Membaca Plan B Mantan Presiden SBY
16 February 2017 | 12:33 am | Dilihat : 4783
Selalu serius dan tegang, Pak SBY (Foto : JPPN)
Saat mengikuti pendidikan Sesko, seorang perwira diajarkan cara mengambil keputusan dari tiga alternatif terbaik yang dihitung dengan cermat. Perumusan keputusan dengan menggunakan dasar, kriteria esensial dan kriteria tambahan, dimana apabila plan A gagal, maka plan B akan dilaksanakan, dan seterusnya.
Nah, kini setelah melihat hasil quick count Pilkada DKI dari tiga lembaga survei, dimana paslon satu Agus-Sylvi berada di posisi ketiga dengan hanya memperoleh dukungan hampir 17 persen suara, sementara paslon dua Ahok-Djarot menuai sekitar 43 persen dan Paslon tiga Anies-Sandi mendapat sekitar 40 persen. Dengan demikian Pilkada DKI Jakarta akan dilaksanakan dalam dua putaran pada tanggal 19 April 2017.
Kini timbul pertanyaan dari sudut pandang intelijen. Apakah Mantan Presiden RI, SBY demikian mudah ditaklukkan? Nah, penulis pernah mendengar informasi adanya upaya penerapan strategi dalam pertempuran politik di pilkada DKI yang identik dengan perang Bubat. AHY pada awal kemunculannya sebagai paslon dinilai sebagai lawan berat Ahok, selain dia dikenal sebagai tentara dengan tiga gelar master, dibelakangnya ada Pak SBY yang pernah menjadi presiden RI dalam dua periode.
Oleh karena itu kegaduhan politik yang disampaikan oleh Antasari Azhar di Gedung Bareskrim Polri, dimana Antasari menyatakan Selasa (14 Februari 2017) merasa dikriminalisasi SBY. Dengan merekayasa kasus pembunuhan terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, hingga dia dihukum.
Saling tuduh antara Antasari Azhar dengan SBY (foto : Cenanews)
Menurut SBY, serangan Antasari Azhar diluncurkan dan dilancarkan satu hari sebelum pemungutan suara sebelum pencoblosan di Pilkada DKI Jakarta."Sulit untuk tidak mengatakan bahwa serangan fitnah dan pembunuhan karakter ini terkait langsung dengan pilkada Jakarta. Saya menduga ini direncanakan dan tidak muncul tiba-tiba oleh Antasari dan aktor politik di belakangnya," katanya. Selanjutnya ditambahkan, "Saya harus katakan bahwa grasi Presiden Jokowi kepada Antasari ada muatan politiknya. Sepertinya ada misi untuk menyerang nama saya dan keluarga saya," kata SBY dalam konferensi pers di Kuningan Jakarta Selatan, Rabu (14/2/2017).
Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M pada abad ke-14, yaitu di masa pemerintahan raja Majapahit Hayam Wuruk. Perang terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat, yang mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan Sunda. Nah, serangan yang dilancarkan Antasari itu diibaratkan serangan Patih Gajahmada yang menyerang Prabu Linggabuana hingga tewas.
Dalam hal ini citra SBY menjadi runtuh satu hari sebelum pilkada, inilah jurus pamungkas penyusun strategi itu. Kegeraman SBY tersebut ditegaskan dalam pernyataannya. Menurut penulis, kekalahan Agus bukan hanya kasus itu saja, karena informasi lain menyebutkan ada stretegi, paslon dua lebih nyaman apabila yang ke putaran dua paslon tiga daripada satu. Kini strategi pertempuran tahap awal tercapai sudah (akan penulis ulas tersendiri dalam artikel lainnya).
SBY memberikan wejangan kepada Agus dan Sylvi (Foto : Tempo)
Strategi dan Plan B dari SBY
Dalam mengubah karir Agus sebagai seorang perwira militer yang cemerlang ke jalur politik, jelas bukan sesuatu yang begitu saja ditempuh SBY sebagai ayahnya. SBY sangat faham bahwa dalam persaingan perebutan jabatan Gubernur di Jakarta akan sangat berat. Menghadapi pasangan Ahok-Djarot dia tahu sangat berat. Pada awalnya elektabilitas petahana sudah sangat tinggi, strong votersnya saja 40 persen. Lantas bagaimana Agus yang kinyis-kinyis baru tahu DKI harus berbicara soal DKI, melawan dua tokoh petahana yang sudah memiliki nilai kinerja positif?
Sejak itu kerja berat tim suksesnya, dimana akhirnya SBY mendapat tuduhan membiayai segala macam aksi gerakan umat Muslim, dalam menghantam Ahok. Memang kalau dilihat persaingan awal, Ahok elektabilitasnya sudah sangat tinggi, sementara Agus dan Anies belum ada apa-apanya, maka agar dapat mengimbangi, disamping menaikkan elektabilitas dan popularitas pesaing Ahok, jalannya dengan teori proxy war. Itulah yang terjadi. Ahok titik rawannya ada di ucapannya yang sering tidak mikir dalam, maka gelombang aksi anti Ahok digulirkan, dan bahkan akhirnya dalam kasus penistaan agama, Ahok diadili.
Pada beberapa bulan sebelum pilkada, survei SMRC yang dilakukan pada 1-9 Oktober 2016 terhadap 648 responden warga DKI, elektabilitas pasangan Ahok-Djarot 45,4 persen sedang elektabilitas Agus Harimurti-Sylviana Murni baru mencapai 22,4 persen, Anies Baswedan-Sandiaga Uno dengan elektabilitas 20,7 persen. Sebanyak 11,6 persen responden menjawab tidak tahu atau rahasia terkait siapa yang dipilihnya.
Aksi Bela Islam yang menurunkan elektabilitas Ahok, menyeret ke pengadilan (Foto :Ibnuhasyim)
Setelah unjuk rasa Aksi Bela Islam II/411 (4 November 2016), terlihat bahwa elektabilitas Ahok-Djarot banyak merosot. Apabila disandingkan survei SMRC dengan Poltracking periode 9 Oktober-17 November, Ahok-Djarot (dari 45,4 persen/SMRC ke 22 persen/Poltracking), Agus-Sylvi (dari 22,4 persen ke 27,29 persen), Anis-Sandi (Dari 20,7 persen ke 20,42 persen). Sementara yang menyatakan belum memilih (dari 11,6 persen menjadi 29,66 persen).
Nah, apa yang terlihat dari data tersebut? Antara survei tanggal 9 Oktober-17 November, dimana saat itu terjadi serangan psikologis dan pressure sosial dan hukum terhadap Ahok, terlihat dampaknya demikian menghancurkan, elektabilitasnya runtuh mengalami penurunan sebesar 23,4 persen. Sementara Agus-Sylvi menuai keuntungan, elektabilitasnya naik 4,89 persen, sementara Anis-Sandi hanya menuai kenaikan 0,28 persen. Mereka yang menyatakan ragu belum memilih naik sebesar 18,06 persen.
Proxy war, entah siapa yang merencanakan dan melaksanakannya, memberikan keuntungan kepada paslon satu. Kemudian ada serangan balik dimana yang diserang adalah SBY. Titik lemah paslon satu (Agus-Sylvi) justru berada pada SBY, dimana SBY menjadi emosional saat muncul di media dengan tuduhan macam-macam. Secara otomatis elektabilitas Agus-Sylvi anjlog, karena publik menilai negatif kemarahan dari Pepo (panggilan kesayangan SBY di keluarganya).
Nah, kini paslon satu Agus-Sylvi tumbang sudah di DKI Jakarta. Apakah akan berhenti begitu saja? Jelas tidak. SBY penulis yakini mempunyai "plan B", dimana plan A adalah upaya menjadikannya Gubernur DKI. Lantas apa keuntungannya maju di DKI? Dinamika pilkada DKI menjadi pelajaran sangat berharga bagi Agus, sekolah jelas ada hasilnya. Kemudian, manfaat terbesarnya popularitas Agus menjadi sosok yang sangat terkenal se Indonesia. Pidato menerima kekalahan dari Agus malam ini sangat bagus. Dia menerima kekalahan dengan lapang dada.
Pasangan Agus-Slyvi mengakui kekalahannya dalam PIlkada DKI Jakarta serta mengucapkan selamat kepada pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi (Foto :PILKADA2017)
Pilkada DKI yang merupakan sekolah politik praktis Agus adalah strategi kelangsungan klan Cikeas di dunia politik. Agus sangat berpeluang setelah ini menjadi Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan ayahnya. Lantas, plan B dari SBY sebagai ayah sekaligus mentor politik, juga ada peluang pilkada di Jawa Timur. Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim digelar bulan Juni 2018. Kepastian tersebut disampaikan Komisioner KPU Jatim Choirul Anam, Jumat (22/1/2016). Menurut Anam, pelaksanaan Pilgub akan diselenggarakan bersamaan dengan Pilkada di 18 kabupaten/kota di Jatim.
Pencalonan lewat parpol harus diusung minimal 20 kursi di parlemen, atau 25 persen akumulasi suara sah. Partai Demokrat mendapat suara di Jawa Timur pada pemilu 2014 sebanyak 2.354.205 (12,06 persen). Selain itu ada peluang lain yang diliriknya, yaitu pemilu presiden yang diperkirakan akan dilaksanakan pada bulan Juni 2019. Itulah perkiraan penulis plan B dari SBY.
Kesimpulan
Kekalahan Agus Yudhoyono menurut penulis sudah diperhitungkan Pak SBY (worse condition) dimana paling tidak, kini Agus telah berubah secara psikologis dan mental dari militer menjadi sosok politisi dengan pengalaman bertanding di medan tempur politik. Agus yang gagah dan akan terus ditempa menjadi lebih matang bisa diharapkan oleh kader Partai Demokrat akan menjadi pemimpin di masa depan.
Agus didukung penuh Ayah dan Ibunya dalam menjalani karir politik (Foto : Simpul)
Ada tiga pilihan SBY bagi putranya ini, sebagai generasi penerus kepemimpinan di Partai Demokrat, sebagai calon pemimpin daerah (pilkada Jawa Timur) atau sebagai Cawapres pada 2019. SBY menurut penulis perlu memperhitungkan alternatif terbaik bagi jagonya itu tanpa terlalu mencampuri atau membayanginya terlalu ketat. Biarkan Agus berkiprah sendiri, dia paling tidak sudah punya pengalaman dan lulus kuliah politik.
Keterlibatan SBY dengan umur yang semakin bertambah akan menambah beban pikirannya, orang semakin tua semakin sensitif, ini perlu disadarinya. Semua jangan dilawan, justru jadikan kawan, terlebih pemerintah, damai-damai sajalah. Low profile, sehingga publik menempatkan dirinya sebagai bapak bangsa seperti Pak Habibie itu. Belum ada sejarahnya di negara kita, ada parpol yang menang melawan pemerintah. Begitulah kira-kira, ini sekedar masukan saja dari sudut pengamanan personil. Salam.
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net