Ahok Makin Melemah Dihajar GNPF, Tetapi Peluang Masih Ada
3 December 2016 | 6:28 pm | Dilihat : 2056
Aksi Damai 2 Desember 2016, umat Islam melaksanakan sholat Jumat di bawah hujan besar, semua hanya karena keikhlasan (Foto : pikiran rakyat)
Aksi Bela Islam terkait tuduhan penistaan agama Islam oleh Ahok telah tiga kali dilakukan, tetapi aksi ketiga lebih halus ungkapannya dari Bela Islam menjadi Aksi Damai 212. Umat Islam berbondong-bondong kumpul di Monas, diperkirakan diatas dua juta, melakukan zikir dan doa untuk bangsa dan negar. Rasa khawatir melihat militansi mereka yang berjalan kaki ratusan kilometer untuk ke Jakarta. Kita melihat para Mujahid Muslim itu (setiap kaum muslimin yang secara bersungguh-sungguh berjuang untuk agamanya kapanpun dan dimanapun ia berada, serta dimanapun posisinya) berkumpul di Monas untuk mendengarkan tausiyah dan sholat Jumat bersama.
Ditengah hujan deras, mereka tetap tekun melaksanakan sholat Jumat bersama jutaan kaum muslim lainnya. Mencengangkan, ketekunan dan ketabahan para Mujahid itu, membuktikan bahwa keyakinan dan keikhlasan mereka telah ditunjukkan bahwa umat Islam Indonesia patut menjadi contoh, bisa tertib, tidak ribut dan membuktikan mampu menjaga kebersihan dan keamanan. Penulis juga salut kepada Presiden Jokowi dan Wapres JK serta beberapa pejabat yang ikut sholat Jumat di Monas. Secara hitungan securiti kondisi tersebut amat rawan ditengah masih kuatnya tuntutan "tangkap Ahok." Tetapi walau bagaimanapun kelancaran kebersamaan presiden dan wakil presiden bersama umat muslim membuktikan masyarakat masih menghargai pemimpinnya.
Presiden Jokowi didampingi Wapres Jusuf Kalla dengan beberapa pejabat sholat bersama masyarakat di Monas (Foto : Republika)
Nah, pada kesempatan ini penulis mencoba mengulas bagaimana kini posisi para calon pasangan Gubernur dan Wagub yang akan maju pada Pilkada 2017 nanti. Referensi yang penulis gunakan adalah hasil survei sebagai sarana pengukur popularitas dan khususnya elektabilitas (tingkat keterpilihan).
Posisi Ahok dari Sisi Hukum dan Politik
Gemuruh tuntutan GNPF-MUI yang melakukan unjuk rasa mampu membangkitkan solidaritas umat Islam dengan kemasan ajaib "penistaan Agama Islam, Al Qur'an" benar-benar mampu membangkitkan semangat mereka yang beragama Islam. Dengan gorengan tokoh FPI Habib Rizieq dalam organisasi GNPF-MUI (Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI), tangkap dan hukum Ahok, maka terbangun dan terbentuk militansi dan menjurus kearah bela Islam tersebut.
Aksi Bela Islam II, Penistaan Agama Islam oleh Ahok demikian keras (Foto : suara.com)
Ahok kemudian menerima akibat karena salah mulut menyentuh surat Al- Maidah, dia dicerca dan dilaporkan sebagai penista agama Islam. Maka sejak itu Ahok menerima akibatnya baik dari sisi hukum, sosial, psikologi serta politis. Dari sisi hukum, Ahok menjadi tersangka penistaan Agama Islam, dia berurusan dengan hukum. Badan Reserse Kriminal Polri menetapkan Ahok sebagai tersangka pada Rabu, 16 November 2016. Polisi menetapkan Ahok sebagai tersangka karena diduga melanggar Pasal 156 a KUHP juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kejasaan Agung menyatakan berkas kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah lengkap atau P21."Pada hari ini, 30 November 2016, Kejaksaan Agung telah memutuskan, menyatakan bahwa perkara tersangka Insinyur Basuki Tjahaja Purnama, atau yang kita kenal Ahok, telah dinyatakan P21," kata Noor Rachmad di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu pagi, 30 November 2016.
Dia menyatakan berkas perkara hasil penyidikan Badan Reserse Kriminal Polri telah memenuhi syarat untuk dibawa ke pengadilan secara formal dan material. "Karena itu, kejaksaan meminta penyidik segera menindaklanjuti dengan menyerahkan barang bukti dan tersangkanya," kata Rachmad. Terkait adanya desakan dari masyarakat untuk menahan Ahok tersebut, Noor Rachmad mengatakan bahwa hak tersebut bukanlah domainnya. Karena lembaganya hanya fokus pada meneliti bekas perkara sang tersangka.
Gubernur dan Wagub Non aktif Ahok dengan Djarot (foto : SINDOnews)
Dengan kasus hukum tersebut maka jelas akan berefek pada kepercayaan konstituen DKI Jakarta yang 90 persen Islam, terbukti adanya penolakan di beberapa wilayah saat Ahok berkampanye, sehingga kampanye banyak dilakukan di Rumah Lembang sebagai poskonya. Ini, jelas merugikan terhadap posisi lainnya yang menyentuh pilkada, yang tersentuh dar SARA hanya agama, tetapi efeknya mematikan peluang.
Dari sisi politik, menurut survei karena kekuatan elektabilitasnya, maka Ahok menjadi common enemy (musuh bersama), beberapa bulan lalu dia tokoh solid disukai kinerjanya dengan strong voter 40 persen. Kasus Hukum tersebut berakibat kepada elektabilitasnya.
Hasil Survei SMRC dan Poltracking
Poltracking menempatkan pasangan Agus Harimurti-Sylviana dengan elektabilitas tertinggi, 27,29 persen. Disusul pasangan Ahok-Djarot 22 persen, sedang Anies Baswedan-Sandiaga Uno 20,42 persen. Sebanyak 29.66 persen pemilih masih belum memilih, kemungkinan para pemilih masih menunggu, atau pemilih benar-benar memutuskan untuk tidak memilih.
"Semua pasangan calon masih sangat berpeluang untuk menang (pada Pilkada DKI) karena pemilih di Jakarta masih sangat dinamis," ujar Hanta Direktur eksekutif Poltracking. Survei dilaksanakan pada 7-17 November 2017 dengan menggunakan metode multi stage random sampling. Jumlah responden 1.200 orang dengan margin of error 2.8 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Dana survei dibiayai oleh internal Poltracking Indonesia.
Tiga pasang cagub-cawagub pilkada 2017 DKI Jakarta (Foto : Repelita)
Saiful Mujani Research Center (SMRC) yang merilis hasil survei Pilkada DKI pada Kamis (20/10/2016). Berdasarkan survei yang dilakukan pada 1-9 Oktober 2016 terhadap 648 responden yang merupakan warga DKI, elektabilitas pasangan Ahok-Djarot 45,4 persen sedang elektabilitas Agus Harimurti-Sylviana Murni baru mencapai 22,4 persen, Anies Baswedan-Sandiaga Uno dengan elektabilitas 20,7 persen. Sebanyak 11,6 persen responden menjawab tidak tahu atau rahasia terkait siapa yang dipilihnya.
Analisis
Adanya gelombang demonstrasi yang dilakukan GNPF-MUI yang kemudian mampu melibatkan psikologi massa berupa solidaritas umat Islam menjadikan Aksi Bela Islam menjadi sebuah kekuatan penekan (pressure group) yang tidak bisa disepelekan. Tagline penistaan agama Islam, kitab suci Al Qur'an serta Ulama kemudian menjadi viral dan menumbuhkan solidaritas kebersamaan umat Islam baik yang radikal, konservatif maupun moderat.
Kesepakatan GNPF MUI-Kapolri Terkait Demo Super Damai 212 Terbukti Sukses, Tito mampu meredam potensi konflik (Foto : tribunnews)
GNPF-MUI mampu meyakinkan umat setelah aksi 411 dan melanjutkan ke Aksi Damai 212 dalam kemasan doa dan zikir pada sholat Jumat. Semua menjadi tercengang dengan demikian militan dan ikhlasnya umat Islam dalam melakukan zikir dan sholat Jumat dibawah hujan deras, bersama Presiden sserta Wakil Presidennya. GNPF mampu membuktikan aksi 212 adalah super damai dan ternyata damai. Tetapi tekanan tangkap Ahok masih terdengar berupa nyanyian.
Pagi harinya pihak Polri melakukan penangkapan 11 orang yang dituduh akan melakukan kesepakatan makar, ada yang disangkakan pengumbar kebencian serta pelanggaran ITE di sosial media. Sebenarnya langkah tersebut merupakan tidakan preventif terlibatnya kelompok khusus ini memprovokasi umat Islam yang memang datang untuk berzikir.
Nah, dari beberapa info tersebut, penulis melihat dari sisi intelijen taktis, sedang terjadi operasi penciptaan kondisi dalam rangka penghancuran kredibilitas serta elektabilitas Ahok sebagai cagub. Mengenai urusan yang ingin makar, ada upaya mencoba menunggangi GNPF, tetapi Habib faham dan menolaknya.
Nah, dalam menganalisis posisi masing-masing calon di Pilkada DKI, penulis menggunakan dua acuan lembaga survei, SMRC dan Poltracking tersebut diatas. Setelah unjuk rasa Aksi Bela Islam II/411 (4 November 2016), terlihat bahwa elektabilitas Ahok-Djarot banyak merosot. Apabila disandingkan survei SMRC dengan Poltracking periode 9 Oktober-17 November, Ahok-Djarot (dari 45,4 persen/SMRC ke 22 persen/Poltracking), Agus-Sylvi (dari 22,4 persen ke 27,29 persen), Anis-Sandi (Dari 20,7 persen ke 20,42 persen). Sementara yang menyatakan belum memilih (dari 11,6 persen menjadi 29,66 persen).
Nah, apa yang terlihat dari data tersebut? Antara survei tanggal 9 Oktober-17 November, dimana saat itu terjadi serangan psikologis dan pressure sosial dan hukum terhadap Ahok, terlihat dampaknya demikian menghancurkan, elektabilitasnya runtuh mengalami penurunan sebesar 23,4 persen. Sementara Agus-Sylvi menuai keuntungan, elektabilitasnya naik 4,89 persen, sementara Anis-Sandi hanya menuai kenaikan 0,28 persen. Mereka yang menyatakan ragu belum memilih mengalami kenaikan sebesar 18,06 persen. Disini terlihat pemilih Ahok hanya sedikit yang bergeser memilih Agus-Sylvi, tidak ke Anis-Uno. Jelas terlihat sebahagian besar menarik diri menunda melihat kondisi perkembangan kasus hukum dan perkembangan dari Ahok.
Apa yang dapat disimpulkan? Semua pasangan masih punya peluang menang, ini betul, seperti kata Hanta pemilih Jakarta sangat dinamis. Melihat trend tersebut sudah dihajar sedemikian terstruktur saja pasangan Ahok masih mampu berada di posisi mengimbangi. Kelumpuhan politiknya dalam satu bulan demikan besar, tetapi ada strong voter-nya yang masih bertahan dan sebagian masih menunggu perkembangan (wait and see).
Rumus penggalangan tersebut menurut penulis yang dilakukan si perencana, kalau tidak bisa calon kita naik elektabilitasnya, kita turunkan lawan agar terjadi perimbangan, dengan demikian peluang menang masih ada. Waktu masih dua bulan lagi, entah mission impossible apa lagi yang akan dilakukan. Sebagai pengamat intelijen independen penulis akan mengulas apa adanya, ini jelas dan pasti tidak memihak.
Dari trend ini, Agus-Sylvi nampaknya peluangnya lebih besar dibandingkan Anis-Sandi bila terjadi dua putaran pada pilkada nanti. Anis-Sandi nampaknya masih harus kerja keras. Ahok masih berpeluang bisa masuk ke putaran kedua. Sebaiknya hati-hati dengan mulutnya dan juga inner circle-nya yang harus dia waspadai, bisa saja terjadi penetrasi yang memasukkannya ke killing ground, bikin saran aneh-aneh. Penulis masih bertanya-tanya apakah se-naif itu dia menyentuh Al Maidah? Kini membuktikan kata-katanya menghancurkan 50 persen elektabilitasnya. Jadi pemimpin ya harus cerdas dan cerdik. Kira-kira begitu.
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net