Aksi 505 dan Infrastruktur Revolusi Muslim di Indonesia Menuju 2019

6 May 2017 | 4:02 pm | Dilihat : 1890

massa-aksi-55-penuhi-masjid-istiqlal_20170505_142651 (1)

Suasana massa aksi 55 memenuhi halaman Masjid Istiqlal, Jumat (5/5). Foto :wartakota.Tribunnews

Sebelum hari Jumat 5 Mei 2017, masyarakat Jakarta merasa gelisah dengan sebaran berita akan adanya aksi 505, yaitu berkumpulnya para mantan pendemo 411 dan 212 untuk salat Jumat di Masjid Istiqlal dan kemudian melanjutkan demonstrasi ke Mahkamah Agung. Ada media elektronik  yang membuat talk show menyatakan bahwa kalau Ahok tidak dihukum lima tahun, mereka akan melakukan revolusi, serem sekali.

Tim advokasi GNPF,  Kapitra Ampera kecewa atas tuntutan jaksa terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kasus dugaan penistaan agama. Menurutnya, keputusan jaksa tersebut tak mewakili tuntutan umat Islam. Kapitra menyampaikan seharusnya Ahok dituntut dengan Pasal 156a KUHP, sehingga tuntutan kepada Ahok akan bisa maksimal. Jaksa menuntut Ahok satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Inilah  yang dipermasalahkan dan GNPF-MUI kemudian melakukan aksi 505.

syafiie maarif

Mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif, demo 505 hanya menguras energi bangsa (foto: imgrum)

Di lain sisi, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif menilai aksi unjuk rasa berjuluk 505 yang akan digelar Jumat, 5 Mei 2017, hanyalah perbuatan sia-sia dan tak ada gunanya. Menurut Buya, aksi 505 hanya menguras energi bangsa. Pengerahan massa pun, kata Buya, tidak diperlukan lagi mengingat unsur politik dalam perkara yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sudah tidak ada lagi.

Ketua PBNU, Said Aqil Siradj, Rabu (3/5/2017), menjawab pertanyaan wartawan terkait rencana Aksi 55, "Demo itu nggak ada gunanya. Apa sih maksudnya?. Demo itu menghabiskan energi, waktu, duit, kecuali memang ada yang ngongkosin, kecuali ada yang mengerahkan," kata Ketua Umum PBNU itu.

Ketua-PB-NU-KH-Said-Agil-Siradj

Ketua Umum PBNU,  KH Said Aqil Siradj (foto; aktual)

Dalam pelaksanaannya pada Jumat (5/5/2017), ribuan peserta aksi 505 yang dipelopori GNPF-MUI,  berkumpul dan memadati Masjid Istiqlal, dimana sebagian besar pesertanya berasal dari Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Pemuda Arab Indonesia, dan Komunitas Alumni 212.

Gerakan Massa  505

Setelah salat Jumat, para peserta yang siap dengan atribut dan bendera masing-masing, mayoritas putih-putih akan bergerak keluar dan menuju ke gedung Mahkamah Agung di Jl. Merdeka Utara. Tetapi massa terpaksa berhenti di muka kantor Kementerian Dalam Negeri, karena jalan telah ditutup polisi dengan kawat berduri dan blokade lainnya.

hqdefault

Kapolri Jenderal Tito Karnavian patut diacungi jempol, sukses mengamankan demo. Dengan tegas menyatakan bahwa yang tidak berkepentingan tidak usah hadir dalam demo 505, dan supaya demo tertib (Foto; Youtube)

Karena tidak diijinkan mendekat ke gedung MA, sebanyak 11 orang perwakilan massa menemui pimpinan MA untuk menuntut majelis hakim Pengadilan Negeri Utara menjaga independensi dalam memberi putusan perkara penistaan agama dengan terdakwa Ahok.  Perwakilan itu diterima  masuk ke gedung MA untuk melakukan dialog sekitar pukul 13:30 Wib. Mereka yang diterima adalah Didin Hafidhudin, Sobri lubis, Habib Abdurrahman bin Hasan Al Haddad, Kapitra Ampera, Ahmad Doli Kurnia, Nasrullah Nasution, Ahmad Lutfi Fathullah, Muhammad Lutfi Hakim, Heri Aryanto, Nazar Haris dan Bobby Herwibowo.

Ketua GNPF-MUI, Bachtiar Nasir, tidak ikut ke dalam Gedung MA dan lebih memilih mengisi orasi di atas mobil komando di depan Kemendagri. Bachtiar Nasir mengajak peserta Aksi 505 berlapang dada atas apa pun hasil persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Ahok. Dia mengatakan sudah seharusnya peserta aksi menerima apa pun putusan peradilan.

Massa kemudian  membubarkan diri setelah melaksanakan salat Ashar berjamaah.  Bachtiar Nasir mengucapkan rasa terima kasihnya kepada umat Islam yang mampu melaksanakan aksi dengan tertib dan kondusif. Dia menegaskan bila saat ini umat Islam harus segera melakukan revolusi. Bachtiar yakin bila umat Islam mampu bangkit secara revolusioner maka Indonesia akan menjadi negara maju. “Umat Islam sekarang banyak teriak revolusi, saya kira memang harus revolusi. Tapi yang harus kita bangun adalah insfrastruktur revolusi karena itu sumber daya insani kita,” tegasnya.

Analisis

Apa yang ditakuti oleh masyarakat Jakarta terkait kemungkinan kerusuhan dari aksi 505 ternyata tidak terjadi. Aksi berjalan tertib, seperti yang disampaikan sebagai Aksi Damai. Dalam hal ini Polri dengan tegas melakukan blokade agar massa tidak ke Gedung Mahkamah Agung. Semua terkendali, dan menurut tanpa adanya insiden konflik fisik. Aspirasi massa diterima dan didengar keinginannya.

604449_620

Laskar Front Pembela Islam membentuk barisan untuk mengamankan massa aksi damai 505 yang berkumpul di depan Gedung Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Jumat, 5 Mei 2017. (Foto : TEMPO)

Apakah greget GNPF-MUI sudah habis? Masalahnya bukan di situ nampaknya. Walau di salah satu media perwakilan pengunjuk massa menyatakan penistaan agama Islam menurut Al Quran bahkan harus dihukum mati, mereka menuntut lima tahun untuk Ahok. Sementara Jaksa penuntut umum menuntut Ahok satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.

Jelas ini dua persepsi yang jauh berbeda. Di satu sisi persepsi massa GNPF-MUI terkait kepercayaan, di lain sisi persepsi pertimbangan hukum aparat dengan pembuktian hukum. Rasanya jadi aneh karena gerakan yang demikian menghabiskan enersi dan dana yang jelas sangat besar, sukses mendatangkan jutaan massa pada aksi 411 dan 212,  kini target mereka dihukumnya hanya ringan setelah melalui persidangan maraton.

Penulis menggaris bawahi apa yang dikatakan oleh Buya Syafii Maarif, bahwa gerakan 505 tidak ada gunanya karena tidak ada unsur politik dengan kalahnya Ahok. Di lain sisi Ketua PBNU Said Agil menyatakan demo tidak ada gunannya, karena menghabiskan enersi, waktu, duit kecuali ada yang mengerahkan.

Pendapat dua tokoh Islam moderat itu menggambarkan bahwa unsur politis sangat kental dalam aksi-aksi selama ini dan jelas ada yang mendanai. Nah, mari kita lihat setelah 505 ini akan kemana para penggiat tersebut menuju.

Yang perlu disadari bersama, dalam berpolitik berlaku hukum kejam yang tidak tertulis, pertama kepentingan, kedua memanfaatkan atau dimanfaatkan dan ketiga tidak ada loyalitas. Setiap saat politisi bisa loncat pagar, koalisi bisa berpindah tanpa beban. Ini yang harus difahami para ulama tersebut, sehingga tidak hanya sebagai sarana politik belaka.

bachtiar nasir

Orasi Menggetarkan Ustadz Bachtiar Nasir pada Aksi Bela Islam 212. Kaum baru? (foto :Youtube)

Bagaimana dengan gerakan-gerakan sejak 4 November 2016 hingga kini? Gerakan political pressure terhadap Ahok pada awalnya merupakan upaya menurunkan elektabilitasnya yang demikian tinggi. Dalam perjalanannya Ahok masuk ke killing ground dalam kasus pengucapan Al Maidah-51, gelombang serangan terus menekannya. Kita dengar bahwa yang mengongkosi menurut laporan intel adalah Pak SBY, yang marah dan menyebut intelligence failure. Pertempuran ketat terjadi antara parpol pendukung pemerintah dengan pendukung Cikeas.  Pendukung Kertanegara duduk manis.

Setelah Cikeas runtuh dengan pengondisian, ternyata ada salah perhitungan dari Timses Ahok, gerakan GNPF-MUI semakin massif dan menemukan bentuknya. Mereka mengkristal dan menyatu dalam isu solidaritas agama.  Menurut GNPF, umat Islam bereaksi karena ada hal yang menyinggung perasaaannya. Ada tiga hal yang membuat umat Islam  bereaksi bila akidah, kitab dan rumah Allah diganggu. Solidaritas yang dibangun mendapat tanggapan positif, dan mampu mengondisikan umat Islam tidak mendukung Ahok-Djarot, bergeser ke kubu Anies-Sandi yang sesama Muslim. Kinerja Ahok yang dikatakan tinggi menjadi leleh, karena kini yang disentuh persoalan hati dan masalah akidah.

Hasil operasi solidaritas, Anies-Sandi menang mencengangkan dengan mengantongi 57,95 persen atau sebanyak 3.240.057 suara. Sementara Ahok-Djarot mendapatkan 42,05 persen atau sebanyak 2.351.141 suara. Para politisi pasti melihat  potensi menarik yang tadinya terabaikan, bahwa umat Islam di Indonesia apabila disatukan dengan sentuhan solidaritas, dikaitkan dengan akidah, kitab dan rumah Allah terbukti mampu mengalahkan kekuatan politis yang manapun.

tokoh gnpf

Tokoh-tokoh GNPF MUI (Foto : MuslimCyber)

Pada awalnya tidak terbayangkan bahwa Habib Riziek mampu menjadi tokoh Nasional yang mampu mengumpulkan jutaan massa di Jakarta dengan tertib. FPI yang dahulu hanya dikenal suka sweeping, kini menjadi ujung tombak yang mampu mempersatukan Muslim (sementara di Jakarta), naik kekelas nasional.

Nah, kini yang terbaca, Aksi 505 hanya merupakan pembuktian bahwa masih banyak Muslim yang menginginkan kepemimpinan Muslim nasional. Hal ini disadari oleh ulama di GNPF.  Menarik ucapan Ketua GNPF, mengajak peserta Aksi 505 berlapang dada atas apa pun hasil persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Ahok. Dia mengatakan sudah seharusnya peserta aksi menerima apa pun putusan peradilan. Selain itu, Bachtiar Nasir mengatakan, “Umat Islam sekarang banyak teriak revolusi, saya kira memang harus revolusi. Tapi yang harus kita bangun adalah insfrastruktur revolusi karena itu sumber daya insani kita,” tegasnya.

Secara teori, Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama.

SBY-Prabowo-dan-Mega

Siapa akan menjadi patron dan King Maker Tahun 2019? Prabowo sudah mempunyai pengalaman di Pilkada DKI Jakarta 2017 (Foto: Nusantara.news)

Kesimpulannya, kekuatan Islam di Indonesia kini tidak hanya menjadi milik kelompok moderat saja, tetapi justru kepemimpinan  yang masuk kategori  radikal dan intoleran makin disukai. Mereka berani bertindak dan bersikap. Oleh karena itu pengaruh mereka yang menyuarakan khilafah saja makin mampu menjual idenya di kalangan orang muda Indonesia yang jumlahnya sekitar 60 persen. Sebuah pekerjaan rumah aparat intelijen. Selain itu, infrastruktur revolusi kini sedang dikemas, sudah dicoba di DKI dan sukses, ini bagian pokoknya.

Perhelatan politik di DKI Jakarta merupakan fenomena yang harus diteliti oleh para politisi dan para calon presiden dalam menuju ke 2019. Dua  parpol utama sebagai jangkar bangsa selama ini diduduki oleh PDIP dan Golkar adalah parpol nasionalis. Bila dikemas dengan dengan apik,  pada 2019 salah satu parpol Islam akan merebut posisi itu, paling tidak akan mampu menggalang massa Muslim dengan pendekatan serupa di DKI.  Jakarta yang dalam pemilu 2014 dikuasai PDIP bersama Golkar dan Hanura serta NasDem sebagai pendukung Ahok-Djarot, terbukti kalah oleh gabungan Parpol Nasionalis Gerindra dan PKS serta parpol berbasis Islam lainnya, terutama keberpihakan massa Muslim yang terkondisikan. Kira-kira begitu membacanya. PRAY.

Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.