Hasil Pilkada DKI Jakarta Tergantung Fakta The Present dan Basic Descriptive Intelligence
29 September 2016 | 6:16 am | Dilihat : 1992
Tiga pasang calon Gubernur dan Wakil Gubernur (Foto :poskotanews)
Berita Pilkada DKI Jakarta kini menjadi topik yang terasyik dan terpopuler dibahas baik pada media sosial maupun media arus utama. Bermacam gosip, negative campaign hingga black campaign terus bertebaran bak pesan berantai melalui jejaring sosial seperti WhatsApp, Face Book , Twitter, Black Berry maupun lainnya. Masing-masing calon tidak ada yang bebas dari serangan, karena adanya kelompok the lovers dan the hatters.
Nah, penulis mencoba memberikan sebuah peta serta gambaran bagaimana hasil akhir Pilkada/Pilgub DKI Jakarta tersebut dari sudut pandang intelijen. Menjawab keingintahuan masyarakat, penulis pernah menyusun artikel dengan judul perhitungan dan strategi sby mengusung agus , dimana dalam lima hari dibaca oleh 14.125 orang. Ini menunjukan bahwa publik mempunyai rasa ingin tahu yang besar dengan langkah strategis mantan Presiden SBY dalam menyikapi Pilkada tersebut.
Pilkada dan Analisis Intelijen
Pemilihan (pemungutan dan penghitungan ) pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung baru akan dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 2017, dimana para team sukses masing-masing calon sudah melakukan upaya untuk memenangkan jagonya.
Sebenarnya. bagaimana membaca dan meramalkan hasil pilkada yang masih berjarak sekitar empat setengah bulan tersebut?. Salah satu cara yang umum dipergunakan oleh politisi atau team sukses adalah dengan menggelar survei atau mengambil survei lembaga lainnya. Tetapi, dari pengalaman mengamati sejak pemilu 2004, penulis menemukan beberapa hasil survei yang tidak dapat dipergunakan sebagai dasar perhitungan. Survei yang salah berarti team akan gagal. Dua yang terpenting dari hasil survei yaitu popularitas dan elektabilitas.
Peserta Pilkada DKI Jakarta 2012, Jokowi-Ahok vs Foke-Nara (foto: hulgzone)
Hasil survei juga penulis pergunakan dalam menganalisis pilkada dan pemilu selama ini, tetapi 'pakem' yang dipergunakan tetap kepada fakta dan analisis the past (basic descriptive intelligence), the present yang akan dapat memperkirakan seberapa besar perkiraan kemenangan. Faktor kekuatan , kemampuan dan kerawanan si calon dan pengusung berupa intelijen taktis jelas tidak dapat dilupakan pastinya.
Untuk membuat perkiraan hasil yang optimal pada 15 Februari 2017, yang sangat perlu diperhatikan adalah bagaimana fakta dan data pilkada 2012. Hal ini penting, karena sikon Jakarta jelas berbeda dengan daerah lainnya.
Pilkada 2012 (Basic Descriptive Intelligence)
Pada Pilkada DKI Jakarta 2012 (putaran kedua), pasangan Jokowi-Ahok menang atas pasangan Fauzi Bowo- Nachrowi Ramli (Foke-Nara) dengan 53,82 persen suara (setara 2.472.130 suara). Sementara Fauzi-Nara mendapat 45,18 persen (setara 2.120.815 pemilih). Yang menarik, dari Jumlah DPT seperti yang dirilis KPU adalah 6.996.951 orang, tercatat 2.349.647 warga Jakarta yang tak menggunakan haknya untuk memilih (sekitar 33,58 persen).
Pada putaran pertama partai-partai umumnya mengusung isu perubahan dan menilai Fauzi Bowo gagal. Namun, pada putaran kedua, partai-partai tersebut justru mengusung Foke-Nara (sebuah pertanyaan?). Hal ini membuat pemilih menjadi kecewa melihat elite partainya mendukung Fauzi, mereka sebaliknya tertarik dengan kelebihan Jokowi.
Jokowi Foke pada Pilkada 2012, mewarnai pandangan konstituen pentingnya figur dan bukan pengaruh parpol (Foto : infocicak)
Putaran kedua membuktikan bahwa koalisi parpol tidak efektif dalam memberidukungannya terhadap pasangan calon Foke-Nara. Pasangan Jokowi-Ahok hanya di dukung dua parpol, PDI Perjuangan dan Partai Gerindra. Di lain sisi, Foke-Nara didukung demikian banyak parpol (Partai Demokrat, PKS, PPP, PKB, PAN, Partai Golkar, Partai Hanura, dan partai-partai non parlemen lainnya).
Figur Jokowi dianggap lebih kuat dan meyakinkan bila dibanding dengan Fauzi. Dalam survey ada beberapa hal krusial yang berkaitan dengan pandangan masyarakat terhadap keefektifan parpol selama pilgub DKI 2012 dan gejala yang muncul di masyarakat mengenai Gubernur pilihan mereka. Dari survey survei 10-12 September2012 tentang kesamaan parpol dalam mempengaruhi responden dalam menentukan pilihan politik, responden yang menjawab tidak 55,0 persen, yang mengatakan ya hanya 39,1persen.
Pada pertanyaan apakah koalisi parpol pendukung menjadi pertimbangan mereka? Jawaban tidak mempertimbangkan (40,1 persen), sangat mempertimbangkan (31,3 persen), cukup mempertimbangkan (24,8 persen). Terlihat jelas bahwa pemilih tidak mempertimbangkan koalisi parpol. Menurut Direktur LSI Burhanuddin Muhtadi, tambahan suara yang membuat Jokowi akhirnya unggul berasal dari para swing voters, yaitu pemilih yang baru akan memutuskan pilihannya di bilik suara. Adanya swing voter ini karena tingkat loyalitas pemilih dengan partai sangat rendah. "Hampir semua pemilih ternyata tidak punya identitas partai. Hanya 15 persen yang mengaku merasa dekat dengan partai tertentu," kata salah seorang peneliti di SMRC, Deni Irvan
Dalam survei LSI awal september 2012 , jumlah swing voters mencapai 9,7 persen. Mereka umumnya berasal dari kelompok menengah yang kritis terhadap kepemimpinan Fauzi Bowo. Loyalitas dukungan pemilih kritis menjadi faktor pendorong kemenangan. Figur Jokowi yang kuat. Sementara, mesin partai pendukung lawan Jokowi tidak efektif sehingga simpatisan partai tidak terkonsolidasi dengan baik.
Dari fakta tersebut, terlihat bahwa pada pilkada 2012, masyarakat sudah semakin cerdas dan semakin tak mudah digiring oleh partai. . Jakarta lebih memilih figure sebagai dasar dalam menentukan pilihan. Masyarakat Jakarta yang menginginkan perubahan dan bukti kerja nyata justru tidak suka dengan kampanye negatif seperti yang berbau SARA. Kampanye dengan isu negative tau bahkan kampanye hitam justru akan menjadi bumerang bagi penyerang.
Kondisi Yang Berlaku (Fakta-Fakta) Saat Ini (The Present)
Menurut Ketua KPU DKI Jakarta Sumarno, terdapat 7,4 juta lebih warga ibu kota yang diprediksi masuk ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada DKI Jakarta 2017. Angka itu berdasarkan data Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) milik KPU Pusat. "Pada Pemilu terakhir 2014 ada 7.026.168 penduduk Jakarta yang masuk DPT. Kalau sekarang berdasarkan DP4 ada sekitar 7,4 juta warga," kata Sumarno di Kantor KPU DKI Jakarta, Salemba, Kamis (4/8). Jumlah DPT lebih banyak sekitar 400.000 orang dibandingkan jumlah DPT pada pilkada 2012 yaitu 6.996.951 orang.
Penampilan Ahok dengan baju Betawi (foto : tempo)
Dari 10 parpol di DKI Jakarta, terbentuk tiga koalisi pengusung. Koalisi pertama dengan total 52 kursi, terdiri dari PDIP (28 kursi), Partai Golkar (9), Partai Hanura (10) dan NasDem (5) mengusung pasangan incumbent Ahok-Djarot. Koalisi kedua dengan total 28 kursi, terdiri dari Partai Demokrat (10), PPP (10), PKB (6 ) dan PAN (2) mengusung pasangan Agus H.Yudhoyono-Sylviana. Sementara koalisi ketiga dengan total 26 kursi, yaitu Partai Gerindra (15) dan PKS (11) mengusung pasangan Anis Baswedan-Sandiaga Uno.
Dalam survei Poltracking pada 6-9 September 2016, tingkat elektabilitas Ahok masih jauh diatas pesaing lainnya yang namanya mulai dimunculkan. Yang memilih Ahok sebagai Gubernur DKI mencapai 40,77 %, sedangkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di urutan kedua 13,85 %. Menurut Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Cyrus Network, dan Populi Center, tren elektabilitas Ahok sampai saat ini stabil. Ini dipengaruhi kepuasan masyarakat terhadap pencapaian kinerja Ahok yang rata-rata 68-70%.
Direktur Eksekutif Cyrus Network, Hasan Nasbi mengatakan, masyarakat Jakarta telah menilai pencapaian kinerja Ahok. “Masyarakat Jakarta sudah memberikan penilaian. Rata-rata tingkat kepuasan antara 68-70 %, bahkan ada di atas 70%,” ujarnya. Selama ini Ahok dinilai berhasil meningkatkan pelayanan publik seperti layanan gratis pajak bumi bangunan dengan NJOP di bawah Rp 1 miliar, biaya murah pemakaman, pembangunan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak, atau normalisasi sungai. Bahkan Ahok tak segan mengganti pejabat yang dianggap tidak becus melayani warga. Menurut Hasan, dengan hasil tersebut Ahok dipandang mereka layak kembali memimpin Jakarta kembali.
Calon Gubernur DKI Jakarta, Anis Baswedan (Foto : kriminalitas)
Dari hasil survey juga terlihat Ahok mempunyai pemilih loyal (strong voter) sekitar 40 persen pemilih. “Pemilih itu ada yang strong voter dan swing voter (pemilih yang bisa mengubah pilihan), dengan tingkat strong voter Ahok sekitar 40 persen jadi sesial-sialnya Ahok masih ada 40 persen,” kata Hasan. Sementara Usep dari Populi Center menuturkan, kampanye negatif bisa berpengaruh. Elektabilitas Ahok semakin menurun apabila lawan politik membangun opini ‘kegagalan’ pembangunan Jakarta.
Dalam simulasi Poltracking setelah pendaftaran, diketahui elektabilitas Ahok-Djarot (37,95 persen) bila head to head dengan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang mendapatkan 36,38% suara responden. Tetapi belum ada lembaga survei yang mensimulasikan duet Agus-Sylviana. Namun nama Sylviana yang kini menjabat Deputi Gubernur DKI Bidang Kepariwisataan dan Kebudayaan pernah disimulasikan namanya berpasangan dengan Budi Waseso pada survei yang dilakukan Lembaga Survei Politik Indonesia (LSPI). Hasil survei simulasi pada 22-28 Agustus 2016, LSPI merilis Ahok-Djarot unggul dengan hasil 46,7 persen, mengalahkan Yusril–Sandiaga Uno (34,5 persen) dan Budi Waseso – Sylviana Murni (7,2 persen).
Analisis The Future (Pilkada 2017)
The Future (Pilkada 2017) adalah sebuah olahan kombinasi dari the past (Pilkada 2012) dikaitkan dengan the present (kondisi yang berlaku saat ini), maka akan ditemukan beberapa hal yang merupakan kriteria esensial dan sebaiknya difahami dan dipersiapkan oleh tim sukses. Hal ini akan besar pengaruhnya dalam menentukan kemenangan.
Fakta-fakta terpenting dari the past (Pilkada 2012) adalah ; Figur Jokowi dianggap lebih kuat dan meyakinkan bila dibandingkan dengan Fauzi Bowo. Koalisi parpol tidak efektif dalam memberi dukungannya terhadap pasangan calon. Dari survei, kesamaan parpol dalam mempengaruhi dalam menentukan pilihan politik, 55,0 persen menyatakan tidak, mengatakan ya (39,1 persen). Sebanyak 40,1 persen menyatakan, bahwa koalisi parpol pendukung tidak menjadi pertimbangan konstituen dalam memilih, sangat mempertimbangkan (31,3 persen), cukup mempertimbangkan (24,8 persen).
Jokowi saat Pilkada 2012 (Foto : jokowi1)
Kunci kemenangan Jokowi berasal dari para swing voter, yaitu pemilih yang baru memutuskan pilihannya saat berada di bilik suara, jumlah swing voter pilkada 2012 mencapai 9,7 persen. Mereka umumnya kelompok menengah yang kritis terhadap kepemimpinan Fauzi Bowo.
Disimpulkan pada tahun 2012, Pertama, masyarakat sudah semakin cerdas dan semakin tak mudah digiring oleh partai. Kedua, pemilih di Jakarta lebih memilih figure sebagai dasar dalam menentukan pilihannya. Masyarakat Jakarta yang menginginkan perubahan dan bukti kerja nyata justru tidak suka dengan kampanye negatif.
Nah, berdasarkan data-data the past, kondisi yang berlaku saat ini tergambar, tiga pasangan calon yang akan bertarung, maka fokus konstituean akan lebih fokus kepada si calon gubernurnya. Baik Ahok, Anis maupun Agus harus menjadi figur yang kuat, terkait dengan fakta bahwa 40,1 persen koalisi parpol tidak menjadi pertimbangan mereka dalam memilih. Walaupun demikian mesin parpol tetap harus difungsikan, karena terdapat peluang 31,3 persen yang masih mempertimbangkan arahan parpol.
Sebagai petahana, posisi Ahok masih menjadi calon yang terkuat saat ini. Penulis tidak setuju apabila persaingan dimulai sama-sama dari titik nol. Ahok jelas sudah satu atau dua langkah di muka calon lainnya. Meski kontroversial, Ahok banyak didambakan rakyat karena ketegasannya. Jakarta bak hutan rimba, butuh Gubernur yang keras dan berani. Tantangannya jelas berat. Untuk sukses, Ahok harus tetap konsisten dengan kebijakan yang diambil. Semakin baik kebijakan yang diambil untuk warga Jakarta, maka elektabilitasnya dipredikasi berpotensi menguat.
Ahok kuat sebagai petahana, dia mampu menggiring konstituen, modal awal dari strong voter besar, tetapi rawan karena cara berbicaranya tidak santun dan cenderung kasar, tidak peduli dengan perasaan orang. Kartu mati Ahok adalah masalah integritas, dimana sekecil apapun bila ditemukan masalah integritas akan bisa menjatuhkannya, seperti kasus Anas Urbaningrum yang pada awalnya keruntuhannya, dia ditangkap KPK karena hanya masalah gratifikasi sebuah mobil.
Khusus untuk Anis Baswedan, memang dengan tampilan santun dan track record yang dinilai sangat baik sebagai pendidik. Anis banyak menjadi idola mahmud, ibu-ibu, ini kekuatannya, dia mampu berbicara dengan santun dan menarik sebagai orang pintar. Kerawananya hingga kini orang tidak tahu kenapa Anis terkena reshuffle? Apabila terdapat kasus saat menjadi Menteri dan nanti pada saatnya ada yang membuka kasusnya, maka kerawanan tersebut akan dapat menyebabkan kelumpuhan, popularitasnya akan runtuh. Semoga tidak.
Bagi Agus Yudhoyono, ini cagub muda pintar, militer, disiplin, anak mantan presiden SBY. Itu kekuatan Agus, ada nama besar dibelakangnya. Selain itu, dengan ikatan esprit de corps, jelas akan banyak keluarga TNI maupun purnawirawan yang akan mendukungnya. Belum lagi SBY lovers masih banyak. Agus jelas mampu berkiprah di dunia birokrasi dengan dasar gelar-gelar yang disandangnya, selain dia berpengalaman berbicara pada forum-forum nasional dan internasional.
Agus Harimurti Yudhoyono Cagub Koalisi Cikeas (Foto : chipstory)
Dengan waktu 4,5 bulan, Agus akan dipoles habis, sehingga dia akan muncul sebagai kesatria yang siap tempur, sebagai pengabdi yang tangguh. Jangan sepelekan Agus, mengingat pemilih Jakarta akan lebih memilih figur. Keberanian dan ketegasan Ahok ada pada Agus, berbicara kesantunan, Agus mewakili SBY, muncul santun bersama keluarga, ini kekuatan yang disukai warga Jakarta. Agus bisa menjadi idola, berani mirip Ahok tapi lebih santun dan pintar.
Nah, sementara demikian perkiraan yang penulis buat terkait dengan Pilkada 2017 di DKI Jakarta. Figur siapa Gubernur DKI akan tampil, rakyat Jakarta sedikit banyak sudah mempunyai bayangan. Tetapi diakui ataupun tidak kita semua sebaiknya waspada terhadap operasi yang umum dilakukan yaitu "serangan fajar." Semoga tidak, karena warga Jakarta sudah semakin cerdas, dan tidak mudah digiring oleh partai, entah juga dengan cara lainnya. Semoga bermanfaat.
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net