AS Harus Mengalkulasi Ulang Pre-Emptive Strike Ke Korut
30 April 2017 | 10:53 am | Dilihat : 1029
Konflik Bersenjata, terlebih dengan rudal bermuatan nuklir dan SPM lainnya jelas akan merugikan banyak pihak
Diatas kertas bagi Amerika, dalam hitungan menit, alutsistanya akan mampu menghancurkan target militer terpilih dari Korea Utara, baik silo peluru kendali maupun reaktor nuklir. Akan tetapi AS harus memikirkan dampak serangan tersebut baik terhadap sekutunya Korea Selatan dan Jepang, maupun reaksi dunia internasional. Sekecil apapun serangan yang dilakukan ke wilayah Korea Utara diperkirakan akan memancing perang besar, karena pejabat Korea Utara juga mengancam akan membalas dengan persenjataan yang mereka miliki.
Korea Utara kini jelas tidak sama seperti masa lalu, teknologinya sudah semakin maju. Baik kualitas maupun kwantitas alutsistanya bertambah baik dan banyak , tetapi yang jelas dan tidak berubah adalah militansi dan fanatisme rakyat terhadap kedaulatan dan kesetiaan terhadap dinasti dan negaranya. Korea Utara adalah satu-satunya negara yang hingga kini masih tetap menutup diri, menolak dan menentang faham demokrasi. Rakyatnya miskin dan hidup dalam tekanan dan kesetiaan antara hidup mati kepada rezim. Perekonomiannya dikendalikan secara terpusat, warganya tidak memiliki akses ke media eksternal dan tidak memiliki hak istimewa, tidak ada kebebasan untuk bepergian ke luar negeri.
Mengapa AS Mau Menyerang Korut?
Apabila mengikuti perkembangan pengerahan armada tempur AS ke Semenanjung Korea, nampak Amerika sedang mempersiapkan perang, baik melakukan pre-emtive strike maupun langkah pertahanan. Beberapa gugusan kapal induk yang mengangkut pesawat tempur diantaranya USS Carl Vinson, USS Ronald Reagan dan penyiapan USS Nimitz serta perangkat kapal penjelajah dan perusak, serta kapal selam peluncur rudal USS Michigan di Busan, Korea Selatan, menunjukkan AS siap melakukan perang besar.
Presiden AS Donald Trump bersama anggota kabinetnya (foto : WTAQ)
Pada hari Rabu (25/4/2017), pemerintah Amerika mengeluarkan pernyataan bersama yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Rex Tillerson, Menteri Pertahanan Jim Mattis dan Direktur Nasional Intelijen Dan Coats. Selain ketiganya, hadir juga Ketua Gabungan Kepala Staf Jenderal Joe Dunford. Pernyataan diawali dengan ungkapan, bahwa "Upaya sebelumnya telah gagal untuk menghentikan program senjata ilegal dari Korea Utara dan uji coba rudal nuklir dan balistik. Dengan setiap provokasinya, Korea Utara membahayakan stabilitas di Asia Timur Laut dan menimbulkan ancaman bagi Sekutu kami dan tanah air AS."
Lebih lanjut dinyatakan, "The United States seeks stability and the peaceful denuclearization of the Korean peninsula. We remain open to negotiations towards that goal. However, we remain prepared to defend ourselves and our allies."
Setelah menduduki jabatannya, Presiden Trump memerintahkan peninjauan menyeluruh atas kebijakan AS yang berkaitan dengan Korea Utara. Pendekatan Presiden bertujuan untuk menekan Korea Utara untuk membongkar rudal nuklir, rudal balistik, dan proliferasi dengan mengetatkan sanksi ekonomi dan melakukan tindakan diplomatik dengan Sekutu dan mitra regional. Pemerintah AS akan melibatkan anggota masyarakat internasional yang bertanggung jawab untuk meningkatkan tekanan terhadap Korea Utara agar kembali ke jalur dialog. Para pejabat teras tersebut memberi penjelasan kepada Anggota Kongres mengenai peninjauan presiden.
Menteri Pertahanan AS, Jim Mattis, purn Jenderal Marinir (foto : metroweekly)
Sebelumnya Menteri Pertahanan, Jim Mattis menyatakan di Korea Selatan, "Setiap serangan terhadap Amerika Serikat, atau sekutunya, akan dikalahkan, dan setiap penggunaan senjata nuklir akan mendapat tanggapan yang akan efektif dan luar biasa," kata Menteri Pertahanan Jim Mattis.
Dari pernyataan hasil pertemuan darurat tersebut, penulis melihat justru para pejabat Amerika yang khawatir bahwa Korea Utara justru yang akan melakukan pre-emptive. Apakah NSA dan CIA telah memonitor bahwa Kim Jong-Un yang akan melakukan serangan ke AS, Korea Selatan dan Jepang? Atau ada masalah lain di belakangnya dengan semakin meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea?
Dari sisi AS, Presiden Donald Trump mengatakan bahwa AS tidak nyaman dengan pengembangan rudal balistik Korea Utara serta proliferasi nuklir yang dikabarkan telah mampu membuat beberapa warhead nuklir. Presiden dan tim kebijakan luar negerinya telah meningkatkan retorika tentang Korea Utara, dan menyatakan bahwa kesabaran AS terhadap program nuklir dan rudal Korea Utara telah habis.
Sementara di dalam negerinya, sejak dilantik, Presiden Donald Trump terus menghadapi tekanan serta demonstrasi dari warga AS. Dukungan melalui polling terhadap Trump setelah dilantik hanya berkisar 40 persen, terlihat terendah dibandingkan dukungan terhadap Barack Obama (61 persen), George Bush (59 persen) dan Bill Clinton (52 persen). Ini menunjukkan bahwa Presiden Trump setelah terpilih sebagai presiden, kurang popular dibandingkan para pendahulunya. Citra dan kredibilitas serta posisinya akan bisa terganggu dan terancam pada masa-masa mendatang terkait penerapan sistem demokrasi di AS. Impeachment adalah hal yang lumrah pada sistem demokrasi.
Kapal Induk Carl Vinson mengangkut lebih dari 80 pesawat, termasuk pesawat tempur F / A-18F Super Hornet, E-2C Hawkeye dan EA-18G Growler (di tengah) (fgoto : dailymail)
Trump telah memerintahkan peninjauan kebali kebijakan menyeluruh terhadap Korea Utara yang kini berujung kepada pengerahan kekuatan militer dalam jumlah yang sangat besar ke kawasan Korea. Isu ancaman nuklir dan konflik dengan Korea Utara jelas sangat besar dan menjadi viral, karena menjadi puncak kekhawatiran masyarakat kawasan di Semenanjung Korea, Laut Jepang. Laut China Timur dan Asia Tenggara. Korea Utara menuduh AS menciptakan 'hot spot,' yang berpotensi akan mengobarkan perang nuklir yang dampaknya akan meluas. Jadi dari sisi AS, pertama termonitor Korea Utara akan melakukan serangan dan kedua adanya kebutuhan dikelolanya isu. Secara psikologis, masyarakat sebuah negara akan bersatu apabila negaranya berkonflik dengan negara lain.
Membaca Korea Utara Dari Persepsi Intelijen
Barang yang paling ditakuti oleh lawan Korea Utara, khususnya AS adalah peluru kendali (rudal) berkepala nuklir yang diberitakan telah mampu dibuat oleh Korea Utara dibawah kepemimpinan Kim Jong-Un. Upaya Korea Utara untuk memiliki senjata nuklir dengan rudal balistik adalah prioritas kebijakannya untuk melawan AS serta sekutunya. Jong Un yang dijuluki warga China sebagai "Fatty Kim The Tird" menerapkan konsep deterrence untuk mempertahankan diri agar tidak diserang oleh AS.
Kim Jong-Un di China dikenal sebagai "Fatty Kim the Third" dalam empat tahun menguji 66 Rudal (foto : Mirror)
Selama empat tahun berkuasa, Kim Jong-Un telah melakukan pengujian 66 buah peluru kendali, dua kali lebih banyak yang dikerjakan ayahnya yang memerintah selama 17 tahun. Disamping itu jarak jangkau rudal terus ditingkatkan. Korea Utara diketahui mampu membuat miniatur senjata nuklir yang kini diperkirakan siap ditembakkan sebanyak 10 hingga 16 bom nuklir.
Laksamana Bill Gortney, kepala Komando Luar Angkasa Amerika Utara, mengatakan kepada Kongres dua tahun yang lalu bahwa dia yakin Pyongyang dapat menggunakan rudal jarak menengah berkepala nuklir, dapat mencapai Korea Selatan atau Jepang. Yang lebih menakutkan, diberitakan media bahwa konsensus intelijen menyebutkan bahwa dalam jangka waktu 1,5 hingga tiga tahun kedepan, rudal nuklir Korea Utara bisa mencapai Los Angeles.
Korea Utara telah melakukan lima uji coba rudal pada tahun lalu dan memiliki empat jenis rudal yang berbeda. Rudal jarak pendek, Scud memiliki jarak jangkau 500 mil, yang bisa mencapai Jepang, rudal jarak menengah 'Nodong' mampu mencapai target baik di China atau Asia Tenggara. Rudal 'Musudan' memiliki jarak 2.500 mil dan bisa mencapai India sementara rudal 'Taepodong' dengan jarak jangkau 5.000 mil, bahkan bisa mencapai Skotlandia, Alaska, dan Kanada.
AS jelas sudah memetakan target, Punggye-ri adalah lokasi uji coba nuklir utama di Korea Utara, Youngdoktong di Timur di perbatasan China. Sangnam Ri, Yong-jo ri, Musudan Ri, dan Sangnam Ri, adalah tempat peluru kendali balistik diluncurkan, berada di Timur jauh, di mana kamp konsentrasi utama berada (foto : Asia Security Watch).
Korea Utara menyatakan telah melakukan lima uji coba nuklir yang berhasil pada tahun 2009, 2013 serta Januari dan September 2016. Uji coba pada September 2016 dilaporkan berkekuatan antara 10 dan 30 kiloton, dikonfirmasi, sebagai uji coba yang terkuat. Masyarakat Barat tidak jelas, yang sedang diuji bom atom atau bom hidrogen, Korea Utara mengklaim uji coba pada bulan Januari 2016 adalah bom hidrogen.
Pada Tahun 1969, CIA mengeluarkan sebuah briefing intelijen yang menyebutkan bahwa "Pyongyang tampaknya bersedia hidup dengan situasi yang melibatkan korban yang cukup besar dan menimbulkan bahaya berupa serangan balasan. Sebuah egoisme yang ekstrem dan semakin berkembang dari pemimpin dan pendiri negara tersebut, Kim Il Sung."
Pasukan Komando Korea Utara tercatat pernah meledakkan pesawat terbang, menculik warga sipil asing, mengirim pasukan komando ke pantai dan kepulauan Korea Selatan, dan beberapa kali mencoba membunuh pemimpin Korea Selatan. Pada akhir 1960-an menggunakan kekerasan untuk memicu kekacauan dan revolusi di Korea Selatan, untuk menyebarkan faham komunisme. Dua hari setelah pasukan komando menyerang Gedung Biru kepresidenan, pasukan Korea Utara merebut kapal perang ringan AS, Pueblo, dan menangkap lebih dari 80 awak kapalnya. Mereka dipenjara di sebuah kamp penjara selama hampir satu tahun dan kemudian baru dibebaskan.
Victor Cha, mantan staf Dewan Keamanan Nasional, Tahun 2012 berteori dalam bukunya "The Impossible State" bahwa Korea Utara akan memulai invasi ke Korea Selatan dengan menggunakan senjata kimia. Sebanyak 600 rudal Scud dengan kepala kimia akan ditembakkan ke semua bandara, stasiun kereta api dan pelabuhan laut Korea Selatan, sehingga tidak mungkin warga sipil melarikan diri," Korea Utara mungkin melakukan serangan dengan rudal jarak menengah dengan senjata kimia dan meluncurkannya ke basis di Jepang dan militer AS, yang akan membendung aliran bala bantuan langsung ke Korea Selatan.
Rudal balistik KN-11 (SLBM) berbahan bakar padat pertama Korea Utara diluncurkan dari kapal selam (Foto : CNN).
Pakar perang AS percaya bahwa Pyongyang akan mendahului menyerang Seoul sebelum sekutu bisa mendukung militer Korea Selatan. Cha mengatakan kemungkinan perang di Semenanjung Korea pada 2017, "Akan menjadi kondisi pertempuran paling tak kenal ampun yang bisa dibayangkan. AS diperkirakan . akan mengirim sekitar 20.000 militer per divisi tempur, 10 skadron Angkatan Udara yang masing-masing terdiri dari 20 pesawat tempur dan lima Kapal Induk.
Menurut Cha, pertempuran akan berlangsung gabungan pasukan AS dan Korea Selatan, menghadapi gempuran meriam Korea Utara, pemboman udara, di wilayah perang kota yang sudah tercemar 5.000 metrik ton senjata kimia. (Kim Jong-Nam dibunuh di Malaysia dengan senjata kimia VX). Mantan analis CIA Bruce Klingner juga mengatakan kepada Newsweek bahwa Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara, mungkin akan menyerang dengan serangan artileri jika terjadi serangan pre-emptive oleh A.S. atau sekutu. Sementara, Gary Luck, komandan pasukan AS di Korea Selatan pada tahun 1994 di bawah Presiden Bill Clinton, memperkirakan bahwa sebuah Perang Korea yang baru dapat menimbulkan satu juta kematian dan kerusakan ekonomi senilai US$ 1 triliun
Dengan demikian maka apabila terjadi peperangan antara AS beserta sekutu melawan Korea Utara, yang akan mengalami kehancuran adalah justru Korea Selatan. Dari sejarahnya Kim Jong-Un tidak takut dan tidak peduli, dia akan menyerang ibukota Korea Selatan, Seoul.
Pada 2015, AS pernah mengadopsi rencana perang baru, OPLAN 5015, yang mencakup serangan terhadap fasilitas nuklir dan rudal Korea Utara, serta "serangan pemenggalan kepala" terhadap Kim Jong-Un dan seluruh pemimpin Korea Utara. Disamping itu, Korea Selatan juga mengembangkan rencana serangan pre-emptive sendiri. Rencana tersebut dan telah diakuisisi oleh pejabat AS dan Korea yang menegaskan bahwa mereka memiliki senjata yang mampu menghancurkan beberapa senjata pemusnah massal Korea Utara. Untuk pertahanan, Seoul juga telah membangun sebuah sistem pertahanan THAAD yang rumit dari AS dan mampu menembak rudal musuh pada ketinggian.
Posisi China dan Ambisi Kim Jong-Un
Sebuah pertanyaan muncul, bagaimana posisi China apabila terjadi perang antara AS dengan Korea Utara? Pada Tahun 1961, China dan Korea Utara telah menandatangani sebuah perjanjian bantuan timbal balik. Perjanjian tersebut mengatakan jika sekutu mengalami serangan bersenjata, maka negara yang lainnya harus segera memberikan bantuan, termasuk dukungan militer. Tapi disebutkan juga dalam perjanjian, bahwa keduanya harus menjaga perdamaian dan keamanan.
Dalam menyikapi perkembangan akhir-akhir ini, beberapa ahli China berpendapat bahwa Beijing tidak harus membela Korea Utara dengan alasan bahwa program senjata nuklir Korea Utara telah melanggar pakta pertahanan bersama. Disatu sisi China berusaha agar konflik dalam skala besar di Semenanjung Korea harus dihindari. Beijing khawatir akan membengkaknya biaya perang terkait dengan kehidupan. Tetapi juga tidak dipungkiri akan mengalirnya para pengungsi Korea Utara ke China. Kini China harus memilih, Korea yang menguasai senjata nuklir atau Korea yang bersatu dibawah AS, nampaknya China lebih memilih Korea tetap sebagai sebagai bumpernya dan bersenjata nuklir.
Pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un mendapat Kunjungan Pejabat Senior Partai Komunis China Liu Yunshan, AS sebaiknya berbicara dengan China dalam konflik ini (Foto : CNN)
Sebenarnya pada tahun 2005, Korea Utara telah menyetujui kesepakatan penting untuk menghilangkan ambisi nuklirnya sebagai imbalan atas bantuan ekonomi dan konsesi politik. Pada tahun 2008, mereka menghancurkan menara pendingin di Yongbyon sebagai bagian dari kesepakatan perlucutan. Namun, kesepakatan dan pembicaraan berhenti pada tahun 2009. Kemudian pada tahun 2012, Korea Utara tiba-tiba mengumumkan akan menangguhkan kegiatan nuklir dan menempatkan moratorium tes rudal dengan imbalan bantuan pangan AS. Tapi perundingan gagal dilaksanakan karena Korea Utara menyalahi perjanjian, mencoba meluncurkan roket pada bulan April 2012. Di bawah Jong-Un, program rudal dan nuklir makin giat dilakukan.
Selain program pengujian rudal agresifnya, Kim memiliki rencana perang barunya dengan ambisinya sendiri dalam menyelesaikan invasi serangan militer ke Korea Selatan dalam waktu seminggu. Konsep akan dilaksanakan dengan menggunakan kemampuan serangan asimetris (termasuk senjata nuklir dan rudal). Tujuannya menyatukan kedua Korea di bawah pemerintahan Pyongyang dengan ideologi komunis. Korea Utara kini menyatakan bahwa sebuah konflik termonuklir dapat terjadi kapan saja. Dengan demikian maka sebenarnya Korea Utara dengan senjata nuklir mereka menyatakan siap perang.
Kesimpulan
Kini bukan hanya Amerika, tetapi juga Korea Selatan yang dipimpin oleh Kim Jong-Un yang terkenal berani dan brutal sebaiknya menahan diri agar tidak melanjutkan perseteruan dengan saling mengancam. Sebuah kecelakaan teknologi IT sangat mungkin terjadi, terlebih apabila sistem rudal diserang oleh hacker ataupun cracker. Walau tidak ada perintah peluncuran rudal, tetapi di layar monitor bisa saja terbaca rudal-rudal mulai meluncur, dan perangpun berlangsung tanpa terkendali.
Apabila dilihat dari sejarah, perang Korea, yang berlangsung dari tahun 1950 sampai 1953, dengan teknologi persenjataan yang sudah tua, korban yang jatuh, berjumlah sekitar 2,7 juta orang Korea tewas, bersama dengan 33.000 orang Amerika dan 800.000 orang China. Kini korban yang akan jatuh diramalkan pada first strike sebanyak satu juta jiwa.
Kondisi pada saat ini jelas membuat rasa tidak tenang baik masyarakat Korea Selatan maupun Jepang yang negaranya telah demikian maju dan modern. Sementara Presiden Donald Trump dan warga AS secara geografis jauh dari pusat konflik, saat ini masih aman dari serangan. Keputusan menyerang bagi Trump belum tentu menguntungkannya secara politis, bahkan akan dapat merugikannya. Korban di pihak sekutunya akan demikian banyak, kehancuran dan penderitaan akan terjadi di dua negara Korea Selatan dan Jepang yang sudah mapan dan makmur. Rakyat Jepang jelas sangat takut, mengingat mereka pernah merasakan kehancuran dengan bom nuklir. Bahkan Jepang mulai mempersiapkan warganya menghadapi kondisi perang di pantai Barat, bahkan ada yang memberi bunker bawah tanah.
Serangan AS sekecil apapun, jelas bisa memicu perang Korea jilid kedua. Trump bersama masyarakat intelijennya mungkin berkesimpulan, "probabilitas keberhasilan Korea Utara yang sangat rendah", bahkan meyakini bahwa gelombang serangan pertamanya ke Korea Utara, para penasihat serta perencana perangnya masih percaya bahwa AS dan Korea Selatan akan keluar sebagai pemenang, namun yang perlu diingat, korban yang jatuh akan menjadi bencana yang sangat besar dan mengerikan.
Presiden Soekarno memberikan anggrek dengan nama “Kimilsungia” atau dalam Bahasa Korea disebut “Kimilsunghwa” (bunga Kim Il Sung) pada 13 April 1965 saat Kim Il-Sung ke Bogor. Anggrek itu pun dibawa ke Korea untuk dirawat dan dikembangbiakkan menjadi lebih baik. Sejak tahun 1999, “Kimilsungia” ditetapkan sebagai bunga nasional Korea Utara. Di Korea “Kimilsungia” dijadikan festival merupakan simbol persahabatan Indonesia-Korea Utara, Keluarga Bung Karno sangat di hormati di Pyongyang (foto : myrepro).
Menurut penulis, Korea Utara masih bisa diajak bicara, karena mereka juga pernah menyetujui kesepakatan pelucutan nuklir. Kalau AS sulit berbicara dan berunding dengan Kim Jong-Un, Ibu Megawati atau keturunan Bung Karno lainnya menurut penulis dapat menjadi juru pendamai, mengingat hubungan yang sangat baik masa lalu kedua pemimpin bangsa. Believe it or not, kalau bu Mega ke Pyongyang, masih akan diterima Kom Jong-Un dengan karpet merah bak kepala negara. Dicoba saja tidak ada salahnya, demi perdamaian kawasan.
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net