi si perencana (operasi intelijen penggalangan), Jokowi adalah target utama yang selama ini disembunyikan. Dinamika politik mengisyaratkan bahwa Presiden Jokowi akan diturunkan secara inkonstitusional dengan memanfaatkan fakta-fakta yang selama ini selalu ditiupkan melalui media. Penulis mencoba menganalisis ancaman terhadap presiden tersebut.
Asing Ikut Bermain Dalam Kasus Ahok
Setelah Ahok di vonis dua tahun, maka muncul gelombang dukungan di dalam maupun luar negeri berupa pengiriman bunga dan pemasangan lilin di Jakarta dan beberapa kota lain. Aksi solidaritas yang digelar komunitas WNI di luar negeri itu menurut media berlangsung di kota-kota di beberapa negara, antara lain Gronigen, Amsterdam, Den Haag, Utrecht di Belanda; Sydney, Canberra dan Perth di Australia; Washington DC, New York di AS, Sydney, Perth di Australia, Christchurch NZ, Vancouver Canada.
Seruan aksi 1.000 lilin untuk Ahok masif beredar di medsos, di Makassar dipusatkan di Pantai Losari (foto : Makassar.Terkini)
Selain itu beberapa media Barat menayangkan pemberitaan seperti The Guardian, The Sydney Morning Herald, CNN, AFP, New York Times, juga The Star Malaysia dan Straits Times, Singapura. Nada pemberitaan umumnya sama, "Jakarta governor Ahok found guilty after landmark Indonesian blasphemy trial". Ahok dinyatakan bersalah atas penodaan agama dalam persidangan yang dipandang sebagai tes atas toleransi beragama, pluralisme dan kebebasan berbicara di Indonesia.
Nah, kasus yang sebenarnya sektoral itu menjadi perhatian dunia luar karena menyentuh persoalan penerapan demokrasi dan pluralisme dari konsep Barat. Di samping itu mereka memperhatikan Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia tetapi tetap mampu selama ini menerapkan sistem demokrasi yang pada dasarnya tidak disukai oleh Muslim garis keras. Oleh karena itu penulis melihat, bukan tidak mungkin adanya unsur asing yang terlibat dalam perhelatan politik di Indonesia tersebut.
Nah, melihat kasus Ahok, kenapa dia menjadi lemah?. Menarik kajian dari Lies Marcoes, aktivis HAM serta ahli kajian Islam. Menurutnya, bahwa aksi solidaritas Ahok juga bisa dilihat sebagai aksi solidaritas kepada etnis China di Indonesia, "Sejak masa kolonial memang belum selesai persoalan ke-Indonesia-an etnis China, " tegasnya.
Presiden Jokowi denga Presiden China Xi Jin-Ping di KTT G-20 (foto: Reuter)
Etnis Arab juga kelas dua di masa kolonial sama seperti China tetapi karena tidak ada persoalan dengan agama, mereka (etnis Arab) sepertinya bisa langsung mencampur dengan masyarakat. "Kalau terhadap etnis China, selalu ada kecurigaan. Kecurigaan yang berbahaya, kecurigaan yang tidak pernah selesai dalam kebangsaan kita. Tidak pernah bisa dianggap menjadi Indonesia," tegasnya.
Dari fakta tersebut, nampak asing memanfaatkan kasus tersebut, mereka membacanya sebagai politik aliran (sektarian), intinya masalah ras dan agama. Apakah demikian? Titik rawan Ahok yang menjadikan titik matinya adalah penyentuhan akidah Islam. Sebuah pelajaran bagi kita bersama, jangan sentuh soal Akidah, Rasulullah dan Al-Qur'an. Contoh jelas ada pada kasus Charlie Hebdo dimana kartunis di Paris dibantai kelompok ekstrem Islam, karena membuat kartun Nabi Muhammad.
Nah, Ahok yang awalnya demikian superior, karena kesalahan mulut (strategi) menyentuh akidah Islam, akhirnya habis dikepung umat Muslim. Bukan hanya kalah dalam Pilkada tetapi divonis dua tahun. Semuanya, termasuk parpol pendukungnya termasuk pemerintah goyang dengan tekanan.
Apakah persoalannya hanya itu? Sejak awal Presiden Jokowi sudah mengatakan masalahnya di Pilkada DKI kok larinya ke saya (presiden)? Sudah disadari bahwa Ahok hanya sasaran antara. Ahok mudah digarap karena dia bukan anggota parpol, hanya diusung oleh PDIP, Golkar, NasDem dan Hanura. Posisi Ahok tidak seteguh baja (arti sebenarnya). Lihat setelah jatuh, mana ada parpol yang masih membelanya. Realitas politiknya, kini walau sementara, Djarot yang anggota PDIP jadi Plt Gubernur.
Apakah ada Badan Intelijen asing ikut bermain? Sejak lama intelijen AS dan Australia selalu menyadap presiden RI dan tokoh utama, perlu diwaspadai (Foto : THING2THING)
Kesimpulan yang bisa ditarik dari kasus Ahok, kalau mau jadi pemimpin puncak di Indonesia, pertama, sebaiknya gabung di parpol, agar lebih kuat perlindungannya. Kedua, fahami bahwa kelompok anak muda Muslim kini membuktikan mempunyai taring pada era digital. Ketiga, fahami bahwa asing setiap saat akan mencampuri urusan dalam negeri kita apapun masalahnya.
Titik Rawan Presiden Jokowi, Antara Gebuk dan Rangkul
Dalam teori intelijen, konsep "Let Them think, Let Them decide," masih tetap menjadi acuan dalam operasi conditioning. Rakyat/masyarakat diberikan masukan berupa isu, berita miring dari orang (tokoh) yang dijadikan target, biarkan mereka berfikir dan biarkan mereka mengambil keputusannya sendiri. Ini dilakukan oleh mereka yang anti Jokowi, yang tidak puas, yang berambisi, koruptor, lawan politik. Dari sisi kepentingan ekonomi, politik dan pertahanan. negara lain juga akan ikut memanfaatkan. Mereka tidak peduli, dan bahkan kalau perlu mengganti presiden.
Presiden Jokowi dengan pembantu utama bidang Hankam (foto : Tribun.Jogja)
Pak Jokowi sudah sejak lama diisukan orang tuanya tidak jelas, berbau PKI dan keturunan China. Jokowi mengeluhkan ulah para pihak yang terus-terusan mengaitkan dirinya dengan PKI. Presiden menegaskan, PKI akan "digebuk" jika berani muncul di Indonesia. Dia mendasarkan sikapnya pada Tap MPRS (25/1966) yang melarang PKI hidup di Indonesia. Kalau PKI muncul memang harus di gebuk presiden karena memang dilarang.
Dalam pertemuan yang dilakukannya bersama para pemimpin redaksi di Istana Merdeka, Rabu (17/5/2017), Presiden Jokowi menjamin dirinya akan "menggebuk" siapapun atau organisasi apapun yang melanggar konstitusi dalam menyampaikan pendapat dan berserikat. Disini sebaiknya presiden lebih berhati-hati dan waspada, ada masalah yang sifatnya relatif, mohon waspada dan tidak terjebak dan tergiring menjadi konflik vertikal karena ada yang menjerumuskan beliau.
Menarik yang disampaikan oleh Hersubeno Arief, Konsultan Media dan Politik tentang perlunya pemahaman dinamika sosio-demografis dan politis umat Islam Indonesia saat ini. Semua mengetahui bahwa jaman mulai berubah, kini kita berada pada era internet yang kemudian disebut sebagai era digital, yang segala sesuatunya berubah sangat cepat. Pemahaman dan adaptasi terhadap perubahan itu sangat penting, sebuah keniscayaan, hukum alam yang tidak bisa ditentang.
Presiden Jokowi mengingatkan, sejarah mencatat bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir dari 'rahim' rakyat (foto : The President Post)
Era digital mengubah semua struktur dan tatanan kehidupan, termasuk dalam soal demokrasi, pemerintahan dan kekuasaan. Kebebasan berpendapat, termasuk melakukan kritik terbuka terhadap pemerintah, HAM, kesamaan gender dan lain lain. Informasi bergerak dengan sangat cepat tidak dibatasi ruang dan waktu. Secara demografis komposisi penduduk Indonesia didominasi oleh usia muda yang produktif yang mayoritas beragama Islam.
Titik rawan Jokowi apabila dibaca dengan pisau intelstrat komponen biografi masih berada pada pemahaman paradigma lama. Kita sering mengartikan presiden adalah penguasa, justru bukan pelayan rakyat yang dipilih melalui pemilu. Pada era demokrasi menjadi presiden adalah mandat dari rakyat. Di era digital kekuasaan itu bukan owning (kepemilikan), tapi sharing (harus berbagi), menjadi milik bersama.
Kalau acara saling gebuk dalam peringatan HUT RI begini tidak apa-apa (foto : Bali.Tribunnews)
Bila muncul suara kritis, bukan pukul, tapi rangkul. Tanya pada mereka, ada apa? Apakah ada yang bisa kita bicarakan? Apakah bisa kita lakukan kompromi, mencari jalan keluar bersama. Aksi Bela Islam memunculkan fenomena baru menyatunya berbagai harakah (gerakan) Islam yang sebelumnya tidak pernah bisa menyatu.
Sisi lain kelemahan Jokowi, dalam medan tempur politik apabila main gebuk, posisinya tidak kuat, hanya sebagai petugas partai. Akan sangat berbeda apabila Jokowi menjadi Ketua Umum PDIP misalnya, kemudian Jokowi mampu merapatkan PDIP dengan Golkar lebih elok bila Golkar juga sudah mempunyai Ketua Umum baru yang sejalan dengannya.
Nah, dalam kondisi saat ini, kini presiden memerlukan tokoh yang dipercaya berbagai aliran baik kelompok lintas agama, Muslim moderat, radikal, intoleran maupun bromocorah berdasi sekalipun. Biarkan si tokoh (cukup satu orang) yang mewakili pemerintah, diberi mandat untuk merangkul dan menyatukan kembali Indonesia. Cukup seorang tokoh garis lurus, bersih, Muslim, tidak perlu orang hebat dan pintar, tetapi dia adalah orang yang terpercaya di republik ini. Penulis berani memastikan, apabila sudah didapat dan diberi mandat, mereka yang berniat menjatuhkan, merusak nama dan melengserkan sekalipun akan tiarap dan tidak laku, termasuk pemain luar negeri sekalipun.
Ada yang masih memimpikan reformasi 1998 akan diulangi, apakah akan didukung rakyat? (Foto : indocropc)
Kini kondisi pematangan anti Jokowi sudah demikian jauh, dan dengan adanya indikasi keterlibatan asing, penulis melihat sistem counter pemerintah nampaknya tidak akan mampu menyelamatkan pemerintahan Jokowi. Apakah intelijen sudah mendapat informasi keterkaitan konflik LCS dengan anti Jokowi? Ini pekerjaan rumahnya.
Kosa-kata gebuk perlu dihindari, itu adalah killing ground bagi presiden, terlepas atas pemikiran sendiri ataupun saran staf. Penulis memperkirakan justru apabila dilakukan akan banyak pihak yang bersatu menembakinya secara terstruktur dan teratur hingga Jokowi lengser. Konflik Suriah yang berdarah-darah diawali karena ada demonstrans yang digebuk dan meninggal dunia.
Diperlukan kecerdasan untuk mengantisipasi nafsu mereka yang mau menurunkannya. Serahkan kepada si tokoh hanya untuk menenteramkan situasi dan merajut persatuan, jangan dihadapi presiden sendiri. Presiden adalah final decesion, tidak berada pada tataran tehnis. Kita bersama faham siapa mereka-mereka yang anti presiden itu, tunjuk tokoh yang juga mereka segani. Semoga bermanfaat.
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net