Sikon dan Strategi Pemenangan Para Patron di Pilkada DKI Jakarta
5 October 2016 | 12:11 am | Dilihat : 1274
Pilkada DKI Jakarta akan semakin ramai dalam persaingan (Foto :DPP.PKB)
Hari ini Lembaga Survei, Lingkaran Survei Indonesia mengeluarkan hasil surveinya tentang elektabilitas dan beberapa hal terkait dengan pilkada DKI Jakarta. Masyarakat memahaminya bahwa pertarungan perebutan jabatan Gubernur DKI Jakarta adalah jalur cepat menuju Pilpres pada tahun 2019. Yang menonjol pada pilkada DKI, muncul dan terlibatnya tiga tokoh besar politik dalam kancah persaingan, yaitu Ketum PDIP, Megawati mantan Presiden, Ketum Partai Demokrat, SBY yang juga mantan presiden serta Ketum Partai Gerindra, Prabowo.
Dari tiga tokoh tersebut, penulis pernah menganalisis bahwa Mega dan SBY adalah pemimpin paternalistik, keduanya sudah dan masih menjadi patron dikalangan masyarakatnya. Sementara Prabowo secara perlahan mencoba masuk dalam wilayah yang sama. Tipe pemimpin paternalistik hanya terdapat di lingkungan masyarakat yang bersifat tradisional, umumnya dimasyarakat agraris, oleh karena itu budya ini masih sangat kental di sini. . Salah satu ciri utama masyarakat tradisional ialah rasa hormat yang tinggi yang ditujukan oleh para anggota masyarakat kepada orang tua atau seseorang yang dituakan. Pemimpin seperti ini dinamakan pemimpin kebapakan, sebagai tauladan atau panutan masyarakat.
Tiga Patron yang ikut berperan di Pilkada DKI Jakarta (Foto: portalpiyungan)
Nah, dalam pengumuman tiga pasang calon Gubernur DKI, Megawati dengan PDIP mengusung Ahok-Djarot bersama Partai NasDem, Partai Hanura, dan Partai Golkar. Mantan presiden SBY dengan Demokrat bersama PKB, PPP dan PAN mengusung Ahus Yudhoyono-Sylviana Murni, sementara Ketum Gerindra Prabowo bersama PKS mengusung Anis Baswedan -Sandiaga Uno. Oleh karena itu posisi parpol dala tiga koalisi akan lebih ditentukan oleh ketiga tokoh besar tersebut apabila terjadi dua putaran.
Gambaran Kekuatan Sementara Para Calon di Pilkada DKI
Dalam survei Poltracking pada 6-9 September 2016, tingkat elektabilitas Ahok masih jauh diatas pesaing lainnya yang namanya mulai dimunculkan. Yang memilih Ahok sebagai Gubernur DKI mencapai 40,77 %, sedangkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di urutan kedua 13,85 %. Menurut Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Cyrus Network, dan Populi Center, tren elektabilitas Ahok sampai saat ini stabil. Ini dipengaruhi kepuasan masyarakat terhadap pencapaian kinerja Ahok yang rata-rata 68-70%.
Direktur Eksekutif Cyrus Network, Hasan Nasbi mengatakan, masyarakat Jakarta telah menilai pencapaian kinerja Ahok. “Masyarakat Jakarta sudah memberikan penilaian. Rata-rata tingkat kepuasan antara 68-70 %, bahkan ada di atas 70%, ”Dari hasil survey juga terlihat Ahok mempunyai pemilih loyal (strong voter) sekitar 40 persen pemilih. “Pemilih itu ada yang strong voter dan swing voter (pemilih yang bisa mengubah pilihan), dengan tingkat strong voter Ahok sekitar 40 persen jadi sesial-sialnya Ahok masih ada 40 persen,” kata Hasan.
Sementara Usep dari Populi Center menuturkan, kampanye negatif bisa berpengaruh. Elektabilitas Ahok semakin menurun apabila lawan politik membangun opini ‘kegagalan’ pembangunan Jakarta.
Pasangan Petahana Ahok-Djarot (Foto : cnnindonesia)
Dalam simulasi Poltracking setelah pendaftaran, diketahui elektabilitas Ahok-Djarot (37,95 persen) bila head to head dengan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang mendapatkan 36,38 persen suara responden. Tetapi belum ada lembaga survei yang mensimulasikan duet Agus-Sylviana.
Dalam survei LSI pada pilkada DKI 2012, pada awal september 2012 , jumlah swing voters mencapai 9,7 persen. Mereka umumnya berasal dari kelompok menengah yang kritis terhadap kepemimpinan Fauzi Bowo. Loyalitas dukungan pemilih kritis menjadi faktor pendorong kemenangan Jokowi dengan figur yang kuat. Sementara, mesin partai pendukung Foke dinilai tidak efektif sehingga simpatisan partai tidak terkonsolidasi dengan baik.
Pada Pilkada DKI Jakarta 2012 (putaran kedua), dari Jumlah DPT seperti yang dirilis KPU adalah 6.996.951 orang, tercatat 2.349.647 warga Jakarta yang tak menggunakan haknya untuk memilih atau golput (sekitar 33,58 persen).
Pasangan Anis-Sandiaga Uno saat pendaftaran bersama isteri (foto :antara)
Hasil survei LSI yg dirilis tgl 4 Oktober 2016 cukup mengejutkan. Dimana dukungan thd Ahok sebagai petahana terus menurun sejak survei Maret 2016, Juli 2016 dan Oktober 2016. Menurut Denny JA ; dukungan thd Ahok kini menurun di titik rawan. Ia mungkin menang, namun ia juga mungkin kalah. Bahkan mungkin juga bisa tersingkir di putaran pertama pilkada DKI, 15 Febuari 2017.
Demikianlah kesimpulan hasil survei LSI yang dilakukan tgl 28 September-2 Oktober 2016. Total responden 440 org, wawancara tatap muka. Riset dilakukan dengan metode multi-stage random sampling. Margin of Error plus minus 4,8%. Survei ini dibiayai dengan dana sendiri. Pada survei LSI bulan Maret 2016 ,tingkat elektabilitas Ahok 59,3%. Tapi pada Oktober 2016, elektabilitas Ahok pribadi, 31,1%. Agus pribadi 22,30% dan Anies pribadi 20,20%. Dari hasil survey berpasangan, elektabilitas Ahok-Djarot 31,4 %, Anies-Uno 21,1 % dan Agus-Sylviana 19,3 %.
Pemilih yang belum memutuskan, tidak tahu/tidak jawab atau rahasia 28,2%. Dengan angka dukungan ini, dan pilkada masih empat bulan lagi, jika tak ada perubahan radikal, hampir pasti pilkada akan berlangsung dalam dua putaran. Tidak ada yang unggul mutlak diatas 50%. Namun di putaran pertama, siapapun kini bisa tersingkir. Jika trend Ahok terus menurun, Ahok pun bisa tersingkir di putaran pertama.
Pasangan Agus-Sylviana dengan logo parpol pendukung (Foto : news.detik)
Pasangan Ahok-Djarot menang di segmen gender dengan presentase dipilih laki-laki sebanyak 26.4% dan dipilih perempuan 36,4%. Anies-Uno dipilih pemilih laki-laki 20,9 % dan pemilih perempuan 21,4 %. Agus-Sylviana dipilih pemilih laki-laki 19,5% dan pemilih perempuan 19,1%.
Di segmen agama, porsi pemilih Muslim total sekitar 90 persen. Pasangan Ahok dipilih pemilih muslim (beragama Islam) 27,7 %, dan pemilih non-muslim (agama Kristen, Protestan, Budha, Hindu) sebesar 83,3%. Anies-Uno dipilih pemilih muslim sebesar 22,8 %, dan pemilih non-muslim hanya memperoleh angka dibawah margin error (<4,8 persen). Agus-Sylviana dipilih pemilih muslim sebesar 20,6%, dan pemilih non-muslim hanya memperoleh angka dibawah margin error (<4,8 persen).
Anies-Uno menang di segmen pemilih dengan latar belakang berpendidikan pernah kuliah atau di atasnya, dipilih sebesar 31,2%, Ahok-Djarot 26,0 % , Agus-Sylviana sebesar 19,5 %. Pada responden dengan pendapatan, pasangan Agus-Sylviana menang di segmen pemilih wong cilik atau pemilih berpendapatan rendah (dibawah 999 ribu rupiah) 21,9%. Ahok-Djarot 18,8% dan Anies-Uno 15,6%.
Di segmen pemilih berdasarkan usia. Agus-Sylviana unggul di segmen pemilih berusia muda (19 tahun atau dibawahnya) sebesar 33,88%, Anies-Uno 30,8 persen, Ahok-Djarot 27,8 persen. Ketiga pasangan itu kini saling mengalahkan tergantung di segmen pemilih.
Mengapa Ahok kini merosot? Dari dukungan 59, 3 % (Maret 2016), kini tergerus hanya ke titik rawan selaku incumbent: 31,1 %. Dari Ahok hasil survei menang satu putaran saja (Maret 2016) kini menjadi Ahok potensial dikalahkan di putaran kedua, bahkan juga mungkin di putaran pertama?
Ahok akan rawan apabila diserang dengan isu Isu kebijakan publik yang tak disukai, Isu personality. isu primordial (Foto : bentegnkn)
Sejak Maret 2016, Ahok sudah menjadi common enemy terutama di dunia media sosial. Aneka group WhatsaApp (WA), bahkan di media konvensional semakin banyak yang kritis kepadanya. Ada empat alasan mengapa Ahok menjadi common enemy, data ini diperoleh melalui riset kualitatif. Pertama, akibat Isu kebijakan publik yang tak disukai: penggusuran beberapa wilayah (Kampung Pulo, Kalijodo, Pasar Ikan, Kampung Luar Batang, dan lainnya) dan kebijakan reklamasi teluk. Dua jenis kebijakan ini (penggusuran dan reklamasi) memiliki pendukung dan kontranya. Aneka gerakan civil society di bidang terkait ikut membesarkan sentimen anti Ahok.
Kedua, Isu personality. Karakter Ahok yang kasar dan suka memaki orang di publik dianggap bukanlah tipe pemimpin yang layak diajarkan bahkan ditonton anak-anak. Jika Ahok menang dengan karakter seperti itu, Ahok akan ditiru. Bahkan orang tua yang a-politis bisa ikut menyebarkan sentimen anti Ahok hanya soal karakter suka memaki di depan publik itu. Ketiga, isu primordial. Hasil riset LSI menyebutkan terdapat sekitar 40 persen pemilih muslim DKI tidak bersedia dipimpin oleh pemimpin yang non muslim. Mereka berjuang dgn militan agar Ahok tidak terpilih sebagai bagian dari girah agama.
Kini bahkan etnis Ahok ikut dipersoalkan. Kemenangan Ahok dikhawatirkan menjadi stimulus semakin dominannya etnis Tionghoa di bidang ekonomi. Bahan kemenangan Ahok dikaitkan dengan pertarungan global RRC menguasai Asia dan dunia. Isu ini efektif menumbuhkan sentimen anti Ahok. Hal ini yang kini terpotret pada pilkada DKI. Keempat, hadirnya kompetitor yang fresh: Agus Harimurti dan Anies Baswedan. Dua figur ini belum dibicarakan dua bulan lalu. Kehadiran mereka kini bisa mengambil banyak pemilih yang dulu pro-Ahok, atau yang ragu-ragu.
Namun dlm survei banyak juga sukses story Ahok yang dipuji. Kali Jakarta yang bersih, hadirnya pasukan oranye yang sigap benahi lingkungan, keberanian Ahok melawan sisi gelap politik tetap diapresiasi. Success story itu yang membuat dukungan Ahok masih nomor satu walau sudah merosot dgn drastis. Di posisi dua dan tiga, pasangan Anies Baswedan dan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono bersaing ketat. Keduanya berada di posisi kedua karena selisih margin of error saja (selisih dukungan di antara mereka lebih kecil dari margin of error 4.8%).
Agus potensial menjadi kuda hitam karena belum lama menjadi politisi sipil namun dukungan atasnya sudah meroket. Agus memiliki efek WOW, ujar anak gaul masa kini. Ahok masih bisa menang jika ia membuat gebrakan baru. Jika tidak, trend menunjukkan Ahok tak sekuat dulu dan bisa dikalahkan. Demikian penjelasan Denny dari LSI.
Analisis Kekuatan
Dari tiga patron, yang kini terlihat sangat aktif adalah mantan Presiden SBY, dimana dia selalu mendampingi putranya Agus. Pengaruh SBY jelas masih sangat besar dan yang pasti sebagai mantan presiden wawasannya sangat luas. Menyetujui putranya Agus bergeser dari jenjang karir yang menonjol di TNI ke politik bukan masalah sederhana dan tanpa perhitungan matang pastinya, oleh karena itu SBY terlihat mulai all out dalam kegiatan awal.
Apabila melihat hasil survei sebelum munculnya bakal calon lainnya, elektabilitas Ahok sangat tinggi. Survei Poltracking pada 6-9 September 2016, elektabilitas Ahok masih jauh diatas pesaing lainnya yang namanya mulai dimunculkan. Yang memilih Ahok sebagai Gubernur DKI mencapai 40,77 %. Direktur Eksekutif Cyrus Network, Hasan Nasbi mengatakan Dari hasil survey Ahok mempunyai pemilih loyal (strong voter) sekitar 40 persen pemilih.
Kantor Lingkaran Survei Indonesia (Foto :haloapakabar)
Sementara apabila dilihat survei LSI, Tapi pada Oktober 2016, elektabilitas Ahok pribadi, 31,1%. Agus pribadi 22,30% dan Anies pribadi 20,20%. Dari hasil survey berpasangan, elektabilitas Ahok-Djarot 31,4 %, Anies-Uno 21,1 % dan Agus-Sylviana 19,3 %.
Dari hasil LSI terlihat, Ahok-Djarot menang di segmen gender mengungguli Anis-Uno dan terlemah Agus-Sylviana. Ahok-Djarot unggul pada pemilih muslim dan non muslim dari Anis-Uno dan terlemah Agus-Sylvya. Ahok-Djarot kalah dari Anis-Uno di segmen pemilih dengan latar belakang berpendidikan pernah kuliah atau di atasnya, terlemah Agus-Sylvia.
Pada segmen pemilih wong cilik Agus-Sylviana mengungguli Ahok-Djarot dan posisi ketiga diduduki Anis-Uno. Pada segmen pemilih berusia muda (19 tahun atau dibawahnya) Agus- Sylviana unggul dari Ahok-Djarot dan posisi ketiga di duduki Anis-Uno.
Dari hasil survei Poltracking pada 6-9 September 2016, terlihat Ahok mempunyai dukungan 40,77 persen. Menurut Hasan Nasbi, Direktur Eksekutif Cyrus Network mengatakan, rata-rata tingkat kepuasan antara 68-70 %, bahkan ada di atas 70%, terlihat Ahok mempunyai pemilih loyal (strong voter) sekitar 40 persen pemilih.
Nah apabila digabungkan dengan survei LSI, maka elektabilitas Ahok berada pada angka 31,1-40,77 persen. Ahok kuat dengan pemilih gender, pemilih muslim dan non Muslim. Sementara, Anis-Uno unggul pada segmen segmen pemilih dengan latar belakang berpendidikan pernah kuliah atau di atasnya. Agus-Sylviana unggul pada segmen pemilih menang di segmen pemilih wong cilik atau pemilih berpendapatan rendah, selain itu juga Agus-Sylviana unggul di segmen pemilih berusia muda (19 tahun atau dibawahnya).
Ahok tergerus elektabilitasnya karena empat hal, yaitu Isu kebijakan publik yang tak disukai, Isu personality. isu primordial serta hadirnya kompetitor yang fresh. Dari hasil survei Cyrus Network meskipun kini terunggul, menurut David, Ahok harus tetap waspada, karena menurut survei, gerakan anti-Ahok, juga mengalami peningkatan sampai angka 40 persen. "Lawan-lawan Ahok bisa melihat peta potensi suara itu, mau meluaskan jaringan anti-Ahok atau ambil sisa 20 persennya. Walaupun memang agak sulit untuk melawan loyalis Ahok yang sudah mencapai 40 persen," katanya.
Strategi Pemenangan Para Patron
Apabila melihat peran patron, yang terkuat adalah koalisi Cikeas dibawah kodal SBY. Dari hasil sementara survei mulai terlihat kemungkinan besar Pilkada DKi akan berlangsung dalam dua putaran. Oleh karena itu kunci dari strategi pemenangan adalah menempatkan jagonya pada posisi yang tepat. Seperti dikatakan Denny JA, Agus Harimurti mempunyai peluang menjadi kuda hitam. Kalaupun tidak SBY akan berusaha menempatkan jagonya tersebut maju pada putaran kedua. Kemungkinan Agus-Sylviana akan berebut tempat kedua dengan Anis-Uno, dimana petahana berpeluang nerada ditempat pertama pada putaran kedua.
Dua tokoh besar Presiden Jokowi dengan Mantan Presiden SBY (foto: siagaindonesia)
Nah, apabila Agus mampu maju, maka kemungkinan koalisi Gerindra-PKS serta seluruh pendukungnya akan lebih berat mendukung Agus. SBY lebih mudah berbicara dengan Prabowo dan PKS yang jelas anti Ahok. Lantas siapa yang paling berkepentingan agar Ahok menang? Di lain sisi apabila Agus mampu memenangkan Pilkada DKI, maka jelas target selanjutnya dari SBY adalah pilpres 2019. Disinilah Jokowi akan bisa terancam sebagai capres 2019. Ini yang harus dipikirkan oleh PDIP ataupun oleh Jokowi. Bagi Ahok, akan lebih menguntungkan apabila Anis-Uno yang maju ke putaran kedua, walau nantinya Demokrat sulit bergabung, paling tidak tiga parpol dengan basis Islam, PPP, PKB dan PAN akan bisa ditarik masuk ke koalisi PDIP.
Oleh karena itu, sebenarnya pertarungan akan terjadi di antara para patron itu, yang mana lawan berat SBY sebagai ahli strategi adalah melawan PDIP dimana pengaruhnya kepada pemerintah sangat kuat. Penulis kira semua akan berjalan normal walau gesekan kecil akan tetap ada. Kita sadari bahwa ini adalah panggung politik, dimana hanya orang-orang politik yang faham pengertian politik tingkat itu, 'bagaimana mempertahankan kekuasaan'. Kita tunggu babak selanjutnya, akan semakin menarik pastinya. Salam.
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net