Posisi Politik Ahok Setelah Dua Kali menginjak Ranjau
8 February 2017 | 1:27 am | Dilihat : 1609
Tiga pasang calon gubernur dan wakil gubernur yang akan bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Dari kiri ke kanan: Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saeful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno (Foto:Nasional.Kompas.Com)
Penulis beberapa waktu lalu terpaksa mengurangi kegiatan tulis menulis karena sedang mempersiapkan buku ketiga terkait virus terorisme yang ditinjau dari sudut pandang intelijen. Nah, setelah draft selesai dan sudah masuk proses di edit di penerbit, rasanya hati "plong" karena buku tersebut merupakan koleksi artikel penulis selama tiga tahun. Nah kini kembali penulis mencoba menulis analisis 'kegegeran' politik di DKI Jakarta terkait akan dilangsungkannya pesta demokrasi pilkada pada 15 Februari 2017.
Dalam sebuah pemilihan langsung, maka sudut pandang intelijen menilai ini mirip sebuah peperangan atau sebuah pertempuran. Kalau Pilkada DKI yang menjadi fokus pertarungan tiga gajah (Megawati, SBY dan Prabowo), ini hanyalah sekelas pertempuran, bukan perang. pertempuran politik terjadi di demikian banyak propinsi dan kabupaten dalam menuju pilpres 2019 yang setara dengan perang. Oleh karena itu ilmu yang dipakai adalah kepintaran dan kecerdasan taktis, bukan intelijen strategis. Ukurannya hanya berkisar kekuatan, kemampuan, kerawanan dan niat lawan.
Pengukuran Kekuatan
Pada saat paslon Agus-Sylvi serta Anies-Sandi muncul, team suksesnya faham bahwa mereka menghadapi paslon Ahok-Djarot yang sudah mapan baik popularitas dan elektabilitasnya. Penulis membuat artikel-artikel analisis intelijen politik dengan menggunakan hasil survei. Dari pengalaman mengamati sejak pilpres 2004, believe it or not, tiga bulan sebelum pemilu, penasihat intelijen di Gedung Putih sudah melaporkan bahwa 99 persen yang akan menang adalah SBY, dan terbukti benar. Itulah kecanggihan survei profesional yang benar-benar independen.
Nah, dalam Pilkada DKI Jakarta yang menjadi barometer Indonesia, penulis selama ini mengamati hasil dari lima lembaga survey (tanpa mempersoalkan apa lembaganya) yang melakukan survey antara tanggal 25 September - 11 November 2016, pasangan Ahok-Djarot berada pada rentang angka terendah 24,6 persen dan tertinggi 45,5 persen. Sementara Agus-Sylvi dalam waktu yang sama elektabilitasnya berkisar antara terendah 15,8 persen dan tertinggi 22,4 persen. Untuk pasangan Anies-Sandi terendah 18,8 persen dan tertinggi 25,4 persen. Kemudian terlihat dalam dua bulan berjalan, Ahok berada pada posisi elektabilitasnya rata-rata terendah, sementara dua pasangan lainnya posisinya naik cukup tinggi.
Managing Director Cyrus Network Eko David di Jakarta, saat itu, Rabu (11/11/2016) menyampaikan informasi ancaman terhadap Ahok agar waspada, sebab gerakan anti-Ahok, juga mengalami peningkatan sampai angka 40 persen. "Lawan-lawan Ahok mau meluaskan jaringan anti-Ahok atau ambil sisa 20 persennya. Walaupun memang agak sulit melawan loyalis Ahok yang sudah sampai 40 persen," kata Eko David.
Ahok dan SBY Menginjak Ranjau
Semestinya Ahok waspada bahwa setelah menjadi paslon Gub/Wagub, maka Jakarta menjadi medan ranjau yang harus diamatinya dengan teliti. Ternyata dia melangkah dengan gaya Gubernur, tetap lepas bicara. Ahok kemudian terbelit dua kasus ranjau. Kasus ranjau pertama Ahok, saat menyampaikan pidatonya sebagai Gubernur di Kepulauan Seribu pada Rabu (28/9) Surat Al-Maidah ayat 51. Sejak itu dia di demo oleh FPI dan GNPF-MUI. Demo sangat menggigit, "Aksi Bela Islam, Tangkap Penjarakan Ahok, Penista Agama."
Dari sisi hukum, Ahok akhirnya menjadi tersangka penistaan Agama Islam. Badan Reserse Kriminal Polri menetapkan Ahok sebagai tersangka pada Rabu, 16 November 2016. Polisi menetapkan Ahok sebagai tersangka karena diduga melanggar Pasal 156 a KUHP juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dia diadili.
Nah pada saat sidang ke delapan (31/1/2017), kembali Ahok didampingi penasihat hukumnya Humprey Djemat menginjak ranjau. Humprey dalam persidangan bertanya pada Ketua MUI Ma'ruf Amin yang saat itu dihadirkan sebagai saksi terkait proses keluarnya fatwa yang menyatakan Ahok melakukan penistaan agama. Pertanyaan spresisifik terkait ada tidaknya percakapan antara Susilo Bambang Yudhoyono dengan Ma'ruf Amin yang berisi desakan untuk mengeluarkan fatwa. Juga dipertanyakan tentang pertemuan antara Agus Yudhoyono dengan Ma'ruf Amin dalam kapasitasnya sebagai Rois Aam Nahdlatul Ulama pada 7 Oktober 2016.
Dari kiri, bakal calon wakil gubernur DKI Jakarta Sylviana Murni, Rais Aam PBNU KH Ma'ruf Amin, bakal calon gubernur DKI Jakarta Agus Yudhoyono dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil (Foto : Megapolitan. Kompas)
Ma'ruf Amin menyangkal ada percakapan langsung dengan SBY dan menolak bahwa dirinya dianggap mendukung Agus Yudhoyono yang maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta walau mengakui ada pertemuan. Ahok dalam kutipan langsungnya mengatakan, "Dan saya berterima kasih, Saudara saksi ngotot di depan hakim bahwa saksi tidak berbohong. Kami akan proses saksi secara hukum saksi untuk membuktikan bahwa kami memiliki data yang sangat lengkap."
Ucapan ini diartikan oleh sejumlah media bahwa Ahok akan memproses hukum Ma'ruf Amin terkait pernyataannya itu. Setelah itu warga NU dan MUI menjadi marah dan menuduh Ahok menista KH Ma'ruf Amin selain Ketua MUI juga Rois Aam NU. Kemarahan terus meluas di kalangan NU di tanah air. Ahok kemudian meminta maaf terkait ucapannya dalam persidangan dan mengatakan itu adalah kesalahpahaman, beruntung KH Ma'ruf memaafkannya.
Keberuntungan dalam kasus ini memihak Ahok dari sisi politis, karena tanpa disadari SBY kemudian memasuki wilayah medan ranjau dan ikut menginjak ranjau. Pada hari Rabu (01/02/2017) sekitar pukul 17.00 WIB, Mantan Presiden SBY dalam konferensi pers mengakui bahwa ada percakapan langsung melalui telepon dengan Ma'ruf Amin walau isinya diklaim sama sekali tidak berhubungan dengan kasus Ahok. Percakapan dengan Ma'ruf Amin menurut SBY dilakukan dalam konteks Ma'ruf di PBNU, bukan MUI. Kekeliruan SBY dalam membuat pernyataan terlihat terlalu emosi, menurunkan kesan sebagai bapak bangsa.
SBY mengatakan jika dibangun opini bahwa dirinya mempengaruhi dikeluarkannya fatwa, dia mengatakan tanyakan saja pada MUI. Terkait pernyataan kuasa hukum Ahok yang mengatakan mereka punya bukti percakapan telepon, SBY mengatakan bahwa itu adalah "kejahatan" karena "penyadapan ilegal." Walau tidak jelas apakah kuasa hukum Ahok betul-betul melakukan penyadapan, pembicaraan di pengadilan tidak menyebut adanya penyadapan.
Humprey menyatakan bahwa buktinya nanti kita akan disampaikan di proses persidangan. Kalau kita kemukakan di sini nanti akan menyalahi proses pengadilan," kata Humprey usai sidang di Kementan, Jakarta, Selasa 31 Januari 2017. Karena memiliki bukti, dia memastikan pihaknya tidak asal menuduh tentang percakapan telepon antara SBY dengan Ma'ruf pada 6 Oktober 2016 pukul 10.16 WIB. "Pasti kita berikan setelah majelis hakim (mengetahui)," ucap Humprey dengan yakin.
Yang lebih fatal, SBY menyatakan bahwa dirinya ingin bertemu dengan Presiden Jokowi tetapi dihalang-halangi. Kemudian akan meminta penjelasan tentang penyadapan kepada presiden. Nah, yang menurunkan citra SBY, baik BIN maupun Polri menyatakan tidak melakukan penyadapan. Atau mungkin SBY tidak melakukan pemeriksaan sekuriti dan terjadi penetrasi?
Presiden Jokowi : "Jangan barangnya dibawa ke saya, yang bicara itu isu pengadilan kok." (Foto : newsth)
Presiden Jokowi menanggapi statement SBY mengatakan dugaan aksi penyadapan itu tidak ada hubungannya dengan Pemerintah. Dengan ringan dikatakannya, "Lha kok barangnya dikirim ke saya ya? Iya enggak ada hubungannya," ujar Presiden Jokowi di Gedung JCC Senayan, Jakarta, Kamis (2/2/2017). Jokowi mengatakan, "Begini lho, saya hanya ingin menyampaikan yang kemarin ya. Itu kan isu pengadilan itu isunya di pengadilan lho ya dan yang bicara itu kan pengacara pak Ahok dan Pak Ahok," katanya. Presiden meminta dugaan aksi penyadapan tersebut tidak dikaitkan dengan dirinya. Dia minta hal itu ditanyakan kepada kuasa hukum Ahok dan ke Ahok sendiri.
Posisi Politik Ketiga Paslon
Poltracking Indonesia mengadakan survei terkait tren elektabilitas dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017. Hasil survei dari Poltracking, tingkat elektabilitas pasangan nomor dua, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat semakin meningkat tajam. Sehingga mengakibatkan tingkat elektabilitas tidak terpaut jauh dengan pasangan nomor tiga, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang berada di posisi pertama.
Agus Yudhoyono beserta Pak SBY yang dipanggil kesayangannya Pepo (Foto : waspada.Online)
Survei ini dilaksanakan antara tanggal 24-29 Januari 2017 dengan menggunakan metode stratified-multi stage random sampling yang melibatkan 800 responden. Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, Hanta Yuda AR mengatakan elektabilitas tiga pasangan. Anies-Sandi mendapatkan dukungan 31,5 persen, Ahok-Djarot sebanyak 30,13 persen dan pasangan nomor satu Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni pada peringkat ketiga dengan elektabilitas sebesar 25,75 persen. Sementara yang belum belum menentukan pilihan ada sebanyak 12,62 persen. Elektabilitas ketiga pasangan calon ini masih berada dalam rentang margin of error.
Terlihat dari hasil survei tersebut, elektabilitas Anies-Sandi hanya terpaut 1,37 persen dengan elektabilitas Ahok-Djarot. “Jadi dari hasil survei ini terlihat, pasangan Anies-Sandi mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Begitu juga dengan Ahok-Djarot mengalami kenaikan yang cukup tajam. Sementara, Agus-Sylvi mengalami penurunan yang sangat tajam,” kata Hanta saat Rilis Survei tersebut di Hotel Oria, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Rabu (1/2/2017). Terbukti dari trend elektabilitas Anies-Sandi mengalami kenaikan sebesar 2,87 persen dari 28,63 persen (9-13 Januari) menjadi 31,5 persen (24-29 Januari). Lalu, Ahok-Djarot naik 1,25 persen dari 28,88 persen menjadi 30,13 persen. Sedangkan Agus-Sylvi mengalami penurunan cukup tajam sebesar 4,5 persen dari 30,25 persen menjadi 25,75 persen.
Salah satu kunci, Ibu Megawati mendukung penuh Ahok-Djarot (foto :TheJak)
Kita mengetahui bahwa dibelakang ketiga paslon yang maju, ada tiga tokoh yang membentengi dan mulai lebih efektif memberikan dukungan. Langkah Ibu Megawati yang kini turun langsung ke lapangan jelas akan besar pengaruhnya terhadap ketaatan warga dan simpatisan PDIP di Jakarta. PDIP adalah parpol terkuat di DKI dan bisa mengajukan paslon tanpa berkoalisi, terlebih kini di dukung Golkar, Hanura dan Nasdem.
Khusus untuk Paslon Anies dan Sandi, turunnya mantan capres Prabowo ke lapangan jelas besar pengaruhnya, warga Gerindra sangat mentaati imbauan Prabowo. Selain itu kekuatan Anies sebagai ikon muslim yang kini diserukan oleh GNPF-MUI, sebagai tokoh muslim, disamping juga dukungan warga PKS. Sementara posisi AHY-Sylvi nampak turun karena bapak besarnya banyak yang menilai disebut terkait dengan hal-hal yang berbau negatif. Sayang memang AHY sebagai tokoh muda apabila dalam sisa waktu dua minggu ini bisa tergelincir tidak masuk ke putaran kedua apabila tidak mampu membuat langkah menarik yang disukai konstituen Jakarta. Salah satu kunci para paslon adalah debat terakhir yang akan dilaksanakan pada hari Jumat malam (10/2/2017).
Prabowo diapit pasangan jagonya Anies Baswedan dan Sandiaga Uno (Foto : megapolitan.kompas)
Penutup
Dalam Pilkada di DKI Jakarta, apabila ditinjau dari taktis intelijen, sebenarnya beberapa lembaga survei pernah menyatakan di media bahwa para pemilih Jakarta adalah rasionalitas, tidak peduli dengan kasus yang ada, mereka lebih memilih siapa tokohnya serta apa kinerja si paslon. Disinilah hambatan yang harus digempur oleh dua team sukses lainnya dalam menghadapi petahana, gambaran dan perubahan serta keuntungan apa yang akan di dapat warga dalam memilih Paslon Gubernur dan Wakilnya.
Dalam catatan, responden Jakarta dalam survei mengapresiasi kinerja Pemprov DKI (75 persen) berupa kinerja Ahok-Djarot dalam menangani masalah banjir, sampah, dan yakin dengan program beasiswa untuk keluarga miskin (ini yang paling utama dan mengikat bagi grass root ), penulis menilai sebagai undecided voter. Sementara itu dua calon lainnya belum memiliki catatan kinerja sebagai pejabat wilayah, kecuali Sylviana. Nah, kalau kondisi dari hasil survei tidak berubah, nampaknya Pilkada DKI Jakarta akan berlangsung dua putaran. Sementara ini yang bersaing adalah paslon Ahok/Djarot dengan Anies/Sandi. Sebuah tantangan bagi Agus, yang harus lebih mandiri, karena backbone-nya masih berkutat dengan masalah adu tiga gajah dan satu pawang. Begitulah kira-kira.
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net